SEBELUM matahari terbit, tatkala orang-orang masih mendengkur di dlm tenda, ketika daun masih dilumas embun & jalan masih dirajam senyap, Langkir mengeluarkan kuda putih itu dr kandangnya; berupa sebatang pohon beringin purba, dgn rimbun daun memayungi juntai ratusan akar yg bergelantungan mencium tanah.
Dari lubang pengap di pangkal pohon itu—tepatnya di antara apitan belukar akar-akar raksasa yg meliuk-liuk & ujungnya menghunjam tanah—kuda itu keluar seraya menguap & menggeliat, sembari mengedipkan matanya berulang kali seperti gres bangun tidur, membuka sayapnya perlahan, sebelum akibatnya digosok-gosokkan ke punggungnya yg cuek.
Langkir melempar beberapa bongkah watu ke depan kuda itu. Tak tunggu waktu lama, kuda itu pun langsung menyantapnya dgn lahap. Suara retakan kerikil di dlm mulutnya seakan sengaja dipermainkan, sebelum benarbenar ditelan, menjadikan bunyi gleg seperti benda keras jatuh ke dlm air. Setelah itu, Langkir lekas menaiki punggung kudanya. Sejenak tangannya mengusap-usap bulu tebal di leher kuda itu sambil membaca ayat-ayat. Kuda itu tiba-tiba tegak, mengencangkan seluruh ototnya, sepasang matanya lurus menatap arah tujuan, sayapnya direntangkan hingga ujungnya menyentuh rumput basah.
“Bless!!”
Sekali kaki belakang menerjang & sayap berkepak, kuda itu melesat cepat, seperti benda ringan terlempar ke udara. Daun-daun di sekitarnya bergerak-gerak oleh angin yg ditimbulkan kecepatan lesatan itu.
Mubin yg tengah mengintai Langkir, saat itu juga parasnya di liputi rasa heran, matanya terpaku ke arah kuda melayang itu, yg sudah jauh & hanya berupa titik kecil di antara sisa cahaya bulan. Jantungnya berdetak kencang. Mulutnya menganga. Ia tak tahu ke mana Langkir, temannya itu, akan pergi.
Saat menoleh ke sekitar, tenda masih sunyi, temantemannya masih lelap sehabis semalam menjalani latihan perang. Di ufuk timur, matahari belum terbit. Beberapa kali Mubin menyaksikan kejadian itu, senantiasa setiap pagi, sebelum matahari terbit. Tapi, ia tak tahu kapan Langkir pulang & mengandangkan kudanya kembali ke dlm pohon itu. Hanya, Mubin tak terlalu menimbang-nimbang hal itu. Yang terperinci, Mubin sekarang punya satu tontonan gila yg mesti dirahasiakan pada semua orang sebelum dirinya bertanya pribadi pada Langkir. Di sela keheranannya itu, Mubin menerka, yg membuat Langkir selama ini bahagia—meski di arena pertempuran sekalipun—sebab ia selalu terbang dgn kuda itu setiap pagi, membuang kekhawatiran jauh-jauh di datar langit.
Hari-hari setelahnya, tatkala Mubin menanyakan kejadian gila itu pada Langkir, si Langkir malah tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Mubin. Lalu, ia menyebut Mubin berhalusinasi. Ia sendiri mengaku tak pernah menunggang kuda pagi-pagi, terlebih kuda bersayap.
“Itu sangat tidak mungkin. Mungkin ananda ditipu jin,” ujar Langkir sambil mengulangi tawanya. Mubin termangu, keningnya mengernyit, mengingat insiden yg ia lihat setiap pagi, tatkala mereka sama-sama berada di tenda pertempuran.
Masih dgn dada sangat yakin, keesokan harinya Mubin tiba eksklusif ke lokasi tenda peperangan. Ia mendekat ke pohon beringin, mengetuk pohon itu dgn keras, berharap kuda Langkir keluar atau paling tak meringkik. Tapi, pohon itu biasa saja, padat diam, menampakkan kulit berkerut kasar dgn ceruk berisi getah yg mengering. Tanah di sekitar pohon itu pun datar & sedikit berpasir, tak ada jejak kaki kuda.
Beberapa hari kemudian Mubin masih penasaran. Ia tak mengabaikan waktu untuk mengintai dr balik semak yg berkembang di dekat pohon beringin itu. Dugaannya tetap tak meleset. Pagi-pagi sebelum matahari terbit, Langkir mengeluarkan seekor kuda putih bersayap dr pohon itu, sejenak kuda itu menari pelan sambil membuka sayapnya, diabai menyentuh embun di daun-daun. Saat itulah Mubin segera mendekati Langkir untuk mengajukan pertanyaan perihal kuda itu. Tapi, begitu Mubin mendekat, kuda itu membawa Langkir dgn lesat yg cepat ke arah langit. Mubin bangkit di antara rimbun semak dgn raut tampang yg cemas. Kakinya melangkah pelan ke tempat kuda itu mengepakkan sayap. Sepasang matanya lurus memandang ke arah kuda terbang itu. Jantungnya berdetak kencang, bulu kuduknya meremang.
Pikiran Mubin selalu dibayang-bayangi kuda bersayap yg keluar dr pohon beringin & ditunggangi Langkir setiap pagi. Sudah puluhan tahun—sejak kali pertama Mubin melihatnya hingga sekarang—, Langkir tetap tak pernah mengakui wacana itu, bahkan marah tatkala didesak dgn pertanyaan itu. Tatkala menceritakan hal itu pada warga, Mubin malah ditertawakan & diledek dgn istilah suka mengkhayal. Padahal, nyaris setiap bulan Mubin selalu menganalisa pohon beringin itu setiap pagi. Sepasang matanya tetap menyaksikan kejadian unik itu. Langkir mengeluarkan kuda bersayap dr dlm pohon beringin itu. Lalu, kuda itu melayang menenteng Langkir ke langit.
