Dimatanya tersimpan ribuan kenangan yg ganjil wacana kota itu. Kota yg sekujur bangunan & tanahnya—serta jurang semestanya—kini sudah berselimut debu, tak tersisa bahkan reruntuhan secuil nisan pun, seluruhnya mendadak bubuk-abu seragam, mirip bangunan sejarah yg menganga, dgn masih menyisakan beberapa helai napas orangnya.
Orang-orang tiba ke kota itu hanya untuk berwisata, bukan tentang keindahan, melainkan wacana rasa kehilangan. Lelaki itu, masih dgn matanya, memandang kotanya sendiri dgn perasaan yg menggebu, ia seperti berdiri ditapal batas, disebuah medan yg memisahkan masa depan dgn masa kemudian, ia tak lagi bisa bergerak, sekujur tubuhnya kaku, mirip kepedihan yg menahannya selama bertahun-tahun ditempatnya berdiri. Sekarang ia hanya mampu memandang, tanpa bisa dipandang oleh orang-orang yg berlalu-lalang—ia telah terbungkus debu yg amat berjarak bagi setiap pandangan.
Mengunjungi kota itu seperti mengunjungi detik-detik ajal. Aroma debu terasa sampai ke hidung, aroma penderitaan terasa hingga ke ubun-ubun. Aroma kematian seperti cuaca kemarau yg tersedak. Dan hujan tak pernah tiba, kecuali dlm puisi bawah umur yg sekolahnya telah tepat terendam.
Bagaimana pun, ingatan akan tetap berlangsung, bareng tumpukan kisah yg berkelindan, menebas masa kemudian yg berkembang sewaktu-waktu. Ingatan itu mengucur setiap dikala dlm pikirannya. Lelaki itu akan senantiasa punya cara, entah bagaimana, untuk tetap menganggap kota ini masih berbentuk seperti sedia kala.
“Dulu, rumahku disana itu, yg pagarnya bambu, didekat suatu pos ronda yg dibangun sebenarnya sebelum tahun gres. Dihalaman rumah, gue punya kebun anggur, biar kecil, tetapi istriku bersungguh-sungguh merawatnya, menggunting ranting yg bandel, menyapu daun-daun kering, ranting-ranting anggur itu terjulur sampai menjamah genteng, rumahku jadi sejuk, para tetangga senang berkunjung, hanya untuk duduk-duduk, memetik anggur yg akrab, & bersandar sambil mengobrol wacana apa saja. Ada pula bunga matahari yg tertanam di pot-pot, berbaris di teras rumah, bersebelahan dgn bunga mawar, melati, & flora bonsai. Aku, walaupun bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi hidupku tepat, honor bulanan memang kecil, itu pun sudah dgn korupsi skala kecil setiap kali ada proyek bulanan. Aku senang dikota ini, terutama desa tempatku tinggal, begitu asri, bahkan dengan-cara khusus, desaku pernah jadi juara kontes kebersihan lingkungan, gue pun pernah ditunjuk jadi seksi kebersihan.
Tetapi tentu tak seluruhnya bersih, di kota ini, industri tumbuh seperti jamur trend penghujan. Sepanjang siang, gue akan menggunakan masker, helm, & seragam, beradu dgn cerobong yg menganga, mengeluarkan gas & menumpahkan limbah: plastik & cairan kental berbau busuk. Saluran-kanal terkadang saling bersilang di daerah yg tak sebaiknya. Tetapi inilah hidup kami. Dan kami menikmatinya, & kami mengamininya.”
Dalam setiap ucapannya yg entah pada siapa, lelaki itu seperti hendak melakukan ziarah masa lalu, entahlah, apa yg diucapkannya mirip tak pernah ada, seperti tak mungkin ada di kawasan yg penuh debu pejal mirip sekarang ini.
Debu itu, mulanya yaitu air keruh diperut bumi, berupa titik yg tak terpikirkan, lalu suatu industri merasa terdesak, lalu kepanikan melanda suatu dusun, dinding retak, lalu tanah ikut merendah, bumi seperti sedang melakukan metabolisme tingkat tinggi. Selanjutnya semua menyebar, dr dusun ke dusun, bertambah luas area, desa, kecamatan, hingga beberapa tahun kemudian, seluruh kota retak, pecah, semacam ledakan kimiawi yg menantang sebuah peradaban. Kemudian debu datang sebagai kado perpisahan, bareng dgn lubang menganga yg mengeluarkan asap menantang. Dan bumi, bagi mereka, mirip tak ingin lagi berjabat tangan.
