Kota Kami | Cerpen Lena Hanifah

Tak ada peristiwa besar yg memungkinkan wajah kota kami muncul di halaman utama surat kabar nasional. Kota kami tak pernah dilanda tragedi yg meluluhlantakkan segenap bangunan, mengusir warganya ke tenda-tenda pengungsian, lalu dibanjiri cahaya kamera. Sungai di kota kami hanya sesekali memuntahkan air, menggenangi jalan, & muntahan itu kami sambut dgn keriangan mirip liburan.

Tidak pula kota kami pernah menyelinap dlm ucapan lantang seorang tokoh yg kami harapkan berkata; “saya berasal dr kota B.” Atau yg diam-diam kami doakan berada di jalur kunjungan Bapak Presiden, sehingga akan tersiar dengan-cara viral isu tentang salah satu keponakan kami, yg dgn semringah tersenyum di televisi, sambil menggandeng sepeda gres.

Tidak! Kota kami tak semewah itu. Bahkan jika seseorang cukup berani untuk membanggakan pada kenalan barunya, yg muncul merupakan kernyitan di dahi. “Di mana itu?” Orang itu lalu berusaha menunjukkan di mana kota kami berada di peta digital. Tapi, alih-alih aplikasi itu memperlihatkan posisi tepatnya, yg timbul adalah kota dgn nama yg ibarat di negara antah berantah. Tapi jangan khawatir, andai sebuah ketika kau berkenan, senanglah gue menenteng kau berkeliling di kota kami. Menuju ke sana tidaklah terlampau susah. Eh? jangan membayangkan kau mesti menaklukkan semak belukar & binatang buas, meski kau sering mengejekku dgn bercanda bahwa gue berasal dr hutan belantara.

Jalan menuju ke sana cukup bagus. Lima jam perjalanan melalui jalan beraspal yg cukup membuat petualanganmu selama ini tak bermakna apa-apa dibanding terpacunya adrenalin saat diapit truk-truk besar pengangkut batu bara & semen. Salah seorang sahabatku dr Amerika (keren bukan?) yg pernah berkunjung menolak memejamkan mata untuk beristirahat barang sejenak. ia bilang tidak mau mati dlm keadaan penasaran. Kaprikornus, gue biarkan saja ia sebentar-sebentar mencengkram tas tangannya alasannya adalah kecemasan yg berurat berakar di perutnya. Lalu muntahlah ia. Mabuk darat.

Transportasi biasa ? O, tentu ada. Murah. Sekitar tiga puluh lima ribu sampai empat puluh lima ribu rupiah, tampaknya. Tak seberapa bukan? Ada hiburan musik dangdut koplo tersedia. Jendelanya akan menyiarkan hamparan ladang berdebu dgn sebaris sukarelawan yg meminta dukungan untuk langgar di tepi jalan. Sopirnya sering merokok, & ramah menjawab setiap perbincangan sambil mengepulkan asapnya ke wajahmu yg mungkin akan terbatuk-batuk. Sopir taksi colt yang menuju kota kami rata-rata adalah kerabat kami juga. Kau bisa tahu itu dr garis wajah mereka yg lumayan menarik, meski mereka letih & ketakutan karena penumpang yg makin berkurang.

  Kenangan Hari Raya | Cerpen Indrian Koto

Kenapa katamu? Sederhana saja, orang-orang di kota kami bahagia mempunyai kendaraan. Kau akan takjub menyaksikan betapa anak Sekolah Dasar dgn jumawa mengendarai sepeda motor. Jangan tanya soal mobil. Mobil apa yg tak ada di kota kami. Dari kendaraan beroda empat paling mewah sampai jelek ada, & mereka tentu lebih senang naik kendaraan eksklusif dibandingkan dengan naik kendaraan umum untuk bolak-balik menuju ibu kota provinsi. Kaprikornus tak perlu ketakutan, kita pasti sampai kesana meski kau mesti menahan kentut & sakit perut alasannya kita tak bisa asal-asalan meminta berhenti pada sopir. Semua pasti ingin cepat hingga. Kaprikornus, jangan mengusik dgn minta berhenti di toilet atau di mana pun. Jangan pula kau asal pilih melepas kentutmu itu. Bisa kau bayangkan bagaimana kesudahannya jikalau ada angin busuk menyebar di dlm colt sempit yg sarat dgn penumpang. Mereka sudah cukup muak mengutuk & berkeringat. Jangan kau tambahi penderitaan mereka.

Omong-omong tentang garis wajah yg menarik, kau tahu bahwa gadis & bujang dr kota kami memiliki wajah manis & bahenol. Hal itu sudah menjadi buah bibir di provinsi kami. Jadi, kami cukup mempunyai sesuatu yg membanggakan juga. Kelebihan fisik yg mungkin tercipta karena posisi kota kami yg berada di lembah yg sejuk. Ditambah lagi dgn hobi mereka memakai ramuan tradisional pupur dingin untuk perawatan wajah.

Dingin & lamban. Ya, kota kami berkembang lamban, mirip caramu menyisir tepi jurang yg dlm pada salah satu petualanganmu. Satu-satu & hati-hati. Bangunan bau tanah membusuk & bangunan baru merayap mirip bayi sembilan bulan. Di tiga puluh tahun pertama usiaku, tak ada gedung gres dibangun selaku mercusuar kota. Bioskop lama & satu-satunya di samping gedung pegadaian kawasan ibu kami menggadaikan cincin kawinnya dahulu, konon sudah digantikan oleh warung anak muda dgn musik yg melantun keras menantang zaman.

  Cerpen: Sarung Ayah

Kafe. Katamu. Bukan warung. Ya, kafe. Tempat gres untuk para keponakan & sepupu kami yg muda-muda. Tapi, mereka lebih bahagia pergi ke ibu kota provinsi & sebisa mungkin tak kembali lagi. Pulang cuma untuk berlibur & membanggakan logat baru mereka. Apalagi jikalau mereka tinggal di ibu kota negara. Susah payah mereka mengenang arti susunduk lawang atau lulungkang. Kata panggil gue & ananda pun berganti dgn kata ganti saya-kamu ala ibu kota. Kami terkagum-kagum memandanginya. Ikut bersorak pada setiap kisah kemenangan. Ikut bersedih pada tiap kisah kemalangan. Mereka terlihat fantastis. Keponakan & sepupu lain, kami tahu, dlm hati berharap mampu mengikuti jejak mereka. Jika tak mampu, cukup puaslah mereka menghabiskan malam di kafe gres tadi.

Jika kau tak suka kafe tadi, mari kita beranjak pergi. Berhadapan kita akan duduk di warung mie tua yg telah ada sejak gue belum lahir. Warung mie yg merupakan satu-satunya kemewahan di masa kecilku. Yang hanya buka di atas jam sembilan malam dgn antrean mengular tanpa henti. Aku yakin kau akan terheran-heran & bertanya apa yg istimewa dgn warung mie itu sehingga antreannya bisa berjam-jam. Aku akan tersenyum sambil melayangkan pandang pada lelaki tua berkulit hitam yg mengaduk-aduk mie di penggorengan besar. Cat kuning yg mengelupas di dinding warung itu berbaur dgn kalender basi yg telah tahunan tak pernah diganti. Anak kecil yg menangis alasannya mengantuk, lapar, & letih. Gadis muda yg sesekali menghentakkan kakinya alasannya adalah kenyamukan. Perempuan berkerudung & pria berkopiah putih yg masing-masing memberengut pada telpon genggamnya. Sementara di tak jauh dr situ, menanti pula serombongan lelaki bergamis putih yg gres pulang pengajian, bersandar di dinding warung rokok yg ditunggui perempuan bau tanah sambil mengunyah sirih.

Kau mengehela napas. Tidak, sayang. Jangan menatap remeh begitu. Meski jarang dikenang, begini-begini kota kami melahirkan banyak tokoh dr rahimnya yg perih alasannya adalah ketertinggalan. Mereka yg pergi & tak kembali. Atau mereka yg mencoba kembali, kemudian putus asa, & pergi lagi secepat yg mereka bisa. Atau mereka yg kembali & tetap tinggal, yg dgn sisa idealisme merasuk ke partai-partai. Kota kami dgn sayang akan tetap memeluk semua orang yg bertahan, pula mengirimkan mimpi bagi mereka yg berlari pergi.

  Rendang Buatan Ibu | Cerpen Ahda Imran

“Sudahlah, Bu…” Kau berkata sambil menyalakan penghangat untuk menghangatkan tubuhku. Aku termenung. Rambut pirangmu yg tak pernah merasakan hembus angin dr kota kami bergoyang perlahan. Aku ingin menyahut, memaksamu agar kembali duduk menyimak cerita kota kami yg kutinggalkan berpuluh tahun yg lalu alasannya adalah semua yg tersisa dr ayah kami kakekmu dirampas. Diambil paksa oleh adik kandungnya karena tak satu pun kakak atau adik lelaki yg kupunya. Meninggalkan gue terkaing di jalan. Menyeretku ratusan ribu kilometer jauhnya dr rumah masa kecil. Mendamparkan gue di sini. Kota asing yg bukan kota kami. Kota yg menunjukkan gemerlap & kemerdekaan. Kota yg mengulurkan tangganya biar kunaiki, yg dipuncaknya berdiri ayahmu. Bermata cokelat seperti kastanye. Rambut pirang dgn senyum kekanak-kanakan yg jenaka. Kota yg dikelilingi seribu pantai, tetapi tak satupun yg bisa kulabuhi meski ada ayahmu sebagai kapten.

“Tapi ini kotaku,” ujarmu.

Aku tahu kau akan berkata begitu. Tali pusarmu ditanam di sini, di bawah senyum geli ayahmu. Tak ada yg menanam tali pusar di sini. Tapi ia membiarkanku melaksanakan itu. Tali pusarku ditanam di kota kami. Di salah satu pojok halaman belakang rumah kami. Di bawah senyum ayahku & lembut belai ibuku. Ia merajutkan benang tak kasat mata ke segala penjuru di mana gue berada. Menjalin simpul laba-laba infinit yg tak bisa kurenggut dr pusarku.

Dari jendela terlihat pohon Jacaranda yg ditanam ayahmu, mulai berbunga, menyerukan isu terkini semi. Lelaki bermata kastanye itu tak sempat menyanggupi janjinya membawaku kembali ke kota kami. Ia pula tak sempat mengantarkanmu di pernikahanmu sebulan lalu. Ia telah tiada.

Aku berjanji akan menyusulnya saat simpul tali pusar itu terputus. Saat ini gue akan tetap berada di sampingmu. Mungkin menanti hingga kau memberiku cucu yg pula tak akan mengenal kota kami. Aku terbatuk. Memandang sepi. Aku ingin pulang… (*)

Catatan:
*Susunduk lawang: sebutan untuk palang pintu tradisional yg dipakai di rumah di wilayah Kalimantan Selatan.

*Lulungkang: jendela