Kodok Gembung | Cerpen Dadang Ari Murtano

Pekerjaanku ialah mendengarkan orang lain mengatakan. Aku bangun pukul enam setiap pagi, membikin kopi & tiga potong pisang goreng, lalu mandi & berganti pakaian kebesaranku: hem motif kembang-kembang yg longgar & celana bahan licin serta selop berwarna hitam.

Tiga menit sehabis sarapan, gue mulai melangkahkan kaki. Aku tak pernah punya tujuan pasti. Aku mempercayakan seluruhnya pada instingku, insting yg cuma dimiliki oleh para pendengar cerita & diturunkan dengan-cara genetik dr generasi ke generasi. Bapakku pula seorang pendengar kisah. Kakekku juga. Buyutku juga. Dan begitu seterusnya. Aku tak tahu sejak kapan tepatnya leluhurku menjadi pendengar dongeng. Yang gue tahu yakni bahwa kini, gue ialah satu-satunya pendengar dongeng yg masih tersisa di dunia yg fana ini.

Pada masa bapakku, ada kurang lebih dua puluh empat pendengar kisah. Mereka tinggal dlm satu lingkungan kecil di pinggiran Surabaya. Mereka menghabiskan hari dgn menjelajahi setiap sudut kota, berusaha memperoleh orang-orang malang yg ingin didengarkan, namun tak tahu pada siapa harus berbicara.

Mereka, para pendengar dongeng itu, tak pernah memasang tarif yg pasti untuk orang-orang yg ingin ceritanya didengar. Bisa saja seseorang memberi mereka sepuluh ribu rupiah, & tak menutup kemungkinan mereka akan menerima seratus ribu rupiah, & sering, mereka cuma menerima segelas air putih & ucapan terima kasih. Untuk semua itu, para pendengar dongeng membalasnya dgn segaris senyum yg sama kadar keikhlasannya serta selarik doa biar persoalan yg dihadapi kaum pencerita itu segera selesai dgn baik.

Selepas senja, para pendengar cerita berkumpul di warung atau teras rumah salah satu dr mereka, & membiarkan pengecap serta bibir mereka menumpahkan segala kata-kata, semacam pelampiasan atas kebungkaman seharian penuh. Pada waktu-waktu mirip itu, mereka berganti dr sosok yg tenang menjadi manifestasi dr keriuhan. Masing-masing berebut bicara & kalimat-kalimat akan meluncur tanpa menanti satu kalimat selesai diucapkan. Bila kau berada di sana waktu itu, kamu akan mendengar semacam komposisi bebunyian yg ribut & tak beraturan, tetapi membetahkan.

Kata bapak, puncak kejayaan para pendengar kisah terjadi sewaktu ia masih muda. “Presiden Soeharto tak suka orang-orang yg terlampau banyak bicara. Maka orang-orang cuma bisa berkasak-kusuk. Dan hanya pada kamilah, orang-orang yg sudah niscaya sanggup mempertahankan rahasia, mereka bisa memuntahkan segala keluhan mereka. Mereka bicara tentang keluarganya yg hilang, mereka bicara wacana keluarganya yg dicap anggota partai terlarang, mereka bicara wacana…”

  Wagimin Tikus | Cerpen Gunawan Budi Susanto

Kini, masa kejayaan para pendengar cerita sudah habis. Para pendengar kisah segenerasiku lebih memilih menjadi buruh pabrik atau pedagang kaki lima daripada mewarisi pekerjaan ini. Tentu saja gue paham alasan mereka. Berapa banyak orang di zaman kini yg memerlukan orang lain untuk menyimak dongeng mereka? Ini yakni masa di mana setiap orang bisa mengeluhkan semuanya di Facebook atau Twitter atau platform media sosial lainnya.

Itu sudah cukup bagi mereka. Mereka cuma perlu membeli kuota internet & semuanya selesai. Mereka mampu melakukannya kapan pun mereka mau, tanpa perlu menunggu seorang pendengar dongeng dengan-cara tak sengaja melalui di depan rumah mereka. Media sosial, dgn cara yg tak pernah kusangka-sangka, bermetamorfosis malaikat ajal bagi para pendengar kisah.

