Penduduk Armenia betul-betul telah sesat. Mereka sudah jauh menyimpang dr aliran Nabi Idris. Lebih parah lagi, penduduk Armenia asyik dlm perbuatan syirik. Mereka tak lagi beribadah pada Allah. Tuhan mereka telah berubah menjadi patung-patung yg bernama Wadd, Suwa, Yagust, Yatuq, & Nasr. Demikian, nama patung-patung itu. Penduduk Armenia yakin, patung-patung itu mampu memberi kebaikan. Patung-patung itu mampu menolak kejelekan. Sungguh kurang pandai memang menjadi penyembah patung. Tak ada patung yg bisa bicara, apalagi memberi. Lucunya, patung-patung itu dibentuk oleh mereka sendiri. Mestinya, yg membuat itu lebih mulia ketimbang yg dibentuk.
Daftar Isi
Nabi Nuh Dihina & Dicemooh
Nabi Nuh berdakwah untuk meluruskan banyak sekali penyimpangan yg banyak terjadi. Beliau mengajak kaumnya ke jalan yg benar. “Saudara-saudara, gue ini rasul Allah. Aku diutus untuk mengingatkan kalian. Tinggalkan patung-patung itu! Beribadahlah pada Allah! Dialah Tuhan Yang Maha Esa,” demikian, Nuh menyeru kaumnya. “Yang Maha Esa? Nggak salah nih? Kami punya banyak Tuhan. Tuhan-dewa ini yg sudah memberi kami kesenangan. Masa kami harus berpaling ke lain Tuhan. Yang benar saja!”
“Siapa yg membuat patung-patung itu?”
“Jelas kami dong”
“Mana yg lebih baik, yg bikin atau yg dibentuk? Mana yg lebih mulia, patung atau manusia? Patung-patung tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan memberi, bergerak saja tak mampu.”
“Kami hanya mengikuti para leluhur. Mereka sudah melakukan ini bertahun-tahun. Buktinya, mereka hidup makmur. Mereka mampu kaya raya.”
“Allah yakni Penguasa alam semesta. Perhatikan langit, matahari, bumi, bulan, bintang, air, hewan, & tumbuhan. Semua diciptakan-Nya. Patung-patung itu tak bisa menciptakan. Patung-patung itu ada sesudah alam ini ada.”
“Hai, Nuh, jangan sok pandai! Kamu ini nggak ada apa-apanya. Harta tak seberapa. Pengikut ananda pula cuma orang-orang miskin,” teriak seseorang dgn berang.
“Jangan menggurui! Kami tak butuh pesan yang tersirat! Kami tahu apa yg mesti kami kerjakan. Kaprikornus, nggak usah berlagak di depan kami,” tambah yg lain.
“Hai, Nuh,” kata seseorang, “jangan sok suci! Kamu hanya insan biasa, sama mirip kami. Kamu makan, kami pula makan. Lalu, apa keunggulan kamu? Mestinya, yg diutus itu malaikat, bukan kau.”
Dengan sabar, Nabi Nuh menjawab, “Saudara-saudara, harta bukan tolak ukur kemuliaan. Buat apa kaya kalau jahat.”
“Dasar gila! Rupanya, Nuh ini sudah tak waras,” ucap seseorang. Jari tangannya menyumbat telinga. Yang lain menutup baju ke muka. Mereka tak ingin lagi mendengar omongan Nabi Nuh.
“Aku hanya memberikan perayaan. Sadarlah! Kembalilah ke jalan yg benar. Jika tidak, kalian pasti mendapat eksekusi di dunia. Belum lagi, siksaan di darul baka kelak.”
“Hai, Nuh, Jangan mengoceh saja! Datangkan saja azab itu. Kami tak takut, kok.”
“Aku hanya seorang rasul. Tugasku hanya menyampaikan. Selebihnya terserah kalian. Jika berkeras kepala, Allah akan menghukum kalian. Hanya ia yg berkuasa menimpakan siksaan.”