SESAAT terdengar derak-derak gerbong & suara peluit kereta. Tak jauh. Mata lelaki itu selalu bisa menangkap bagaimana kereta menyibak kesuraman waktu, menyalakan lampu lokomotif yg temaram menelan udara kelabu. Kereta merangkak pelan, rel pernah terisap cairan keruh, yg sesudah mengering cuma menitipkan debu. Kereta apakah yg melaju mirip cacing itu? Mutiara Timur? Sri Tanjung? Logawa? Warna gerbongnya begitu samar. Para penumpang dlm kereta pun hanya memandang, entah memandang apa. Sekali lagi, alasannya ini bukan wisata, melainkan sebagai terapi hati yg bisa didatangi setiap hari.
“Lihat Nak, itu pasti tinggi & dlm sekali.”
“Hebat ya, Bu. orang-orang bisa menciptakan gunung.”
“Itu bukan gunung, Nak. Tapi pulau, kita sedang melihat janin sebuah pulau.”
“Itu asap apa, Bu?”
“Anggap saja itu gunung berapi.”
“Gunung berapi?”
“Ya. Kamu mesti tahu, pulau selalu punya gunung berapi.”
Rel kereta bergetar pelan, tak jauh di seberang rel, orang-orang pekerja sibuk menutupi jalan raya yg pecah, dimana-mana pecah, berlubang, & menyembur cairan kental, basah. Itu jalan raya terakhir yg masih mampu terlihat, mereka hendak menyelamatkannya. Orang-orang menutup pecahan itu dgn tanah, lalu merembes lagi. Orang-orang menimbunnya lagi, dgn karung beras, dgn batu-watu, kemudian menambalnya dgn aspal panas. Namun tak usang, di belahan lain tak jauh dr situ, suatu lubang timbul lagi, jalan retak lagi, orang-orang bekerja lagi. Jalan raya itu menjadi penuh tambalan yg memilukan, tanpa teladan yg manis, abstrak, & mengkhawatirkan.
Dari kejauhan, laki-laki itu bisa menyaksikan kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat mirip terayun di lautan. Debu menjebak kaca mereka seperti malam menyergap kelam. Jurang mengancam. Kemudian ia kembali sibuk dgn monolog batinnya.
“Tentu saja, sepanjang hidup ini, sepanjang udara yg kuhirup di bawah kebun anggur, gue tak pernah terpikir untuk tidur di pasar, bertumpuk seperti bangkai binatang yg tak laris dijual. Tak pernah terpikir bahwa rumahku hanya setumpuk debu, sisa cairan yg mengendap bisu. Tetapi bukankah hidup sarat disharmoni?
“Memang seperti sihir saja, tak butuh waktu lama, tiba-tiba kota ini menjadi debu, rumahku menjadi debu, dinding retak mirip roti kering, kedaluwarsa menyengat tercium sampai ke tempat tidur kami. Air keruh, sumur mirip jurang neraka menganga, kami tak mengajukan pertanyaan, tiba-tiba kami hanyalah sampul suatu info.
“Ya. Tiba-tiba dunia berganti, dunia menjadi sempit, sebatas pasar yg hampir runtuh, kami ditumpuk di sana, istriku begitu cepatnya menjadi renta, wajahnya keriput, dahinya mengkerut, anak-anakku muntaber, sekolahnya hanya di angan-angan. Buku-buku menjadi kemasan kacang yg dijual setengah kilo. Aku tidur bersama busuk bau selokan, selokan yg sarat limbah, yg tatkala diperas akan mengucurkan uang, & uang itu mengalir entah ke bahari mana. Kami, para laki-laki yg masih mempunyai tanggung jawab, hanya menghabiskan malam dgn main kartu, domino, namun kami tak berjudi, apa yg mesti digunakan untuk judi? Sampah-sampah? Bukankah kami yg justru telah menjadi korban perjudian? Kami pula main catur, kami gerakkan pion, & setiap kali gue memindahkan sesuatu dlm petak segiempat itu, entah kuda, menteri, atau ratu, gue merasa memindahkan suatu dunia, memindahkan sekumpulan nasib yg meraung-raung tak mampu kemana-mana. Tetapi itu hanya papan catur, yg tatkala dini hari menyergap, maka akan dirapikan & ditumpuk di atas kardus-kardus mie. Kami melihat mie seperti padi, menjadi masakan pokok, tetapi mie tak mampu ditanam, tak bisa dipanen, entahlah, plastik itu menjadi sangat berguna bagi kami. Setelah letih bermain, kami pun kembali ke tempat masing-masing, melihat anak & istri kami tak ubahnya kandidat ikan asin.
