close

Kolak | Cerpen Teguh Affandi

Seolah, selama setahun disembunyikan & hanya digelontorkan dikala Ramadhan, kolak melimpah ruah sehari penuh-hari puasa. Meskipun misterius, kurma yg mendadak melimpah di swalayan modern sampai pasar tradisional masih masuk akal. Meski bermula dr Tanah Persia, nyatanya sebulan menjelang puasa sampai pasca- Idulfitri kurma mudah sekali ditemukan. Bersama hadis cara Nabi berbuka, buah pokok Phoenix dactylifera lantas terkenal diseluruh dunia. Lantas, bagaimana dgn kolak? Tak ada ulama, kiai, ustadz, atau wali menyahihkan bahwa kolak kudapan khusus ketika Ramadhan. Tapi, semua mirip setuju kolak cuma lezat dikonsumsi ketika buka puasa.

Pun, di meja makanku. Sejak hari pertama Ramadhan, menu kolak senantiasa hadir menyapa kehampaan perut setelah seharian menahan lengang lapar & gersang dahaga.

“Bisa-bisa, Lebaran nanti gue kena diabetes,” sindirku. Indit menuang sambal kacang & sambal kecap di mangkuk terpisah untuk pemanis satai ayam & satai kambing. Senyumnya mengembang rembulan tanggal lima. Tipis, manis, & meruntuhkan segala jenis pitam.

“Yang mudah,” katanya.

“Gula, Dik, gula!” kucoba melontarkan sanggahan. Aku bahwasanya tak jenuh dgn suguhan kolak Indit. Begitu-begitu saja, tetapi tak enek juga. Namun, jikalau Indit membuka kesempatan kuliner lain selaku sajian ifthar, bisa jadi cintaku pada kolak akan makin mengental, mirip santan. Cinta yg terlalu saban hari, bisa-bisa luntur tanpa disadari.

“Dijamin kolak-kolak kemarin tak menciptakan kadar gula naik,” jawab Indit, tangannya terus konsentrasi pada meja bak lautan makanan.

Nggak bagaimana? Kolak saban sore manis begitu,” tukasku.

“Karena Mas minumnya di dekat orang paling manis sedunia, jadi semuanya terasa manis,” nada bicara Indit genit.

Meski berulang kali kusindir, Indit masih saja menyuguhkan semangkuk kolak berisikan ubi jalar, kolang-kaling, pisang, & sesekali ditambah labu kuning. Dalam benakku, pernah berprasangka jangan-jangan Indit gres bisa mengolah masakan minuman iftar kolak saja. Menurutku itu masuk akal. Karena, Indit bukan tipe wanita dapur semenjak muda. Baru, dikala kuboyong ke Perumahan Casa Grande, Indit mau tak ingin mencar ilmu membumi dgn perkakas dapur & bumbu.

Maka, bila Indit hanya mampu menghidangkan semangkuk kolak selaku suguhan pembatal puasa, menurutku, itu suatu kewajaran. Namun, nyatanya tidak. Beberapa hari sehabis kusindir Indit menciptakan es kelapa muda dgn sirup coco pandan. Merah menggoda. Dua gelas besar dihidangkan. Sejenak kemudian, Indit kembali keluar dgn menu pembuka puasa andalan semangkuk kolak.

  Balada Penyair | Cerpen Ade Ubaidil

“Kolak lagi? Ini sudah bikin kelapa muda.”

“Tetap harus ada kolak di meja, Mas.”

“Siapa yg mau makan?”

“Ya, disantap saja, toh kolaknya tak buruk-buruk amat.”

Segelas es kelapa muda memang habis, lantas dilanjut meraih semangkuk kolak yg begitu abnormal ludes masuk perutku yg kosong. Benar bila dikata orang berpuasa bisa jadi monster saat berbuka.

“Kamu mahir sekali membuatnya,” sendawaku menguasai luasan meja makan. Indit menyeringai.

“Bukan. Indit tak menjadikannya. Itu Indit beli di Bu Rasdi,” Indit merapikan mangkuk piring yg kehabisan penghuni.

“Kalau beli, kenapa senantiasa kolak?”

