Mobil yg kutumpangi perlahan menepi di kiri jalan lalu berhenti tepat di depan rumah ibu. Sementara itu, di sisi lain, iring-iringan ojek pengangkut gabah petani menderu sedikit terseok berlalu menjauhi pandanganku. Kudapati halaman rumah ibu disesaki hamparan gabah yg sedang dijemur di atas karoro [1]. Tampak ibu sedang mengaduk gabah menggunakan setangkai kayu yg pada ujungnya dipasang melintang sepotong kayu kecil bergerigi. Tatkala menyaksikan gue turun dr mobil, ibu segera menyenderkan kayu itu kemudian sedikit berlari menyongsongku.
“Kenapa telat, Nak?”
“Macet ki, Bu. Ada demo tadi di depan kantor gubernur,” jawabku.
Setelah mengeluarkan uang biaya kendaraan beroda empat, gue berlalu menuju rumah sambil memanggul ransel. Di depan, ibu menenteng kardus berisi buah tangan.
“Bapak ke mana, Bu?” tanyaku sambil membuka ikatan tali sepatu.
“Pergi sawah, Nak,” jawab Ibu.
Kulangkahkan kaki meniti bawah umur tangga rumah panggung kami. Telah cukup usang gue baru menginjakkan lagi kaki di rumah ini. Terakhir kali dikala seorang kerabat dekat menikahkan anak semata wayangnya, 3 tahun yg kemudian. Di antara waktu itu, hanya ibu & bapak yg kerap berkunjung di tempatku bertugas. Padatnya kerjaan di kantor tak memungkinkan untukku mengambil cuti panjang yg dapat kugunakan untuk pulang ke kampung halaman. Barulah pada musim ini, pengajuan cutiku mampu disetujui atasan sehingga kerinduan akan rumah & sejuta kenangan yg membersamainya mewujud dlm satu kata: pulang.
Pulang ke kampung kali ini memberi nuansa rasa yg berlawanan. Aroma gabah yg dijemur bisa membangkitkan eforia, meramu kenangan menyambangi bulir-bulir kenangan masa lalu. Masa tatkala dongeng silat serial Wiro Sableng atau Pendekar Rajawali Sakti masih menjadi bacaan favorit akil balig cukup akal kala itu.
Di depanku berjajar aneka macam novel serial yg masih tersusun rapi di meja yg dahulu gue tempati untuk belajar. Kuakui ibu cukup telaten merawat barang-barang pribadiku. Salah satu novel kutarik dengan-cara asal-asalan. Kubaca sekilas. Neraka Lembah Tengkorak, serial Pendekar Kapak Maut 212. Di balik sampulnya tertera sebuah nama. Aku tersenyum sekaligus tergugu dlm hati.
Dari dialah gue sering mendapat dukungan buku dengan-cara cuma-cuma & membisu-diam. Bukan apanya, gue akan kena marah Bapak kalau tertangkap basah menerima pertolongan buku dr sobat pria. Mungkin untuk ukuran pergaulan muda-mudi di kampung kami, hal semacam itu dianggap tabu sehingga kurang berkenan di hati Bapak. Tapi, kami senantiasa saja punya cara untuk bertemu & bertukar buku. Mengingatnya berarti memasrahkan jiwa tersedot dlm pusaran waktu yg memerihkan.
Hari sudah beranjak siang tatkala gue berjalan menyusuri pematang sawah sambil menjinjing termos berisi air panas. Di belakang, Bapak mengikuti langkah kakiku dgn tabah. Di atas bahunya bertengger sepotong bambu yg masing-masing ujungnya berfungsi untuk mencantolkan barang-barang bawaan. Sepoi angin bertiup menguapkan keringat yg mulai membanjiri wajah & tubuhku. Sambil tetap mempertahankan keseimbangan badan, sesekali kusentuh daun & bulir-bulir padi menguning yg menjulur seakan meminta untuk dibelai. Aroma khas tanaman yg masuk dlm famili Poaceae itu kembali menyentil-nyentil memori yg ingin kukubur jauh ke dasar bumi paling dalam.