“Tapi, kenapa orang-orang tak percaya & malah menuduhku suka berkhayal?” Mubin menopangkan muka cemasnya pada tangan kanannya yg tegak di atas meja. Kepalanya sakit kepala. ia merasa tersiksa dgn insiden asing itu. Tebersit harapan untuk mencoba meniadakan kenangan peristiwa itu dr ingatannya.
Dua tahun sesudah itu, barulah Mubin lupa total pada insiden itu. Saat itu tak ada lagi kuda bersayap dlm kepalanya. Ia kembali melakukan pekerjaan wajar mirip biasa—setelah pensiun jadi serdadu keraton. Ia melakukan pekerjaan menjadi tukang pelitur meja di sebuah pabrik mebel. Waktu berjalan menyeret usia Mubin ke arah yg semakin renta. Wajahnya terlihat mulai dipenuhi garis keriput. Kulit lehernya kendur & bergelambir. Sepasang matanya terlihat lebih beku, seiring beberapa gigi depannya yg tanggal, & rambutnya hampir berwarna putih seluruhnya.
Tibalah suatu waktu, istri Mubin terserang penyakit jiwa. Ia selalu merasa ketakutan. Tak ada yg mampu dilaksanakan selain menangis. Tubuhnya gemetar, bersedekap mirip menggigil. Mulutnya lebih sering tertutup, cuma mau bicara barang seucap manakala didera dgn pertanyaan. Ia senantiasa berusaha berdiam di dlm kamar sambil terus berurai air mata. Matanya senantiasa cemas, seolah sedang menunggu giliran tiang gantungan.
Mubin sudah membawa istrinya ke beberapa tabib & psikolog. Tapi, tak seorang pun yg mampu menyembuhkannya. Hari demi hari, istrinya hanya melakukan pekerjaan menyedot air mata di dlm kamar pengap yg sunyi. Mubin menemaninya dgn perasaan bingung. Sambil kemudian, dielusnya rambut istrinya, & kadang ia menembakkan kecupan di kening istrinya. Tak jarang Mubin pula memeluk badan istrinya yg gemetar. Istrinya pun merebahkan kepalanya di dada Mubin, seperti tengah membagi cemas yg ia rasakan. Beberapa kali Mubin pula menangis sambil bertanya-tanya, gerangan apa yg bisa menyembuhkan penyakit istrinya.
Hingga tiba suatu malam, istrinya tiba-tiba berkata bahwa penyakit yg dideritanya akan sembuh apabila mampu menyentuh kuda bersayap. Pikiran Mubin kembali berputar-putar, ia berupaya kembali mengenang kuda bersayap yg telah lama lenyap dr kepalanya.
“Apa ada kuda yg bersayap, Kakang?”
“Iya, ada. Jangan cemas,” Mubin menepuk pundak istrinya sambil tersenyum.
Keesokan harinya, Mubin dibantu sebagian tetangganya menyebar ke banyak sekali tempat untuk mencari kuda bersayap. Menyinggahi dusun demi dusun sambil coba mengajukan pertanyaan wacana kuda bersayap itu. Tapi, semua orang menyatakan bahwa kuda bersayap itu cuma ada dlm cerita, tak ada di dunia faktual. Mubin & teman-temannya ditertawakan.
Pada suatu hari, Mubin teringat pada pohon beringin raksasa yg pernah dijadikan sangkar kuda bersayap oleh Langkir. Ia secepatnya ke sana, melintasi tiga desa ke arah selatan dgn sepeda onthel kebanggaannya. Ia masih ingat lokasi pohon itu, sempurna di sebelah barat sebuah tugu. Berharap kuda bersayap itu masih berdiam di sana. Setiba di lokasi, Mubin terkejut, ia tak melihat pohon itu lagi. Seseorang yg sempat ditanyai mengabarkan bahwa pohon itu sudah lama ditebang. Kini di lokasi itu sudah berdiri sebuah ruko.
Mubin tak kekurangan logika, ia pribadi memutar haluan, mengayuh sepeda tuanya ke tempat tinggal Langkir yg berjarak puluhan kilometer ke arah barat dr lokasi itu. Setiba di rumah Langkir, Mubin kembali terkejut. Langkir mengalami gangguan jiwa, ia hanya tertawa & berjoget semaunya. Tubuhnya kurus kerempeng, menguar bau tak sedap. Rambutnya awut, dimukim banyak kutu. Kukunya panjang hitam & berdaki. Mubin meringis melihat keadaan temannya itu. Saat Mubin bertanya wacana kuda bersayap itu, Langkir menjawab bahwa kuda itu sekarang ada dlm tubuhnya. Mubin bergidik, lalu pulang dgn perasaan cemas.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi yg gerimis, Langkir datang ke rumah Mubin, masih dlm kondisi gila, tertawa & berjoget semaunya. Bau tubuhnya sangat menyengat. Dan tanpa disangka , istri Mubin tiba-tiba keluar dr dlm rumahnya & berlari ke arah Langkir, lalu memeluknya dgn sungguh mesra.
“Inilah kuda bersayap yg gue cari,” ucap istri Mubin seraya mencium kening Langkir. Lalu, keduanya tertawa.
Sepasang mata Mubin terbelalak melihat istrinya berpelukan dgn Langkir di hadapannya. Hati Mubin sungguh sakit. Kuda bersayap itu seperti masuk ke dlm dadanya, mengentak-entak, meringkik-ringkik, & meluluhlantakkan semua yg ada. (*)