“Bukan cuma beli, namun memberi rezeki.”

Aku menelengkan kepala ke kiri menatap wajahnya yg seolah senantiasa lembab oleh kesejukan.

“Mas, kalau pulang kantor, sesekali amati di muka perumahan kita,” Indit berhenti sejenak.

Membawa tumpukan perabot kotor ke dapur. Pikiranku menjajal mencungkil-cungkil kenangan saat melewati paras perumahan. Gerbang bertuliskan “Perumahan Casa Grande” tercetak besar di atas tembok cat kuning pastel.

Lalu, patung seekor kuda sembrani yg dr sayap-sayapnya menyemburkan air mancur. Tidak ada hal istimewa sekuat gue mengundang semua memori.

“Di ujung sana, saban sore ada janda renta, Bu Rasdi berdagang kolak.”

“Memang, tak ada yg membeli?” Indit menggeleng.

“Seharusnya, rezeki kolak di Ramadhan semanis kuahnya,” Indit mendesah.

“Padahal, rasa kolaknya tak buruk-buruk amat. Santannya tak encer, gulanya bukan gula biang. Isinya pula lumayan. Mengapa tak laris terjual?” Indit lagi-lagi menggeleng tak mengetahui.

Dalam hati gue berjanji, esok ketika pulang kantor ketika memasuki gerbang Casa Grande akan kupelankan kendaraan beroda empat & memperhatikan kios kolak Bu Rasdi yg dimaksud Indit. Sekadar ingin membenarkan aneka prasangka yg serta-merta merimbun di kepala.

*****

Kira-kira, 100 langkah, gue melihat sebuah kios kecil diterpa angin & sengat matahari. Bukan kios. Hanya suatu meja kecil & dua buah periuk ukuran besar terjejer yg bisa kupastikan berisi kolak. Bu Rasdi dgn bocah berusia lima atau enam tahun membebek ke mana saja ia bergerak. Wajan cukup besar di atas kompor minyak ditutupi kardus menghalau angin yg mengoyak kobar api. Dengan tangan, Bu Rasdi mengambil adonan gorengan lalu mencemplungkan ke dlm minyak panas. Ternyata, selain memasarkan kolak, Bu Rasdi menjajakan gorengan hangat.

  Mila Karakas | Cerpen Mashdar Zainal

“Pantas tak laku,” simpulku melihat. Bagaimana orang-orang utamanya penghuni Perumahan Casa Grande yg pada umumnya usahawan & anggota dewan, berniat membeli kuliner yg disajikan asal pilih. Gorengan dibiarkan terjamah debu tanpa serbet atau koran penutup. Kolak-kolak disontak begitu saja di dlm jumbo besar. Dan tangannya. Duh, ini duduk perkara utama. Tangannya entah sudah mendarat di mana saja, begitu saja mengambil campuran gorengan, memasukkan dlm minyak mendidih, membalik, & tanpa dicuci bersih lantas mengambil beberapa sendok kolak untuk dikemas plastik.

Dengan dagangan ala kadarnya demikian, Bu Rasdi sebaiknya berjualan di pinggir jalan raya atau kompleks perumahan kampung. Atau, sebaliknya, bila tetap ingin menjajakan jajanandi perumahan seelite Perumahan Casa Grande seyogianya memakai cara yg lebih bersih & higienis. Agar menarik perhatian penghuni Casa Grande.

Diam-membisu, gue mulai membayangkan hal-hal kotor dr kolak Bu Rasdi yg saban buka disuguhkan Indit. Sudah gue akan berhenti makan kolak. Tapi, gue tetap bangga pada Indit yg berbelanja tak hanya untuk urusan perut sendiri. Indit pula memikirkan Bu Rasdi.

Seeorang wanita yg kuketahui bernama Bu Karin, sekretaris perusahan negara mendekati kios Bu Rasdi dgn masih mengenakan blazer kantor. Bu Karin mempunyai jiwa sosial serupa Indit. Bu Karin pasti merasa tak yummy melihat kolak Bu Rasdi tak laku. Rasa iba mengalahkan nafsu ingin makan.

