Kota ini Memberiku Kesedihan Terbaik | Cerpen Aris Kurniawan

Kota ini memberiku kesedihan terbaik. Suatu hari gue mengunjunginya sesudah beberapa tahun kutinggalkan. Telah kubawa ke mana-mana kesedihan terbaik ini. Ia mengeram dlm tubuhku & tak tergantikan oleh apa pun. Tubuhku telah mengarungi terlalu banyak perjalanan & kota-kota lain. Tapi tak ada yg pernah memberiku kesedihan sebaik yg diberikan kota ini.

Bertahun-tahun dlm perjalanan hidupku dr satu kota ke kota lain, sejujurnya gue ingin selalu kembali ke kota ini untuk menyaksikan bagaimana permulaan mula kesedihan terbaik itu berkembang & menggeliat & menjadi hanya milikku seorang. Tetapi panik membuatku selalu mengubur harapan itu sekuat tenaga. Sampai gue memutuskan merawat dgn lapang dada kesedihan terbaik itu di dlm tubuhku.

Aku merasa dgn kesedihan terbaik itulah gue sanggup bertahan tinggal di kota-kota lain yg jauh dr kota kelahiranku. Kesedihan itu melatihku menundukkan rasa bersalah & jenuh sepanjang mengarungi perjalanan jauh. Kupikir merawat kesedihan terbaik itu hal terbaik yg mampu kulakukan sampai dikala ini. Pernah terpikir olehku untuk membuangnya dr tubuhku, melemparnya ke jalan raya supaya tergilas kendaraan yg lalu-lalang atau mencemplungkannya ke sungai dr atas jembatan agar karam & hilang selama-lamanya. “Kesedihan yaitu harapan,” kata seseorang yg terus mencoba mengajakku bercakapcakap sejak gue duduk di dlm kereta.

Dia duduk di sebelahku. Aku cuma meladeni sekadarnya. Biasanya gue senang ngobrol dgn orang yg duduk di sebelahku dgn cita-cita mendapatkan kisah menawan yg bisa kutulis menjadi cerita. Namun kali ini gue kehilangan gairah justru karena orang di sebelahku mengajak bercakap-mahir lebih dulu & kelihatan terlalu bersemangat dgn tatapan mata yg membuatku merasa harus lebih waspada. Zaman memang sudah jauh berubah. CCTV ada di mana-mana. Tetapi kejahatan senantiasa berubah wujud mengikuti kemajuan.

Aku menyewa kamar kapsul yg disediakan di stasiun tujuan. Sialnya orang ini pula menyewa kamar di sebelahku. Kini ia tiba-tiba duduk di seberang mejaku di teras minimarket di luar stasiun. Asap kretek mengembus dr mulutnya. Meletakkan dua minuman kaleng di meja. “Harapan mampu ditumbuhkan oleh kesedihan, terutama oleh kesedihan terbaik,” ujarnya dgn nada menasihati & agak membujukku menceritakan perihal kesedihan terbaik yg kumiliki. Kata-katanya seperti penuh filsafat, tapi gue malas merespon.

  Berlindung di Bawah Payung yang Robek | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Aku tak akan menceritakan kesedihan terbaik ini pada siapa pun, terlebih pada orang yg baru kukenal. Aku takut mereka mencuri satu-satunya harta paling berguna yg kumiliki.

Sudah lama gue membenamkan dalam-dalam anggapan untuk membuang kesedihan terbaik yg dianugerahkan kota kelahiranku. Ia telah memilihku menjadi daerah terbaik untuk bersarang. Sekarang bila gue nekat mencopot kesedihan itu dr tubuhku sama saja dgn mengiris-iris dadaku. Aku akan hilang lenyap serentak dgn lepasnya kesedihan dr tubuhku. Aku belum mau lenyap dr kehidupan ini sesia-sia apa pun.

Aku kadang tersenyum membayangkan kesedihan terbaik itu berbaring nyaman dlm tubuhku. Ia mungkin mirip seekor kucing yg selalu menghidupkan perasaan gemas & iba. Yang membuatku senantiasa ingin mengelus-elus bulu-bulunya yg lembut & mengasyikkan. Menatap mata beningnya yg bisa jenaka bisa garang & siap mencakar.