Tiga hari lagi gue akan mengikuti jejak mereka; menjadi mantan pendengar dongeng. Seorang mitra berbaik hati menawariku pekerjaan dgn gaji tetap yg meskipun tak banyak, tetapi terperinci lebih baik daripada menjadi pendengar kisah. Ia mempunyai tiga rumah kos di kawasan Rungkut.

“Salah satu penjaga rumah kosku ingin berhenti. ia bilang sudah terlalu tua & mau lebih akrab sama cucu-cucunya di kampung,” katanya.

Aku segera mengiyakan ajuan itu. “Tapi tak sekarang, seminggu lagi,” tambahnya.

“Tak dilema,” jawabku.

Seraya menanti waktu itu, gue menetapkan berjalan lebih jauh. Aku menyusuri jalanan Surabaya dgn perasaan riang & bersiul-siul, sekalipun ada sedikit pecahan dr diriku yg terluka. Sepuluh tahun gue menggeluti pekerjaan ini, & bukan masalah mudah untuk meninggalkannya begitu saja, meski gue memang ingin meninggalkannya.

Perjalananku kali itu lebih bersifat sentimentil dibandingkan dengan keinginan untuk mencari uang. Aku berlangsung seraya mengingat bapakku. Aku berjalan seraya mengingat kakekku. Aku berlangsung seraya mengingat paman-pamanku. Aku berjalan seraya mengenang dongeng wacana kejayaan para pendengar dongeng.

“Tidak sembarang orang bisa menjadi pendengar kisah,” kata bapak, dahulu sekali.

“Kita yaitu orang-orang terpilih. Orang-orang yg tahu benar kenapa Tuhan membekali kita dgn dua telinga & satu mulut.”

Kemarin, dengan-cara tak sengaja, gue melihat seorang perempuan di dingklik semen Taman Bungkul. Ia menunduk & insting pendengar ceritaku secepatnya menginformasikan bahwa wanita itu sedang berduka & berharap menemukan seseorang untuk menyimak ceritanya. Aku mendekatinya, & sesudah sedikit basa-bau, kukatakan siapa diriku & apa pekerjaanku. ia memandangku lama seakan-akan memastikan bahwa orang yg duduk di sebelahnya & bercakap-mahir dengannya ini bukanlah orang sinting. “Aku tak pernah mendengar ada pekerjaan seperti itu,” katanya jadinya.

  Kuda Sembrani | Cerpen Eka Maryono

Aku tersenyum. “Kini kamu tahu bahwa pekerjaan seperti itu memang ada,” kataku.

Ia masih terlihat sangsi untuk beberapa dikala. Namun pada jadinya, ia yakin & mulai bercerita. Dan itu yakni sebuah kisah yg tak pernah kusangka-sangka sebelumnya.

“Kau tahu,” katanya mengawali, “dulu sekali ada seorang pangeran yg dikutuk menjadi kodok.”

Aku mengangguk untuk menunjukkan bahwa gue mendengar ceritanya baik-baik, tanpa perlu menyahuti dgn bunyi.

Lalusua tuhari, seorang putri menyelamatkannya & mereka hidup bahagia selama-lamanya,” lanjutnya. Aku kembali mengangguk.

“Itu yg dikenali banyak orang. Tapi gue tahu kepingan yg tak diketahui oleh banyak orang,” ia meneruskan. Ia berdehem dua kali, melonggarkan tenggorokannya.

“Pangeran itu, tatkala masih berwujud kodok, kawin dgn seekor kodok betina di empang, & mereka sudah beranak pinak. Di hari tatkala si pangeran kembali menjadi pangeran & pergi dgn sang putri, kodok betina & segenap anak-anak mereka menangis & memohon-mohon semoga sang pangeran tak pergi. Namun pangeran itu tetap pergi. Lalu cinta berubah menjadi kecewa. Dan kecewa melahirkan kutukan. Kodok betina itu menyumpahi sang pangeran biar terus merasa lapar & mengkonsumsi apa pun yg ada di depannya. Dan itulah yg kemudian terjadi. Seminggu sehabis itu, badan sang pangeran telah melar sedemikian rupa sehingga kamar mereka tak lagi cukup menampungnya. Namun ia terus makan. Tak peduli sebanyak apa pun yg disajikan, dlm hitungan menit belaka, kuliner itu telah tandas. Dan ia berteriak-teriak histeris meminta kuliner lain. Dan sebulan kemudian, tubuhnya telah menyanggupi seantero istana, merobohkan tembok-tembok & menghalau penghuni lain untuk menyingkir.”