Terus kulangkahkan kaki menjajal menepis godaan masa lalu yg menjajal mampir dlm ingatanku. Kualihkan pandang menyaksikan hamparan padi menguning yg dr jauh terlihat bergelombang tertiup angin. Beberapa orang dengan-cara berkelompok sedang sibuk memotong padi. Ada pula yg sedang duduk melepas letih di pinggir pematang. Kami terus saja melangkah melewati petak-petak sawah menuju dangau milik Bapak. Satu dua orang berteriak menyapa kami. Bahkan ada yg sengaja berolok-olok melihatku tiba di persawahan.
“Weh, ada orang kota pergi sawah.”
“Awas nanti tergelincir,” seru lainnya.
Aku tertawa merespon gurauan mereka. Melambaikan tangan sambil terus melangkah menuju dangau. Sebagian besar dr mereka ialah tetangga kami di kampung. Bahkan ada pula sahabat sekolah gue tatkala di Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah Pertama.
Di sinilah gue sekarang. Di tempat yg sama, 20 tahun berlalu. Meresapi tiap lirik elong [2] bagi Sangiangserri [3]. Lirih merintih. Sebesar cita-cita petani akan panen yg ruah, sebesar itu pula kenangan tentangnya silih berganti hadir begitu konkret dlm benakku.
Ketika itu, pulang sekolah yaitu ketika-saat yg mendebarkan. Setiap tiba isu terkini maddongi [4], kami, para anak petani, sepulang sekolah menggantikan tugas orang renta kami mempertahankan padi dr serangan pipit. Dulu, dangau ini menjadi daerah berkumpulnya teman-sahabat untuk bermain kartu ataupun sekadar ngobrol dikala jelang sore. Beberapa yg punya bacaan atau teka-teki silang biasanya membawanya serta untuk menanggulangi rasa jenuh. Bahkan kami saling tukar barang bacaan.
Suatu hari, temanku Samsinar memberikan sebuah surat berwarna dengan-cara tak terduga.
“Surat untuk kamu.”
“Dari siapa?” tanyaku ingin tau.
Wangi surat itu menciptakan hatiku sedikit berdebar menerimanya.
Dasar Samsinar. ia cuma senyum-senyum mengejekku sambil melihat ke sekeliling.
“Cepat buka!”
Selembar foto menyertai surat itu. Terlihat mempesona, bahkan mampu menciptakan jantungku berdebar kesenangan. Namun, gue sama sekali tak mengenalnya.
“Sepupunya Edi,” kata Samsinar.
“Kau kenal di mana?” selidikku.
“Tetangganya nenekku. ia pernah liat ananda waktu sama ki pergi di rumahnya nenekku.”
Itulah awal perkenalan gue dgn beliau. Tanpa gue sadari, sebelumnya ia pula tiap hari ke sawah mengawalEdi mempertahankan sawah bapaknya. Kami makin erat dgn kesamaan hobbi masing-masing. Hampir tiap hari gue dipinjamkannya buku. Hari-hari maddongi pun menjadi waktu yg menggairahkan.
Pernah suatu waktu ia mengajariku membuat poni-poni, alat musik sederhana dr batang padi yg dapat berbunyi saat ditiup. Sayangnya, poni-poni buatanku selalu saja gagal mengeluarkan bunyi.
“Supaya bisa bunyi, buatnya mesti pakai rasa.”
Entah mirip apa rona wajahku ketika itu. Debar jantungku terasa sungguh besar lengan berkuasa menggedor dadaku. Kulirik ia sedang menatapku serius, namun secepatnya kualihkan pandang. Tatapnya seakan menyimpan banyak makna. Sesaat gue terdiam canggung.
“Rinaaa… dongi tee….” [5]
Tersentak, tanpa sadar secepatnya gue tarik tali yg terikat di tiang dangau. Bunyi kerontang kaleng yg digantungkan diatas pajo-pajo [6] saat itu juga riuh mengagetkan serombongan pipit yg sedang mengkonsumsi padi.
Spontan kami tertawa menyaksikan rombongan pipit itu terbang menjauh mencari kawasan yg aman untuk mereka singgahi.
