Kue Gandus Nenek | Cerpen Guntur Alam

Nenekku cerewet—saya bingung membedakan antara cerewet & pemarah. Itulah hal yg pertama kali muncul di benakku, jikalau kenangan wacana nenek timbul. Aku tahu nenekku berbeda dibandingkan dengan neneknenek sahabat sebayaku dahulu. Jika nenek mereka kerap memberi duit jajan, nenekku justru kerap memberiku banyak pekerjaan. Aku tak tahu, apa gue membenci nenek atau justru menyukainya.

Kau mungkin mengajukan pertanyaan, “Kenapa kamu tak membantahnya? Bukankah bawah umur kerap membantah & bandel?”

Aku pernah melakukannya. Aku pernah membantah nenekku. Namun gue menyesal sudah melakukan itu. Bukan. Bukan alasannya adalah gue takut menjadi cucu durhaka & kelak akan disiksa ketika mati seperti dlm komik Siksa Neraka yg kupinjam dr kawan sekelasku, namun alasannya gue tak mau melukai ibuku.

Ya, nenekku pemarah & pula jahat. Saat gue menjadi pembangkang, nenek dgn liciknya melaksanakan serangan pada ibuku. Nenek melakukan taktik keji dlm pertempuran yg ia lancarkan padaku. Aku tahu, nenekku memang begitu. Setiap aku, kakakku atau ayahku bersilang usulan dengannya atau tak menuruti kehendaknya, ia pasti menyerang ibu. Dan kami semua tak akan berkutik dibuatnya.

Kata nenekku, ibuku wanita paling lambat di tampang bumi ini. Pernah sekali nenekku bilang, kalau ibu yakni jelmaan keong sawah. ia tak terampil. Lembek. Gampang menangis & tak pernah becus dlm hal apa pun, kecuali mengolah makanan. Bila nenek sudah mengoceh panjang tentangnya, ibu tak pernah membantah sepatah kata pun. Ibu cuma membisu & terus bekerja seperti biasa, bila nenek sudah meninggalkannya, ibu gres akan duduk & menangis tanpa bunyi. Aku kesal, namun gue tak berdaya. Ibu tak pernah mengijinkan kami membantah nenek. Jadi, bagaimana gue tak mengatakan kalau nenekku sungguh licik & jahat?

*****


NENEK cuma memuji ibu dlm hal masakan. Kami semua mengakui itu. Ibuku sungguh arif mengolah makanan. Semua masakannya terasa lezat. Entah itu gulai atau kudapan manis. Seumur hidup nenekku, ia cuma sekali memuji ibu di depan orang lain & itu pun gue tak sengaja mendengarnya.

“Kalau kudapan manis gandus cuma begini. Jauh lebih yummy bikinan menantuku. Tak jadi belilah aku.”

Aku yg waktu itu baru pulang sekolah dapat melihat dgn jelas, wajah bibi pedagang kudapan manis keliling merah padam. ia tampakdongkol.

“Tapi nenek kan sudah nyicip. Masak nggak jadi beli,” ujarnya dgn keringat yg berpeluh di pelipisnya.

“Lah, kan cuma nyicip sedikit.”

Karena tak tega dgn bibi pedagang kuliner itu, gue segera masuk ke tempat tinggal. Meletakkan tas di bangku & segera mencari ibu. Kutemukan ibu tengah bergelut dgn sajian makan siang di dapur. ia terlihat kusam & jelek rupa. Secepat yg gue mampu, kuceritakan tragedi di teras depan. Ibu tak berkata sepatah kata pun, ia hanya meluncur ke arah kulkas, merogoh saku epilog kulkas & tergesa menuju teras. Aku mengekor. Bibi pedagang kudapan manis itu tengah bersungut-sungut sambil mengoptimalkan nampah berisi kudapan manis ke atas kepalanya.

  Mata di Bibir Subuh | Cerpen Artie Ahmad

“Sebentar,” panggil ibu. “Saya mau beli.” Bibi itu tersenyum & nenek mendengus.

Seharusnya nenek berterima kasih pada ibu. ia telah menyelamatkan nenek dr rasa malu dgn membeli beberapa kudapan manis yg bahu-membahu tidak mau ibu beli & makan. Namun ternyata, nenek tak begitu. ia terus saja mengoceh sepanjang siang sampai makan malam, perihal ibuku yg betapa bodohnya mampu ditipu oleh pedagang kudapan manis keliling.