Aku mengangguk.

“Pada akibatnya, keserakahan membunuhnya. Tubuhnya meledak. Dan segumpal hatinya terlempar begitu jauh sampai ke empang di mana istri kodok & anak-anak kodoknya menunggu untuk menyelesaikan dendam yg membatu. Kau tahu bagaimana balasannya binatang-hewan malang itu melampiaskan dendamnya?” Aku menggeleng.

“Mereka memakan jantung itu. Namun pastinya kamu mampu melihat peristiwa itu dr sudut pandang lain. Misalnya, bahwa ibu & anak-anak kodok itu ingin si pangeran kembali pada mereka, terus hidup dlm badan mereka, & karena itulah mereka mengkonsumsi segumpal jantung itu tolong-menolong. Cinta, kau tahu, kerap kali memang tak masuk akal.”

  Unsur Ekstrinsik Dalam Cerpen

Aku kembali mengangguk meski tak tahu arah dr ceritanya.

“Dongeng tak pernah lahir dr ruang kosong, kau tahu itu,” tambahnya. Matanya menerawang ke langit biru akhir Januari.

“Selalu ada kejadian nyata yg melatarinya. Dan peristiwa semacam itu, mampu terulang di kemudian hari.”

Aku masih belum menangkap maksud ceritanya. Namun gue kembali mengangguk.

“Aku cuma ingin kau tahu, bahwa beberapa hari lagi, akan ada seorang laki-laki yg tubuhnya melar lantaran pada umumnya makan. Dan ia tetap makan. Tetap makan. Sebab itulah satu-satunya hal yg mampu dikerjakannya.”

Aku nyaris melanggar prinsip profesionalismeku selaku pendengar dongeng dgn menanyakan siapa lelaki yg ia maksud. Untung gue segera menyadarinya & yg keluar dr tenggorokanku hanyalah desisan panjang.

“Kalau kau mendengar isu itu, ingatlah saya. Dan jangan sekali-kali jatuh iba pada lelaki itu. Sebab ia memang patut untuk itu, alasannya adalah ia meninggalkan seorang perempuan & anak-anaknya demi perempuan lain,” lanjutnya sebelum tiba-tiba berdiri & berjalan pergi. Ia bahkan tak mengucapkan sepatah terima kasih kepadaku.

Hari ini gue mengkhianati kebiasaanku untuk mempercayakan rute yg hendak kujelajahi pada instingku dgn cara kembali ke Taman Bungkul. Aku berharap berjumpa wanita itu lagi. Namun ia tak ada. Begitu pula esok harinya. Dan esok harinya lagi. Aku ingin melupakannya mirip gue melalaikan siapa-siapa yg pernah bercerita kepadaku. Tapi tak mudah.

Ceritanya yg gila & terkesan meninggalkan teka-teki terus mengganggu otakku. Dan gangguan itu kian terasa menyiksa sewaktu pada hari kedua gue menjalani pekerjaanku sebagai penjaga kos, salah satu penghuninya, seorang wanita tiga puluhan tahun yg gres pulang kerja berteriak-teriak cemas.

“Aku tak bisa membuka pintunya,” katanya dgn napas terengah-engah. Baju yg ia kenakan tampak lembap oleh keringat.

Aku membantu mendorong pintu itu, & memang benar-benarsulit. Aku menetapkan mengintip dr kirai jendela, & di sanalah, di dlm kamar itu, terlihat seorang pria dgn tubuh melar memenuhi kamar kos tersebut, & mengganjal pintu sehingga tak bisa dibuka.(*)