Pengikut Nabi Nuh
Selama 950 tahun Nabi Nuh tinggal bareng penduduk Armenia. Sekian usang, ia berdakwah siang malam menyeru kaumnya. Namun, hasilnya tak mirip yg dibutuhkan. Hanya beberapa orang yg mau beriman. Jumlah mereka tak lebih dr seratus orang. Itupun berasal dr kelompok orang-orang miskin. Padahal, ia berdakwah siang malam, yg beriman tak jua bertambah. Segala cara telah dicoba. Kadang berdakwah dengan-cara terbuka, pula dengan-cara sembunyi-sembunyi. Demikian, Nabi Nuh mengetuk hati kaumnya. Namun, ia selalu bersikap tegas. Terutama dlm menghadapi para pembesar yg congkak. Kekayaan & pengaruh mereka tak menjadikannya silau. Nabi Nuh tetap merasa percaya diri. Secuil pun tak ada perasaan minder.
Pernah beberapa pembesar menemui Nabi Nuh. Mereka mau beriman, namun dgn satu syarat. Nabi Nuh harus mengusir orang-orang miskin yg menjadi pengikutnya. Alasannya, orang-orang miskin itu tak selevel dgn mereka. Masa mereka harus bergaul dgn orang-orang kumuh. Tawaran itu pastinya ditolak. Bahkan, dgn tegas Nabi Nuh menyatakan bahwa semua manusia itu sama. Kaya & miskin tak berbeda. Perbedaan hanya diputuskan oleh ketaatan, bukan oleh kekayaan. Allah tak membeda-bedakan manusia berdasarkan harta.
Perahu Nabi Nuh
Tidak cuma hinaan yg diterima Nabi Nuh, tetapi kekerasan pun sering dialaminya. Suatu tatkala Nabi Nuh & para pengikutnya diusir. Mereka dilempari kerikil.
“Hai, orang-orang dungu, enyahlah! Kalian tak layak tinggal bersama kami.” Demikian, orang-orang beriman diteriaki.
Tak ada lagi harapan. Kesabaran pula ada batasnya, kesesatan orang-orang Armenia sudah kelewat batas. Hati mereka mirip gelas tertelungkup. Nasihat apa pun tak mampu masuk. Mereka sudah diperbudak hawa nafsu. Bisikan-bisikan setan lebih didengar daripada seruan Nabi Nuh.
Harapan tinggal cita-cita, perjuangan pun sudah maksimal. Pengikut Nabi Nuh cuma itu-itu juga. Tak ada lagi penduduk Armenia yg beriman. Selebihnya, terserah pada Sang Pencipta. Nabi Nuh tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya saja, ia merasa kasihan pada para pengikutnya. Diteriaki, diusir, & disakiti. Maka, ia berdoa pada Allah.
“Ya, Allah, habisi saja orang-orang kafir itu. Jangan biarkan seorang pun hidup. Sebab, mereka terus mengusik. Mereka akan terus berusaha menyesatkan hamba-hamba-Mu. Mereka pula cuma akan melahirkan bawah umur durhaka mirip mereka.”
Doa seorang Nabi sungguh manjur. Allah mengabulkan permohonan Nabi Nuh. Tak usang kemudian, Malaikat Jibril datang & memerintahkan Nabi Nuh menanam sebuah pohon. Bukan sembarang pohon, melainkan benihnya berasal dr surga.
“Benih ini akan berkembang menjadi pohon yg sangat besar. Sebelumnya, tak ada pohon sebesar ini,” kata Jibril menjelaskan.
Segera Nabi Nuh menanam benih itu. Beberapa tahun kemudian, pohon itu berkembang. Makin lama makin besar & tinggi. Orang-orang Armenia kagum. Pohon itu sungguh abnormal. Sejak pohon itu tumbuh, tak ada satu pun bayi yg lahir. Benar-benar fantastis. Jibril datang kembali, ada pesan lagi. Pohon itu harus ditebang. Nabi Nuh harus bikin bahtera. Orang-orang beriman dikumpulkan. Titah Allah disampaikan. Namun, mereka masih bingung. Seperti apa bentuk perahu itu? Bagaimana menjadikannya?