“Dunia kemudian hanya memperlihatkan sayuran yg tumpah. Malam hari hambar udara menusuk, siang hari panas merasuk, seharian kedaluwarsa badan membusuk. Tiba-tiba istriku bilang tak kuat lagi. Ia ingin pergi ke tempat tinggal orangtuanya. Tak jauh memang, cuma berselang beberapa kota. Anak-anak pula mirip lidi, kurus kering bukan lantaran dimakan usia atau penyakit, melainkan disantap oleh manusia yg tak kasat mata. Ya, kami semua telah menjadi mangsa manusia. Dan yg tersisa hanya debu, yg membuat kami merasa cuma bertelanjang dada tanpa mampu tersedu.
“Anak-anakku dibawa istriku pergi, ke kota yg tak begitu kukenal. Sebenarnya ia sudah memaksaku ikut, namun, apakah mudah seseorang pindah dr kota yg lama ditinggalinya? Kota yg beberapa tahun menabung kenangan dikepalanya? Aku memilih untuk tinggal, menghimpun kembali secercah cita-cita. Bahkan dlm debu pun gue berpikir ihwal sisa keindahan, kota ini memang telah rata, sama dgn gurun Sahara, namun kenangan tak akan hilang, meski usaha cuma berhenti ditangan undang-undang, namun toh kami masih bisa mencicipi gerimis turun di ubun-ubun kami, seperti hendak mencairkan asumsi yg membatu. Seperti ingin menghibur bahwa hidup tak selamanya peluru.
“Kami masih punya doa, kami punya ekspresi yg tak sepenuhnya terkatup, sudah habis rintihan, tetapi segalanya mirip ziarah, tatkala Hari Raya tiba, seakanakan sirna debu itu, seakanakan kami berubah menjadi kembali, & orang-orang pun merasa takjub. Kemudian kami akan kembali, berdiri, berpencar, di batasan kawasan kami pernah hidup selaku manusia.”
SETIAP saat, bunyi laki-laki itu terus menggema & bertiup bersama debu, debu yg dirasakan sebagai peristiwa, sebagai sisa jelajah insan. Lelaki itu sendiri masih berdiri dipintu batas kota, seperti pangeran yg tiba di panggung sandiwara, mirip pengelana yg merenungi sisa kepergiannya: Halaman rumahnya masih ia hapal, ia ingat betul berapa langkah untuk tiba di depan pagar, membuka pintu bambu yg artistik, lalu menerima sambutan hangat dr anak-anaknya yg masih kecil & lucu. Tetapi kini tubuhnya pun hanya debu, berapa tahun ia tak berganti busana? Haruskah ia masih berpikir ihwal performa? Di bibirnya yg pecah itu seperti menyembur sisa-sisa doa.
“Ibu, Ibu, orang itu siapa?”
“Yang mana?”
“Itu, yg berdiri, yg bajunya abu-bubuk.”
“Abu-debu? Mana, sih?”
“Lho, Ibu tak lihat? Itu, terperinci kok, berdiri mengadap ke sana.”
“Ah, ananda ada-ada saja. Di sini sudah tak ada orang tinggal, semuanya pergi….”
Orang-orang—siapa pun & dr mana pun asalnya—memang tak pernah bertanya eksistensi sisa penduduk kota itu, semua jejak kisah & jerit rintih meresap alami, mengendap & hilang ke dlm debu. Seperti info dlm koran bekas. Padahal mereka semua pula manusia, yg paham perihal hakikat kehilangan. Tetapi bukankah segenap kisah ihwal insan di kawasan ini telah usai? Ya. Sama mirip benda-benda lain di kota ini, rasa kemanusiaan pun telah lama hilang, menjadi debu. (***)