“Kau bayangkan saja, Sam. Istrimu ini bisa ditipu oleh penjual kudapan manis keliling. Hanya seorang pedagang kue keliling. Aih, tak mampu kubayangkan bila ia dilepas ke kota besar. Pasti ia akan habis disantap orang-orang berhati culas.”

Aku cuma termangu mendengar ucapan nenek itu. Siapa yg culas bekerjsama? Namun gue memilih membisu. Sebab gue tidak ingin melukai ibu. Bila gue membantah nenek, maka nenek dgn tanpa belas kasih akan menyerang ibu. Lalu ibu akan menangis. Dan gue benci melihat ibu menangis.

*****

BUKAN gue ingin memuji ibuku, namun menurutku ibu yaitu menantu yg paling berbakti. Walau nenek tak sekali pun memberikan cinta kasih padanya, ibu tetap saja menghormati & melayaninya sebaik-baiknya. Aku tak sekadar memuji ibuku, tapi memang begitu. Bahkan ibuku hapal seluruh kuliner kesukaan nenek, tergolong kudapan manis ulang tahunnya yg tak umum. Kue gandus.

Ya, nenek memang suka sekali makan kue gandus. Apalagi produksi ibu. Sebenarnya kudapan manis ini bukanlah kue yg lazim kau temukan di hari ulang tahun seseorang, tapi kue ini lazimnya dibuat & disuguhkan pada hari hajatan ajal.

Aku pernah mengajukan pertanyaan pada ibu, “Kenapa nenek suka sekali kudapan manis gandus? Terutama dikala ulang tahunnya.”

“Aku tak tahu. Coba kau tanya ayahmu.”

Namun ibu tahu, gue tak akan pernah berani mengajukan pertanyaan perihal nenek pada ayah. Hubungan ayah & nenek bisa dikatakan tak terlalu anggun. Walau mereka adalah ibu & anak kandung. Sekarang gue baru paham, bagaimana ibu bisa menjalin korelasi yg serasi dgn nenek, bila antara nenek & ayah sebagai anak kandungnya saja, tak bisa merealisasikan itu.

Rahasia dibalik kesukaan nenek pada kudapan manis gandus di hari ulang tahunnya justru kudapatkan dr bibiku. ia adik ayah. Dan cuma mereka berdua anak nenek.

  Pergi Dari Tanah Sendiri | Cerpen Achmad Al Hafidz

“Kau tahu,” ucap bibi saat ia pertama kali hendak menceritakan rahasia itu. “Kue gandus umumnya kita makan ketika di hajatan orang meninggal.”

Aku mengangguk. Itulah yg tak lazim. Dan gue terus dihantui pertanyaan; kenapa? Apa yg membuat nenek senantiasa ingin makan kudapan manis gandus di hari ulang tahunnya? Bukankah hari ulang tahun harinya bersenang-senang & riang gembira, namun nenek justru makan makanan hari kesedihan di hari itu. Terdengar membingungkan, bukan?

“Karena nenek merayakan ajal seseorang,” bunyi bibi terdengar begitu dingin, gue bahkan meremang saat mendengar ucapan itu. “Kematian seseorang yg menjadikannya senang.”

“Kenapa bisa?” gue tak habis pikir, adakah maut seseorang justru menciptakan orang lain bahagia? Bukankah itu terdengar mirip psikopat?

Bibi cuma mengulas senyum, tipis. “Nenek merayakan kematian kakek.”

Aku tercekat. Menelan ludah. Dan bibi tidak ingin menceritakan apa-apa lagi padaku. ia menentukan bungkam & terus mengelak bila gue mengejar lebih jauh kisah wacana itu. Bibiku sudah menjahit mulutnya & mencampakkan gunting jauh ke dasar Sungai Lematang. Tak ada yg bisa mengambil gunting itu & memotong benang yg menyatukan bibirnya. Tak akan ada lagi kisah dr verbal bibiku tentang nenek & kue ulang tahunnya yg tak umum. Aku tahu, itu artinya gue tak akan mampu memaksa bibi untuk menuntaskan ceritanya padaku.

*****

SEJAK cerita bibi yg tak tuntas itu, gue lebih mengamati nenek. Bukan dlm artian gue lebih erat & lebih baik padanya. Tidak. Tak ada pergantian antara hubungan kami. Aku hanya diam-membisu mencatat semua gerak-gerik nenek. Barulah gue menyadari sesuatu, nenek tak pernah sekali pun berziarah ke kubur kakek, walau pun seluruh keluarga pergi ke sana jelang hari raya. Nenek lebih menentukan berkurung di kamarnya.

