Kurma dari Madinah | Cerpen Manaf Maulana

DI usianya yg sudah uzur, sudah lebih dr 70 tahun, Pak Madi merasa gembira, lantaran putra semata wayangnya kini menjadi pejabat di sentra. Pada awal bulan mulia ini, putranya kembali melakukan ibadah umrah di Tanah Suci. Lewat telefon, putranya minta doa restu & bertanya, “Bapak mau saya bawakan oleh-oleh apa?”

PAK Madi langsung menjawab tegas. “Bawakan saja kurma dr Madinah!”

“Hanya itu, Pak?” tanya putranya lagi.

“Ya, cuma kurma dr Madinah. Terserah berapa kilo.”

Putranya tertawa. “Satu kuintal apa cukup, Pak?”

Pak Madi pula tertawa. “Kalau ananda tak keberatan, satu ton pula boleh.”

*****

PAK Madi ingin menjalani sisa puasa bulan ampunan ini dgn berbuka puasa dgn kurma dr Madinah. Betapa nikmatnya mengunyah kurma dr Madinah sambil membayangkan Rasulullah yg sedang berbuka puasa. Menurut suatu riwayat, dahulu Rasulullah senantiasa berbuka puasa dgn memakan tiga butir kurma. Dan karena Rasulullah tinggal di Kota Madinah, tentu kurmanya pula dr Madinah.

Dalam batin Pak Madi, puasa bulan rahmat tahun ini mungkin yg terakhir baginya. Ajalnya terasa kian dekat saja. Entah kapan tetapi pasti maut itu akan tiba. Semua sobat sebayanya sudah wafat. Dan di desanya Pak Madi yakni warga paling tua.

Dan di usianya yg sudah uzur ini, Pak Madi tinggal bersama istrinya. Selama ini, Pak Madi sering bersitegang dgn istrinya dlm menentukan pola hidup. Pak Madi lebih suka hidup sederhana, sedangkan istrinya lebih suka bermewah-mewah.

“Kita hidup di desa. Yang sederhana saja.” Kalimat ini sering diucapkan Pak Madi setiap kali melihat istrinya bersikap wah.

  Jalan Ini dan Jalan-Jalan Itu, Sepanjang Pantura | Cerpen Ahmad Abu Rifai

“Sederhana bukan berarti tak mewah, Pak. Bagi yg mampu, kemewahan bisa dianggap sederhana,” ujar istrinya.

Pak Madi selalu mengalah. Percuma berdebat kusir dgn istri. Tetapi Pak Madi senantiasa murung melihat akibat yg ditimbulkan dr sikap istrinya yg suka bermewah-mewahan. Misalnya, putranya menjadi ikut-ikutan suka bermewah-mewahan. Jika pulang ke desa, putranya senantiasa membawa kendaraan beroda empat mewah tipe terbaru yg baru saja keluar dr diler & belum ada pelat nomornya.

Pernah Pak Madi memberi pesan tersirat pada putranya biar jangan suka bermewah- mewahan. “Kamu pejabat negara. Kalau suka bermewah-mewahan, ananda bisa melaksanakan korupsi.”

Putranya tertawa. “Bapak tak usah khawatir. Tanpa korupsi, saya bisa hidup mewah, lantaran punya banyak kolega & banyak sumber penghasilan.”

Mendengar ucapan putranya itu, Pak Madi justru makin cemas. Sebab, sepengetahuannya, gaji pejabat negara tak seberapa kalau dibandingkan dgn gaya hidup & beban sosialnya.

Gaji yg cukup besar bagi pejabat bisa habis untuk membayar berbagai rekening tetap bulanan, pula ongkos pergaulan tingkat atas mirip menghadiri pesta-pesta.

“Kamu boleh menikmati hidupmu dgn bermewah-mewahan, namun jangan sekali-sekali melakukan korupsi & mencemarkan nama baik orangtua.” Pak Madi berpesan pada putranya dgn suara berat Rasanya lebih baik mati dibandingkan dengan hidup menanggung aib gara-gara punya anak menjadi koruptor yg diberitakan di banyak sekali media massa.