Akhirnya, petunjuk Allah tiba jua. Mulailah para pengikut Nabi Nuh melakukan pekerjaan . Semua sibuk bergotong royong, pundak membahu, tak seorang pun berleha-leha. Rancangan bahtera dibuat. Pohon besar itu ditebang. Papan-papan besar dijejerkan. Satu per satu papan-papan itu dipasang. Perlahan, namun pasi, bahtera hampir jadi. Perkerjaan mereka bukan tanpa dilema. Gangguan selalu saja ada setiap hari dr orang-orang kafir. Cemoohan & hinaan datang silih berubah.
“Lihat, orang-orang kolot itu! Sedang apa mereka?” teriak seseorang.
“Katanya, sedang bikin bahtera,” yg lain menimpali.
“Hah, bikin bahtera? Untuk apa? Di sini nggak ada air, Bung. Memang perahu mampu melaju di darat?”
“Bisa, asalkan didorong oleh orang-orang dungu itu!”
“Hahaha…”
Cemoohan itu bukan sekali dua kali. Setiap hari, ada saja ekspresi orang kafir yg usil. Tentu saja, orang-orang yg sedang membuat bahtera itu terusik. Telinga mereka panas juga. Perasaan dongkol, kesal, & mengkal mulai timbul. Melihat itu, Nabi Nuh berusaha menghibur. Bahkan, suatu tatkala olok-olokan itu dibalasnya.
“Sekarang, kalian mencemooh. Tak usang lagi, kalian akan menyesal. Tunggulah azab Allah. Ingat, kalian akan menyesal! Kalian pasti binasa”
Orang-orang kafir itu tertawa. Dengan sinis, mereka berkata, Ayo datangkan saja azab itu. Jangan ditunda-tunda, siapa takut?”
“Hai, Nuh, sejak kapan ananda jadi tukang kayu. Ganti pekerjaan ya? Katanya Nabi, kini…ehh…malah jadi tukang bahtera,” ejek seseorang.
“Bisa saja jikalau penumpangnya orang-orang gila. Atau mungkin, nanti ada angin besar. Lalu, perahu Nabi Nuh terbawa ke maritim,” jawab yg lain.
Banjir Besar Menenggelamkan Bumi
Kesabaran selalu membuahkan hasil. Kerja keras tidaklah sia-sia. Perahu telah jadi, suatu bahtera yg sangat besar. Dan ini merupakan perahu pertama di dunia. Tak usang kemudian, Nabi Nuh mendapatkan wahyu.
“Segeralah berkemas! Kumpulkan orang-orang beriman. Jangan lupa hewan-hewan. Masing-masing bawa sepasang, jantan & betina.”
Semua orang beriman sibuk.
Barang-barang bawaan sudah dinaikkan. Begitu saja, hewan-hewan. Perahu penuh dgn muatan, terakhir giliran orang-orang beriman. Mereka bergegas naik ke bahtera. Orang-orang kafir terus saja mengolok-olok. Tak jenuh-bosannya, mereka mencela.
“Hahaha…, orang-orang sinting itu mau berlayar ke mana? Ini daratan, bukan lautan,” mereka tertawa terbahak-bahak.
Tanpa disadari, langit mulai mendung. Awan hitam bergumpal-gumpal. Makin usang, makin besar. Suara angin menderu-deru. Petir berkilat menyilaukan. Terdengar guruh menggelegar. Keadaan betul-betul menyeramkan.
Tak usang berselang, hujan turun sungguh lebat air mengguyur bumi. Tak cuma hujan, mata air pula bermunculan menyembur di mana-mana. Dan bumi pun digenangi air. Makin lama, makin tinggi. Air bah melanda negeri. Banjir bandang menyapu kota. