Ciasahan, cuma di Ciasahan orang renta & bawah umur gampang sekali memercayai kisah, baik sejarah ataupun bualan seorang Kakek pada cucu-cucunya. Kisah bagaikan sesuatu yg turun dr langit, semisal kitab,yang sakral dlm dada setiap masyarakat. Tetapi, kisah ini, bagi anak kecil, yakni kisah paling fenomenal di antara yg yang lain.
Ini menyangkut banyak hal terutama misteri & materi. Bagaimanapun kampungannya kampungku tetap saja materi senantiasa dijadikan prioritas, kenapa anak-anak mau berdasarkan pada orang tuanya untuk bersekolah. Padahal kalau dipikirkan, terlalu banyak waktu kami yg terbuang hanya untuk diam di kelas, mendengarkan guru berceramah contohnya. Ada banyak hal di kampungku yg sebetulnya sayang sekali dilewatkan, ketimbang belajar di sekolah pastinya. Sayangnya, belum dewasa di kampungku tak ada yg berani menolak terlebih melanggar perintah orang bau tanah.
Di belakang rumahku menjulang gunung Tanjoleat. Cukup tinggi. Teman-sobat seusiaku, dahulu selalu berangan-angan supaya mampu pergi ke puncak untuk mampu menjamah langit. Yang yang lain berharap mampu bertemu pemeran Bollywood, Amir Kahn atau Amitha Bachan, di balik gunung itu. Mereka kira ada suatu daratan bernama India di sana. Penuh perempuan manis dgn sindur di antara kedua alis matanya. Aku gres tahu sesudah sampaumur, kalau India itu tak pernah ada di balik gunung Tanjoleat. India berada di Asia cuilan Barat erat dgn Pakistan & Bangladesh.
Tanjoleat, adalah gunung yg dipenuhi bebatuan. Sumber sejarah yg tak pernah terungkap, ihwal banyak hal. Persembunyian serdadu lokal tatkala melawan penjajah, kuburan putri, kerikil yg menyerupai perahunya Nuh, sepasang telapak kaki, kerikil pistol, & batu ular. Sudah banyak peneliti yg mencoba peruntungannya untuk mengungkap sejarah apa saja yg terpendam di sana. Tapi terkadang tak berhasil. Kecurigaanku selalu timbul tatkala para peneliti datang ke kampungku dgn argumentasi hendak melaksanakan riset. Aku selalu tak percaya. Pasti ada sesuatu yg berguna sedang mereka incar, entah apa.
Beribu monyet hidup di sana. Babi hutan, kelelawar, & harimau kumbang yg mendiami goa-goa di sela-sela tumpukan batu. Konon, kuda emas pula hidup di gunung itu & setiap Kamis malam, tepat pukul 12.00, kuda itu selalu terbang menuju Tenggara, membentangkan sayap, mengibas-ibaskan ekornya. Kilau keemasan menyembur ke mana-mana. Kalau kau seorang penyuka bintang & kadang-kadang kagum tatkala melihat bintang jatuh atau himpunan kunang-kunang terbang ke arahmu, kata kakek, kuda emas lebih indah dr itu. Terdengar seperti dongeng memang. Tetapi, ini terjadi di kampung kami, Ciasahan. Kakek sendiri yg menceritakannya padaku. Suatu sore, tatkala hujan deras & angin pegunungan terasa menusuk.
Jarang sekali ada orang yg menyaksikan langsung kejadian itu. Aku tahu itu lewat cerita-dongeng dr sobat & dr Kakekku sendiri. Katanya, cuma orang-orang yg beriman & memiliki hati cemerlanglah yg dapat menyaksikan kuda itu. Aku pikir hatiku masih cemerlang, sholat, & hapalan ngajiku tak ada masalah. Tapi sampai sekarangpun gue belum pula melihat kuda itu melayang di atas rumah. Ini sungguh abnormal.
Anak-anak di kampungku, kerap kali memimpikan untuk, setidaknya pernah sekali saja melihat kuda itu melayang di atas rumah-rumah & berharap ia mengeluarkan sesuatu dr pantatnya. Tentu saja orang yg tak tahu mengenai hal ini menganggap kesempatan itu ialah prospek paling kolot. Tapi tak bagi kami. Setiap seusai sholat, kami senantiasa berdoa meminta hal itu terjadi.
Aku jadi teringat kisah dahulu. Kau mungkin tak akan percaya, tatkala zaman sekolah dasar dulu, kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia tepatnya, saat ibu guru bertanya perihal keinginan remaja nanti, teman-sobat sekelas mengatakan, ”menjadi penggembala kuda emas”. Dan kau tahu, semua murid menyampaikan kalimat yg sama. Ibu guru geram mendengarnya.
”Kalian tak mengerti apa artinya impian!”
Kami cuma menunduk takut. Baginya impian kami tak memiliki arti. Cita-cita kami hanyalah khayalan anak-anak yg terbuai oleh dongeng-dongeng murahan. Ibu guru tak mengerti ihwal apa yg menjadi harapan kami. Bagi anak seusia kami itu yakni hal yg hebat. Tapi sayangnya hingga kini tak ada satupun yg sukses mengejar itu.
Memiliki kuda emas merupakan hal paling menyenangkan. Bayangkan saja, kau tak perlu berdiri pagi untuk bekerja. Lembur sampai pagi untuk menciptakan duit extra . Tidak perlu melakukan hal-hal konyol semacam menunggu duit bulanan atau meminjam duit ke tetangga untuk risiko sehari-hari. Kau hanya tinggal beribadah, berdoa, & menunggu kotoran yg keluar dr pantat kuda. Kotoran itu dlm sekejap mata akan menjadi emas murni 14 karat, berupa oval. Harga emas itu cukup untuk melakukan perjalanan mengelilingi dunia setiap Minggunya. Mentraktir seluruh warga kampung selama sebulan penuh. Coba bayangkan, itu hebat bukan?
Cita-cita kami sempat sirna tatkala beberapa sobat bercerita, ”kuda emas itu tak makan rumput, namun makan perempuan.” Teman yg satunya bilang, ”kuda itu bukan makan perempuan, tetapi makan anak kecil yg pipis di luar rumah”.
Yang lainnya bilang ”makan watu”.
”Pohon mahoni.”
”Ikan mas!”
”Karang.”
”Durian.”
”Kalian tahu dr siapa?”
Semuanya menjawab, ”Kakek!”
”Memang Kakekmu tahu dr mana?”.
Mereka menjawab, ”dari Kakeknya Kakek”.
Aku yg masih terbelakang, kadangkala eksklusif percaya kepada apa yg teman-sahabat katakan.
Suatu malam tatkala gue terbangun alasannya adalah merasa kebelet, & itu sudah tak dapat ditahan lagi. Aku turun dr ranjang & segera keluar rumah. Di langit kulihat ada serbuk-serbuk berkilauan & gue yakin itu bukan kunang-kunang. Suara rengeh terdengar dr jauh. Aku teringat perkataan sobat bahwa kuda emas yakni pemakan anak kecil. Aku langsung lari ke dlm rumah & pribadi mengunci pintu. Malam itu terasa mencekam sebelum karenanya gue menentukan pipis di celana. Belum ada kamar mandi di rumahku waktu itu. Untuk pipis saja, gue mesti keluar ke pancuran belakang rumah.
Ibuku memarahiku karena pipis di celana. Kakek datang padaku & menanyakan argumentasi kenapa gue ngompol. Aku bersikeras menyampaikan kalau gue tak ngompol. Aku hanya pipis. Tepatnya menentukan pipis.
Aku mengatakan hal yg sesungguhnya pada Kakek ihwal serbuk emas & bunyi rengehan kuda dr Timur sana. Ibu membisu. Senyum semringah muncul dr wajah Kakek.
”Akhirnya kuda itu memilih kamu, Nak.”
”Maksudnya?”
”Ya, ia akan sering melayang di atas rumah kita untuk menjaga kita?”
”Aku tak mengerti, Kek.”
”Nanti kau akan mengerti.”
Konon kuda itu terbang menuju tempat-daerah yg tak pernah dimengerti.
”Kuda emas itu menuju Gunung Pongkor untuk menemui kekasihnya,” kata Kakek.
”Itu yg membuat Gunung Pongkor kaya akan emasnya.”
”Aku tak mengerti.”
”Emas yg dijadikan orang-orang selaku perhiasan, itu yakni telur kuda emas.”
”Hah?”
”Kuda itu tak beranak, tetapi bertelur. Butuh berjuta-juta tahun untuk membuat telur-telur itu menetas,” ungkap Kakek.
Sungguh tragis tatkala tahu, memerlukan waktu berjuta-juta tahun untuk menelurkan emas sebanyak itu. Dan di kawasan kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau tahu, sejak kejadian gue menyaksikan kuda itu terbang dr Tanjoleat menuju Pongkor, kuda itu tak pernah tampaklagi. Kakek bilang, kuda itu telah terbang dr Papua ke Maluku, kemudian ke Kalimantan, Sumatera sebelum hasilnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini telah terbang menuju negara lain untuk mencari sarang baru tempatnya bertelur. Sebab di tempat kami, perburuan emas senantiasa panas. Lagipula, pohon-pohon di Tanjoleat sekarang telah habis. Banyak kedapatan hewan-binatang liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi terlihat memanjat-manjat batuan cadas di Tanjoleat. Kini terkadang sepi.
”Bagaimanapun, kuda emas pula adalah seekor binatang. Sama seperti makhluk hidup lainnya. ia ingin menyaksikan anak-anaknya tumbuh besar sebelum waktunya di bumi habis,” ucap Kakek.
Dan soal menjadi penggembala kuda emas, hal itu sudah usang hilang di benakku. Aku kini lebih terpesona menentang pertambangan emas ketimbang mengejar-ngejar emasnya.