*****

SAMPAI pertengahan bulan mulia, Pak Madi belum ditelefon putranya lagi. Dan setiap Pak Madi menjajal menelefon putranya selalu gagal. HP milik putranya senantiasa dimatikan.

“Mungkin ingin khusyuk menjalani umrah, sehingga lama di Tanah Suci & tidak ingin diusik, Pak.” Istrinya mencoba menghibur.

  Mayat Yang Mengambang Di Danau | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

“Tetapi sebaiknya ia sudah pulang, Bu. Jangan-jangan ia sakit di Tanah Suci?”

“Kalau ia sakit; pasti menelefon, dong. Kita kan orangtuanya.”

Pak Madi makin cemas. Sejak bulan ampunan, kebiasaannya membaca koran setiap pagi dihentikan. Begitu pula kebiasaannya menonton tayangan info siang di televisi pula tidak boleh. Sepanjang hari Pak Madi terus memperbanyak zikir & bertasbih.

Dengan menahan ketakutan, pagi itu Pak Madi menjajal membuka koran yg gres saja dikirim loper. Matanya eksklusif terbelalak membaca info di halaman tampang.

Nama putranya tertulis dgn karakter besar selaku tersangka korupsi duit negara miliaran rupiah & kini dinyatakan selaku buron atau masuk Daftar Pencarian Orang.

Dada Pak Madi eksklusif terasa nyeri. Dipanggilnya istrinya yg sibuk mengamati gambar-gambar desain pakaian baru yg diangkut di majalah. Tatkala istrinya mendekat, Pak Madi pribadi menyuruhnya membaca gosip di halaman koran itu.

Istrinya terperanjat. “Pasti info ini fitnah, Pak. Tak mungkin anak kita melaksanakan korupsi.”

“Sekarang tak bisa sembarangan memuat isu fitnah, Bu. Berita ini niscaya benar, sehingga ditempatkan di halaman paras .”

Istrinya menangis.

Dada Pak Madi kian nyeri. Ingin segera bangkit & berbaring di kamar tidurnya, namun tiba-tiba sekujur tubuhnya tak bertenaga lagi. Ingin pula bicara lagi, namun mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.

Sejak dikala itu, Pak Madi lumpuh & bicaranya gagu. Dokter yg memeriksanya menyatakan Pak Madi terjangkit stroke & kemungkinan akan lumpuh permanen lantaran usianya sudah uzur.

Istrinya terpukul. Betapa di hari tuanya mesti sibuk-sibuk merawat suami yg menderita lumpuh total. Sementara itu, putra semata wayangnya menjadi buronan. Hari-hari yg semula ceria & serba wah, kini menjadi muram & serba sulit.

  Masjid Abah | Cerpen A Zakky Zulhazmi

Di pagi itu, Pak Madi gres saja dimandikan & disuapi istrinya. Sejak menderita lumpuh & tak bisa bicara dgn jelas, Pak Madi tak lagi berpuasa.

Tampak istrinya sungguh lelah. Matanya terasa gelap, & sekujur tubuhnya lemas. Lalu duduk di beranda depan untuk menghirup udara segar.

Tiba-tiba datang seorang kurir dr perusahaan layanan jasa titipan kilat yg mengantarkan bungkusan kardus yg dikirim putranya dr Singapura.

Bungkusan kardus itu segera dibawa ke kamar & dibuka di depan Pak Madi. Isi bungkusan kardus itu ialah kurma seberat 10 kilogram & selembar surat dgn tanda tangan putranya.

Dalam kelumpuhan, Pak Madi mendengar istrinya membaca surat dr putranya itu. “Maafkan saya, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Sekarang saya sehat-sehat saja di Singapura. Dan bareng surat ini, saya kirimkan sepuluh kilogram kurma dr Madinah.”

Pak Madi melirik sebutir kurma dr Madinah yg sudah dipungut istrinya & hendak disuapkan ke mulutnya. Di mata Pak Madi, sebutir kurma itu bagaikan sebongkah bara panas. Tak mungkin bisa dirasakan.