Beberapa menit kemudian, mendekati pukul setengah lima petang, banyak ibu mendekati kios Bu Rasdi. Beberapa sudah menjinjing mangkuk atau rantang masing-masing. Saat mendekat, tangan para ibu yg dilingkari gelang emas & cincin mahal, memilih-milih sendiri gorengan yg hendak dijadikan sajian iftar. Aku tersenyum.

Ternyata, di perumahan elite sekalipun jiwa tolong menolong masih berkembang. Membeli gorengan & kolak yg sudah pasti terlihat tak higienis & murahan demi memberi rezeki orang lebih sulit.

Juga bersyukur, Bu Rasdi bisa memasarkan dagangan & membawa uang untuk kebutuhan Ramadhan.

“Tidak apa-apa Indit, kalau setiap hari ananda berbelanja kolak. Demi membuat janda renta itu punya rezeki. Apalagi, kalau semua ibu-ibu di Casa Grande membeli kolak itu & ananda tidak, bisa jadi omongan. Toh tak saban hari,” gumamku seolah sedang berhadapan dgn Indit yg tersenyum renyah setiap kali kukeluhkan soal kolak.

*****

Seperti biasa, di salah satu tamat pekan, penghuni Casa Grande mengadakan buka bareng . Kebetulan, Bu Karin tahun ini mendapatkan jatah selaku tuan rumah. Dari semua penghuni, yg aktif dlm perkumpulan & kemungkinan besar akan tiba hanyalah tak lebih dr 15 rumah. Maklum, siapa saja sibuk. Aku & Indit mengkhususkan tiba alasannya Pak Dirman suami Bu Karin yakni atasanku.

  Pasir Retak | Cerpen Afrizal Malna

Di halaman Bu Karin, kendaraan beroda empat mengilat berjajar rapi, memanjang hingga tepi jalanan Casa Grande. Aku gegas bergabung dgn para bapak yg asyik berbincang. Sesekali, tawa menguat di tengah obrolan. Indit langsung ke dlm untuk urusan perempuan.

Pak Dirman, pejabat eselon 3 mendominasi pembicaraan. Yang lain, takzim menyimak sesekali menambahi. Topik hangat, lebih-lebih di bulan mulia ialah melonjaknya harga materi pangan.

Sebenarnya, penghuni Casa Grande tak pernah memedulikan walau harga sembako melambung terlampau tinggi.

Menu meja makan tetap sama. Namun, sesekali orang-orang Casa Grande butuh membahas keadaan sosial supaya ketika ditodong wartawan atau dijadikan narasumber seminar tak gelagapan. Dari dilema harga komoditas yg merangkak di bulan berkat, pembicaraan meloncat ke masalah-perkara pemalsuan bahan makan.

Pada dikala itulah, Bu Rasdi masuk pagar rumah & membawa rantang & periuk besar. Kuyakin, itu berisi kolak pesanan Bu Karin. Apa tak ada pembuat kolak lain yg lebih bersih & bersih? Kita tak tahu dgn bagaimana ia mengolah makanan kolak di rumah. Kita pula alpa mengenali kebagusan bahan & kebersihan saat mencuci.

Pak Dirman menyambung, “Oya, kita akan buka dgn kolak. Kolak kali ini, kolak paling yummy seantero Casa Grande. Saya sendiri, sudah cocok dgn rasa kolak ini.”

Senyum Pak Dirman merekah segar, liurnya membasahi bibir. Sedang, di ujung lidahku, kalimat beranak mendadak lenyap. Kalimat yg sejadinya akan menceritakan bagaimana joroknya Bu Rasdi menyimpan kolak, dirubung lalat, & periuk-periuk yg menyisihkan kotoran mengerak hitam sukar dibersihkan.

“Ya, ya! Mari nanti dicoba,” jawab yg lain hampir serentak. Kuiyakan.

Seperti kedatangan kurma yg aneh, kolak Bu Rasdi mempunyai kekuatan magis selaku suguhan iftar. Kuharus gegas mengubah pendapatku untuk menghormati posisi Pak Dirman. Perkataan memang gampang dipermanis & dibelokkan sesuai keperluan. (*)