Kriteria Gharimin Peserta Zakat

Kriteria Gharimin Penerima Zakat

oleh ust. abu Riyadl Nurcholis bin Mursidi

Status ekonomi yg berlawanan, merupakan serpihan dari realita kehidupan yg tdk bisa dibantah. Kondisi ini mestinya tdk mengusik keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yg berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak & kewajibannya. Karena, mereka bantu-membantu saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tdk ada jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya. Terkadang mampu berubah seratus delapan puluh derajat, si miskin bermetamorfosis menjadi orang kaya sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin & si kaya selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yg tdk memahami, akal-akalan tdk tahu / memang tdk mau tahu persoalan ini. Akibatnya aneka macam macam urusan bermunculan.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur hubungan antara yg kaya & yg miskin, biar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yg Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya kemudian diberikan kepada orang-orang yg berhak mendapatkannya, ialah salah satu dari cara Islam menertibkan relasi antara si kaya & si miskin. Dengan ini, si kaya akan menyadari bahwa dalam harta mereka ada potongan utk orang-orang miskin / tdk bisa. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan pd harta-harta mereka ada hak utk orang miskin yg meminta & orang miskin yg tdk menerima potongan (tujuannya orang miskin yg tdk meminta-minta)”. (adz-Dzariyât/51:19)
Diantara yg berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim (orang yg terlilit hutang). Namun penerima zakat yg satu ini harus menyanggupi beberapa tolok ukur sehingga zakat yg dikeluarkan oleh orang-orang kaya tepat target & tdk berpotensi menyuburkan ketamakan. Dengan demikian, pesan yang tersirat zakat akan dicicipi oleh semua lapisan penduduk . Yang berhak mendapatkan, merasa terbantu & tdk berpikir utk melakukan tindakan negatif. . Sementara si kaya merasa hening & nyaman lantaran sudah melakukan syari’at dg benar & akan menerima limpahan do’a dari si miskin. Disamping juga, beliau terlepas dari rencana negatif sebagian orang yg mungkin dg dalih terpaksa melaksanakan kejahatan.

DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yg mengatakan, al-ghârim yaitu orang yg terlilit hutang. Ada juga yg menambahkan definisi ini dg menyertakan penyebabnya. Mujâhid rahimahullah memberikan al-ghârim adalah orang yg menanggung hutang lantaran rumahnya terbakar, / hartanya terseret banjir, / utk menyanggupi kebutuhan keluarganya .
Ibnu Atsîr rahimahullah menyertakan, al-ghârim ialah orang yg menjamin pelunasan hutang orang lain, / orang yg bangkrut guna memadai kebutuhan hidup, tdk utk berbuat maksiat / berlaku boros (tabdzîr) .
Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh memilih patokan tertentu bagi al-ghârim yg berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit / terlilit hutang.

FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang / menjadi al-ghârim:
1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan / keperluan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang lantaran mendamaikan manusia, qabilah / suku)
Kedua jenis al-ghârim diatas berhak mendapatkan zakat tetapi dg syarat komplemen pd ghârim linafsihi ialah mesti dalam kondisi miskin. Sedangkan utk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat meski dia kaya.

I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI
Pada jenis ini ulama mendefinisikan patokan al-gharîm yg berhak mendapatkan zakat, ialah mereka yg terjerat hutang utk maslahat dirinya & keluarganya, ibarat orang yg berhutang utk makan, pakaian, daerah tinggal / berobat dsb.
Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yg berhutang utk menafkahi diri & keluarganya / utk berpakaian. “
Juga termasuk klasifikasi al-ghârim jenis ini ialah orang yg terkena insiden alam / insiden alam lainnya yg menyebabkan hartanya habis, misalnya: banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian & sebagainya yg menyebabkan mereka tdk mampu memadai kebutuhan primer. Sehingga mereka termasuk fuqara’ (orang-orang fakir). Inilah yg disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam belahan hadits yg panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu ‘anhu:

وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ
“Dan seorang yg tertimpa peristiwa sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan meminta-minta hingga kembali mendapat harta utk hidup”.
Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat?
Ada dua pertimbangan perihal ghârim yg mirip ini:
Pertama: usulan Ulama’ Hanafiyyah & Mâlikiyyah yg menyatakan mereka tdk berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yg dibantu adalah hutang yg berkaitan dg (hak) insan, sedangkan hutang kepada Allâh Azza wa Jalla mirip pembayaran kafarat / zakat yg tertunda maka tdk bisa diambilkan dari uang zakat.
Kedua: Pendapat sebagian Ulama’ Hanabilah, mereka mengizinkan donasi zakat dari baitul mal utk al-ghârim jenis ini, dg dalil bahwa hutang terhadap Allâh Azza wa Jalla yaitu hutang yg paling berhak utk dibayar.
Pendapat yg râjih, wallahu A’lam adalah pertimbangan pertama. Karena sebagian kafarat memiliki pengganti kafarat yang lain yg tdk mesti dg harta, misalnya dg puasa. Apabila seseorang tdk bisa membayar kafarat, bahwasanya rahmat Allâh Azza wa Jalla sungguh luas. sehingga bagi yg mempunyai hutang & beniat mengembalikannya niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dg orang yg tdk bisa bayar kafarat? Sedangkan beliau telah bermaksud membayar kafarat namun tdk mampu. Oleh kesudahannya uang zakat tdk diberikan utk mengeluarkan uang kafarat-kafarat tersebut.
Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yg lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dg uang zakat?
Dalam problem ini Ulama’ berbeda usulan, ada yg melarangnya & ada yg membolehkannya. Pendapat yg melarang yakni usulan Ulama’ Hanafiyyah & Hanabilah serta salah satu pertimbangan Imam Syâfi’i rahimahullah. Sedangkan yg membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah & dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah yg rajah menurut hadist yg diriwayatkan oleh imam Bukhâri:

  Peradilan Dan Hikmahnya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anmhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada seorang mukmin pun kecuali saya lebih berhak padanya di dunia & alam baka, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya) ” Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” , maka mukmin manapun yg mati & meninggalkan harta maka andal warisnya yg mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan hutang / barang yg hilang maka hendaklah beliau mendatangiku lantaran aku adalah tuannya”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) usulan yg menyatakan mayat tergolong dalam klasifikasi al-ghârim lebih besar lengan berkuasa. Ditambah lagi pendapat yg menolak memasukkan jenazah selaku al-ghârim tdk memiliki dalil yg terang.