Di kota T gue pernah menetap cukup usang dgn cita-cita menemukan kesedihan yg lain dgn aneka macam cara dr sejumlah orang. Tapi tak satu pun dr mereka yg bisa memberiku kesedihan terbaik, saat gue meninggalkan mereka atau tatkala mereka meninggalkanku dgn aneka macam argumentasi atau tanpa argumentasi sama sekali. Hanya dirimu & kota kecil kita yg mampu memberiku kesedihan terbaik.

“Aku sudah memberikan segalanya. Tapi tak pernah mengetahui yg ananda kehendaki. Apa itu kesedihan terbaik. Orang-orang bersusah payah tiap hari bahkan harus pergi ke ujung dunia untuk mendapatkan kebahagiaan. Kamu malah menginginkan kesedihan, terbaik pula,” kata kekasihku.

Dia meninggalkanku & gue tak mendapatkan kesedihan terbaik dr kepergiannya seperti yg kuharapkan. Hatiku tawar menatap matanya yg basah dikala berpamitan. Aku ingin meminta maaf, namun kesusahan mengungkapkan letak kesalahanku & mengawali dr mana.

“Kamu sudah menghancurkan kebahagiaanku.” Itu kata-kata terakhir sebelum ia benar-benar pergi menjinjing tas.

Kebahagiaan yg hancur tak sama dgn kesedihan terbaik, gumamku, menyaksikan punggungnya lenyap di balik tikungan jalan. Aku masih sempat berdoa mudah-mudahan ia mendapatkan pasangan yg tepat.

Aku berjalan menyusuri trotoar di bawah tiang-tiang lampu yg cahayanya memendar redup menerangi jalanan kota kecil ini sambil menimbang-nimbang betapa dahulu gue tak bisa menerima kesedihan terbaik menjadi penggalan dr diriku, bagi tubuhku. Itu yaitu masa-masa melelahkan tak terperi. Aku duduk di dingklik trotoar & mengenang lagi kesedihan terbaik itu tiba kali pertama. Seperti ingin menegaskan bahwa bentuknya masih sama hingga sekarang.

  Siapa yang Telah Mengisi Shaf? | Cerpen Ede Tea

Kesedihan terbaik itu muncul tepat dikala ananda pergi. Saat gue mengantarmu di Stasiun Kejaksan. Melihat ayah-ibu & kerabat-saudaramu satu per satu memelukmu sebelum ananda ditelan gerbong kereta jurusan Surabaya. Kesedihan yg begitu indah & membuatku mabuk sempoyongan hingga bertahun-tahun kemudian.

“Aku akan mencicipi kehilangan yg sama, tapi itu tak akan bertahan usang. Kesibukan akan segera melalaikan kesedihanmu. Boleh sentimental namun sebentar saja,” katamu. Ketegaranmu mengucapkan itu membuatku kagum sekaligus benci.Aku ingin memercayai kata-katamu, meskipun tahu itu akan percuma belaka. Kesedihan itu justru kian berkilau indah oleh ucapanmu. Apakah ananda betul-betul hanya sebentar mempunyai kesedihan terbaik yg tumbuh dr perpisahan kita? Aku melenguh & mendapati kesedihanku semakin sempurna oleh anggapan itu.

Aku tak beranjak dr Stasiun Kejaksan tatkala semua pengantarmu sudah pulang meninggalkan stasiun. Duduk di dingklik peron memandang batangbatang rel kereta yg cuek & kaku.

Merasakan kesedihan terbaik menggeliat berdiri & berdegup seirama debar jantung. Senja mulai turun mengirim kereta yg datang & pergi menelan & memuntahkan orangorang yg tak pernah habis. Senja yg kusam & tak mempublikasikan selera apa pun selain puisi murung & pilu.