Bulir-bulir padi semakin menguning menandakan tak lama lagi trend panen akan tiba. Tidak mirip lazimnya , cuaca sore hari itu agak mendung. Bahkan di pecahan barat, awan terlihat lebih gelap. Beberapa orang bahkan telah berteriak-teriak mengajak segera pulang sebab cemas akan terhalang hujan. Aku pun tergesa. Namun, baru saja akan turun dr dangau, hujan saat itu juga turun begitu deras. Angin bertiup keras dibarengi petir menyambar-nyambar membuat hatiku kecut. Kulihat teman-temanku berlindung di dangau masing-masing. Tak satu pun dr kami yg jadi pulang sebab terhalang hujan.
“Blaaarr…duaarrr…”
Bunyi guntur demikian keras mengagetkanku. Sebatang pohon kelapa tumbang tersambar petir. Aku gemetar cemas seorang diri. Aku menangis panik. Dari kejauhan tampak seseorang sedang berlari menuju ke tempatku. Tidak terang terlihat alasannya adalah pandanganku terhalang air mata & air hujan. Aku kembali menelungkupkan kepala, menangis.
“Kau tak apa-apa Ji?” teriak seseorang menciptakan jantungku seperti ingin loncat.
Di depanku, sesosok tubuh berdiri menatapku cemas. Tubuhnya kuyup tersiram hujan. Segera kuhapus air mataku.
“Tidak Ji. Aku hanya takut kalau dengar bunyi guntur.”
“Jangan takut, gue akan temani. Nanti kalau hujan reda, gue antar ananda pulang. Biasanya air sungai akan pasang kalau hujan begini.”
Hujan reda. Kami bergegas pulang. Meniti pematang sawah yg cukup licin. Tanganku sesekali dipegangnya tatkala menuruni pematang semoga tak tergelincir.
Tiba di bibir sungai, beberapa temanku berkumpul. Bingung campur cemas seluruhnya menyaksikan air pasang. Jalan satu-satunya untuk pulang ke rumah cuma dgn menyeberangi sungai itu. Menunggu air surut masih memerlukan waktu yg usang, sementara sore makin rembang.
Di tengah kecemasan kami, terdengar teriakan dr seberang sungai. Rupanya orang-orang renta kami tak kalah cemasnya. Seseorang terlihat melemparkan tali ke arah kami, namun lebar sungai tak cukup memungkinkan menciptakan tali itu hingga di kawasan kami. Berulang kali dicoba, tetapi tetap tak sukses.
Dia lalu meminta izinku. Pelan ia berlangsung masuk ke dlm air menunggu tali dilemparkan ke arahnya. Saat tali kembali dilemparkan, ia berhasil menangkap ujung tali itu. Namun, belum sempat dipegangnya dgn besar lengan berkuasa, sebatang kayu besar hanyut menerjang keras ke arahnya. Ia limbung. Keseimbangannya hilang. Tali yg dipegangnya pun turut terlepas. Ia terjerembab. Dicobanya bangun & berenang ke pinggir, tetapi derasnya arus menggulung tubuhnya. Sangat cepat. Tangan & kepalanya muncul karam dr dlm air berupaya melawan derasnya arus yg terus menyeret tubuhnya kian jauh ke hilir.
Aku & sahabat-sobat menangis berteriak memanggil namanya. Beberapa orang tua bahkan nekat terjun ke dlm sungai hendak menyelamatkannya. Namun, kekuatan alam betul-betul bukan tandingan insan. ia hanyut membawa bulir-bulir rasa yg gres saja tersemai.
Dua puluh tahun berlalu semenjak kejadian nahas itu. Selama itu pula sebuah teka-teki besar tak kunjung mendapatkan jawabannya.
Ada di mana ia?
Satu yg niscaya, kepergiannya membuka ruang bagi langgengnya banyak sekali mitos di kampung kami. Para tetua mendapatkan kembali arenanya. Puja & dupa diterbangkan bareng kekuatan mantra. Ritus semakin subur: mencipta dialog, melayat leluhur, & menyenggamai alam. Lontarak pun dibentangkan. Menyuntuki banyak sekali petuah lewat lantunan passurek. [*]