II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku terkadang berujung pertempuran & menimbulkan korban yg tdk sedikit. Kondisi ini kerap kali menggerakkan hati orang-orang yg berjiwa sosial & dermawan utk berusaha memadamkan api permusuhan dg menjadi penengah. Terkadang upaya yg dilakukan memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena memerlukan dana besar. Hutang pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan perselisihan. Orang menyerupai inilah yg disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.
Ketika memaparkan pemahaman al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitâbul Majmû’ menyatakan, “Yaitu seorang yg berhutang utk mendamaikan pertikaian, menyerupai jikalau dikhawatirkan terjadi pertempuran antara dua suku / dua orang yg bertikai, kemudian hutang tersebut dipakai utk memadamkan api permusuhan .
Diantara al-ghârim jenis yg kedua adalah orang yg menghabiskan hartanya utk membantu saudara seiman yg tertimpa insiden / bencana alam. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, “Jika seseorang menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah / korban perampokan maka boleh baginya menerima duit zakat. “
Menurut pandapat jumhur Ulama’, ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mendapatkan zakat meskipun dia kaya / bisa. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkâr menyampaikan, “Tiga imam yakni imam Mâlik rahimahullah, Syâfi’i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah & para pengikut mereka menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil zakat walaupun dia kaya. ” Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
“Harta sedekah (zakat) itu tdk halal buat orang kaya kecuali lima kalangan, yakni orang yg berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil zakat, ghârim (pailit) , seseorang yg berbelanja barang zakat dg hartanya, / seorang yg memiliki tetangga miskin lalu ia berinfak kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang kaya”.
Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghârim berhak mendapatkan zakat jika beliau beragama Islam, begitu juga penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah menyampaikan, “Para Ulama’ sudah bersepakat bahwa zakat itu tdk sah jika diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim). “
2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pd ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pd ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tdk berlaku. Artinya, beliau boleh mendapatkan zakat walaupun dia kaya.
3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat menyerupai judi, minum khamr, berbuat tabdzîr & boros, maka dia tdk diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Saya tdk pernah mendapati satu usulan hebat ilmu yg membolehkan zakat diberikan terhadap orang yg terbelit hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum beliau bertaubat, kecuali pertimbangan lemah dari sebagian kecil Syâfi’iyyah, mirip al-Hanathi & ar-Râfi’y, yg memandang mereka boleh diberi lantaran Ghârim. .
Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba ialah dosa besar & tergolong maksiat yg sudah banyak menalan korban. Karena tergolong maksiat, maka yg terlilit hutang ribawi, beliau tdk boleh diberi zakat utk melunasinya, kecuali bila bertaubat. Akan tetapi bagi yg terpaksa berhutang dg system riba utk keperluan utama, ibarat sandang papan / pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai keperluan.
4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama’ berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah & sebagian hanabilah memperbolehkan bantuan zakat pd orang yg masih bisa bekerja. Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yg benar dalam duduk perkara ini ialah kalau hutangnya banyak & dia kesusahan sekali utk melunasinya maka beliau boleh mendapatkan zakat meskipun ia masih bisa melakukan pekerjaan . Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit / pihak pemberi hutangan memberikan pelengkap waktu maka hendaknya ia tdk mengambil zakat & berupaya utk melunasinya (sendiri).
5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ
“Sesungguhnya sedekah ini yaitu kotoran insan , & ia tdk halal utk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam & juga keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo ialah syarat yg diperselisihkan oleh para Ulama’. Ibnu Muflih rahimahullah berpendapat, “Hukum yg nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ghârim boleh mengambil zakat meskipun belum jatuh tempo. “
Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tdk boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. (20)
Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pertimbangan pertama dg catatan, baitul mal boleh mengeluarkan zakat utk ghârim tersebut, kalau jatuh tempo tinggal beberapa bulan / telah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun / lebih dari satu tahun maka tdk berhak menerima zakat utk melunasi hutang, kecuali keadaan orang yg memperlihatkan hutangan dalam kondisi sakit / membutuhkan. Wallahu A’lam. (21)
7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)
Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki menyerupai istri / kerabat lain, maka zakat yg diberikan kepada orang-orang ini tdk sah. Karena seperti dia membelanjakan harta utk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yg dikeluarkan ini tdk bisa dinamakan zakat, tetapi dianggap sebagai nafkah yg diberikan oleh kepala rumah tangga utk keluarganya. Orang-orang yg tergolong dalam tanggungan muzakki yaitu istri, anak & keturunannya & Bapak serta kakek keatas. (22)

  Hukum Diyat (Denda) Pada Jinayah (Kriminal) Anggota Badan

KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yg diberikan kepada ghârim adalah seukuran hutang yg mesti dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat utk ghârim cuma sebatas utk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ghârim diberi zakat utk menutup hutangnya meskipun sungguh banyak”(23)
Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan, “Ghârim diberi dari zakat sejumlah hutangnya jikalau hutangnya bukan lantaran maksiat” (24)
Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat adalah faqir & ghârim pd seseorang, maka boleh baginya mendapatkan zakat utk kemiskinannya & melunasi hutangnya sehingga beliau menerima dua jatah. (25)
Bila kita perhatikan dg cermat, syariat Islam yg tepat ini ternyata merupakan solusi terbaik dalam rangka membuat stabilitas ekonomi umat, di samping niat yg utama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla & menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.
Semoga gesekan pena singkat ini sanggup bermanfaat bagi kita & menumbuhkan semangat dalam bersedekah tdk cuma di bulan suci Ramadhan semata. Wallahu a’lam