Aku melangkah gontai keluar dr stasiun sambil mendekap kesedihan terbaik itu baik-baik di sekujur raga & jiwaku. Angin menampar wajahku di pintu gerbang stasiun. Tamparan yg sungguh keras & membuatku terhuyung. Angin yg menyeret debu, naik turun & menghinggapkannya pada wajahku. Aku melangkah di atas trotoar seolah terbang di antara gulungan kabut. Kita pernah melangkah bersama di trotoar ini, menyusurinya menyingkir dari pelajaran yg menjemukan di kelas. Menyelinap masuk ke kios permainan dongdong. Lalu masuk toko buku di sudut mal. Atau duduk berjam-jam di alun-alun, mengkalkulasikan angkot yg berseliweran sampai suasana temaram.

Kini cuma ada langkah sepatuku di trotoar ini, di bawah temaram lampu jalan. Angkot-angkot bergerak malas. Aku menyeberang perempatan lampu merah. Tetapi tatkala hingga di seberang, sekawanan preman menghampiriku, mengerubutiku, mengambil dompet dr saku celanaku. Mereka mendorongku hingga terjatuh, kemudian tertawa-tawa meninggalkanku. Aku bangun & melanjutkan langkahku seolah tak terjadi apa-apa. Melintasi gugusan toserba, kios koran, warung kopi, & mal. Kita sering berdiri berlama-usang di kios koran itu. Membukai koran & majalah, mencari nama kita di halaman sastra. Memborong majalah bekas sampai uang kita tandas & harus mengadang pikap omprengan untuk pulang ke rumah yg berjarak 30 kilometer dr kota kecil ini.Pulang ke tempat tinggal bukan lagi harapan. Bukan karena uangku nyaris tandas diambil kawanan preman tadi, melainkan tak mendapatkan argumentasi berpengaruh untuk secepatnya pulang melalaikan kesedihan seperti yg ananda nasihatkan.

  Seekor Unta pada Hari Jum'at | Cerpen Mashdar Zainal

Trotoar berangsur sepi. Deretan toserba satu per satu mematikan lampu & menutup pintu. Hanya tukang becak & pedagang jagung rebus & bandrek pinggir jalan masih bertahan. Mereka memang gres mengawali acara. Aku membeli segelas serbat dgn sisa duit yg terselamatkan. Sambil menyesap serbat gue mengayunkan langkah ke arah alun-alun. Keretamu mungkin sudah sampai Surabaya. Keluarga yg mengantarmu mungkin sudah sampai rumah & tidur pulas.

“Rokok?” Tiba-tiba sepotong tangan menyodorkan sebatang rokok. Aku meraih & menyelipkannya di sela bibirku. Tangan itu memberi api dr pemantik, menyalakan ujung rokokku. Lalu entah bagaimana caranya ia telah menuntunku berlangsung ke sudut remang, duduk di undakan. Bibirnya membisikkan entah apa di kupingku. Lalu tangannya bergerak ke perutku, terus ke bawah membuka ikat pinggang & celanaku. Selebihnya gue bagai tersengat.

*****

MALAM ini gue duduk di kedai kopi Stasiun Kejaksan, menghirup masbodoh udara kemarau yg belum akan selsai. Memandang orang-orang lalu-lalang menggendong ransel & mendorong kopor sambil mengenang tahun-tahun pertama tatkala ananda masih membalas surat-suratku. Tahun kedua ananda hanya membalas satu dr enam surat yg kukirim. Tahun berikutnya sepuluh surat yg kukirim & ananda cuma membalas sekali. Tahun keempat tak ada surat sepucuk pun.

Aku ingin tertawa lucu atas keisenganku datang mendatangi kota ini, stasiun ini, sambil membawa kesedihan terbaik. Aku bangun & masuk minimarket berbelanja beberapa kaleng minuman & keripik kentang. Lalu melangkah kembali ke kamar kapsul. Kupikir cukuplah membiarkanku sentimental. Tatkala gue masuk & menutup pintu kamar kapsulku, kulihat seseorang bangun dr kasur. “Ceritakan kesedihan terbaikmu dgn sukarela, gue akan memaksamu!” katanya seraya mengeluarkan pisau.(*)