Aku pula mulai menyadari, jika nenek sangat menyingkir dari foto kakek yg berwarna hitam putih & berukuran 10 R di ruang tamu rumah kami. Bila tengah ada di ruang tamu, nenek gegas sekali beranjak ke dapur. ia lebih suka menonton tivi di sana, sembari mengocehi ibu & sesekali menolong pekerjaan ibu.

Gerak-gerik nenek yg tak wajar ini, terus menimbulkan tanya & misteri di benakku. Aku ingin tahu, tetapi menemukan jalan buntu. Tak ada yg bisa kutanyai. Tidak ayah, kakakku & ibu. Mereka seperti tak tahu perihal ketaknormalan yg nenek tunjukkan.

Namun waktu yg gegas & beban di bahu yg makin besar, pada jadinya menenggelamkan keingintahuan kanak-kanakku itu. Perlahan-lahan gue direpotkan dgn problem mencar ilmu & tujuan hidup. Aku melewatkan nenek dgn misteri tentang kakek, kudapan manis gandus, & perayaan ulang tahunnya yg tak lazim itu. Terlebih seluruh isi rumah seolah tak menganggap kebiasaan nenek sesuatu yg ganjil. Hanya gue seorang. Dan gue berguru untuk menerimanya.

*****

“KAU seharusnya eksklusif mengajukan cuti, saat ibu menelponmu,” ucap ibu yg menyambut kepulanganku. “Nenek terus menerus menanyakanmu.”

  Penulis dalam Elegi | Cerpen Manna Wassalwa

“Tak bisalah, Bu. Aku bisa pulang kalau bosku sudah menyetujui cutiku,” sanggahku. Ibu terlihat sibuk di dapur, mirip biasa.

“Apa yg ibu masak?”

“Nenekmu kepengin makan kue gandus,” jawabnya. “Pergilah ke tempat tinggal sakit. Tak ada yg menjaga nenek.”

Aku ingin membantah, tetapi ibu memandangku dgn tatapan andalannya. Tatapan yg tak ingin dibantah. Aku meninggalkan ibu yg tengah mencampur tepung beras dgn santan kelapa. Di atas meja, gue sudah menyaksikan bawang goreng & potongan daun seledri. Aromanya membuatku melayang pada ingatan, betapa nenek jahat pada ibu, namun ibu terus menerus berbakti padanya.

*****

HANYA ada gue & nenek, tak ada siapa-siapa di sini. Wajahnya terlihat kuyu. Slang infus terpasang di kulit tangannya yg keriput. Matanya yg renta namun tetap awas, tersenyum melihatku muncul di ambang pintu kamar. ia menggapai udara, gue berjalan pelan, duduk di sampingnya.

Lama nenek menatapku, lalu perlahan tangannya yg keriput membelai rambutku. Entah, apa yg terjadi, gue melihat mata nenek berair, kemudian ia terisakisak. Aku membisu. Aku hendak mengajukan pertanyaan, tapi lidahku kesat. Tak sepotong kata pun meluncur dr mulutku.

“Kau ibarat sekali dgn kakekmu. Itulah yg membuatku benci padamu,” nenek berkata terbata-bata. “Dia laki-laki yg keras kepala, pemarah & ringan tangan. Sementara aku. Perempuan penakut, tak becus & selalu salah. Kaprikornus, gue tak salah kan jikalau menilai ajal kakekmu sebagai pintu gerbang kebebasanku, yg layak dirayakan?”

Aku menelan ludah, semakin tak bisa berbicara. Petang itu, gue mendengar suatu kisah diam-diam. Cerita yg langsung diutarakan pelakonnya. Dadaku sesak. Kebas. Antara marah atau tersentuh. Aku tak mampu membedakannya lagi.

“Aku tak pernah membenci ibumu. Aku hanya ingin ia tak menjadi lembek & penakut sepertiku. Makanya gue terus menerus memarahinya. Aku ingin ia kuat. Ayahmu tak menyerupai dgn kakekmu. Aku bersyukur itu. Semoga kau tak membenciku. Aku sangat menggemari ibumu. ia menantu yg baik.”

Dan gue tak tahu bila ternyata ibu tengah menangis di ambang pintu. Hanya saja, gue mencium amis bawang goreng & seledri dr kudapan manis gandus yg hangat & berair. (*)