Footnote
. Jâmi’ul Bayân ‘an Ta’wîlil Qur’ân, Ibnu Jarîr at-Thabari t , 10/164, cet. Maktabh Mushthafa al Bâby al-Halaby, Mesir Th. 1373 H
. Jâmi’ul Ushûl fi ahâditsi Rasûl, Ibnu Atsîr, 4/663, revisi Syuaib al-Arnauth, cet. Maktabah Al halwani, Th 1349H
. Al-Muthli’ ‘Ala Abwâbil Muqni’, Imam debu Abdillah Syamsuddin Muh. bin abi Fath al-Ba’ly al Hanbaly, 2/421, cet. Ke-3, al-Maktabul Islamy – Bairut Th. 1421H/ 2000M
. HR. Muslim, Shahih Muslim bi Syarh Imam Nawawi No. 1044, Kitâbuz Zakât. , cet. Ke-4, Th. 1422H/ 2001M , Darul Hadîts . Kairo Mesir
. Abhatsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu’âshirah, 3/91
. al-Ahzâb/33:6
. HR. Bukhâri no. 2224, Bâbus Shalât ala man Taraka Dainan
. Lihat Abhatsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu’âshirah, 3/93
. Al-Majmû’ Syarhul Muhadzab li Syairâzi , Imam Nawawi, edisi revisi Muhammad Najib al Muthi’i, 6/191-192. Cet. Maktabatul Irsyad, KSA
. Al-Inshâf fi Ma’rifatir Râjih minal Khilâf ‘ala Madzhab Imam Ahmad, Ali bin Sulaiman al-Murdawai, 3/233. Cet. Dar Ihyâ’ at Turats al ‘Aroby, Bairut
. Al-Istidzkâr, Ibnu Abdil Bar, 9/202, Dar Qutaibah Bairut. Cet pertama.
. HR. Abu Dâwud No. 1635 & Ibnu Mâjah No. 1841. Hadits ini dishahihkan al-Albâni dalam tahqîq Sunan Abu Dâwud, hlm. 284 cet. Maktabatul Maarif, Riyadl
. Al-Ijmâ’, Abu Bakr Muhmmad bin Ibrâhim Ibnu Mundzir an Naisabury, no. 136 hlm 56. Cet. Ke-2, Maktabah al-Furqân, Uni Emirat Arab, Th. 1420 H/ 1999M
. Al-Majmû’ Syarhul Muhadzab li Syairâzi , Imam Nawawi, edisi revisi Muhammad Najib al Muthi’I, 6/192, cet. Maktabatul Irsyâd, KSA
. Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu’âshirah, Prof. Dr. Sulaiman al-Asyqar, 3/100
. Ibid, hlm 101
. Disebut kotoran karena dg mengeluarkan zakat, harta yg dimiliki seseorang menjadi bersih & suci begitu juga jiwa orang yg mengeluarkannya.
. HR. Muslim, Shahîh Muslim bi Syarh Imam Nawawi, no. 1072, 4/190, Kitâbuz Zakâti, Bâb Tarku Isti’mâl Alin Nabi fi Shadaqât, cet. Ke 4, Th. 1422H/ 2001M , Darul Hadits . Kairo Mesir
. Al-Mubdi’ Syarhl Muqni’, Abu Ishaq Burhanuddin bin Muflih al-Hanbali, 2/410, cet. I Darul Kutubil Ilmiyyah, Th. 1418H/ 1997M.
(20). Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 6/192
(21). Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu’âshirah, 3/102
(22). Lihat al-Fiqhul Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az-Zuhaily, 2/885. Dar Fikr, cet. Kedua Th. 1405 H / 1985 M ,
(23). Al-Mugni, al-Muwaffaq, Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisy al-Jama’ily, 4/130, Cet. Ke-3 Dar Alimil Kutub KSA, Th. 1417 H /1997 M.
(24). Bidâyatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Muhammad bin ahmad Ibn Rusyd al Qurthuby, hlm. 221, Darul Kitab ‘Aroby, cet. Pertama, Th. 1424H/ 2004M
(25). Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu’âshirah, 3/97
Sumber http://debu-riyadl.blogspot.com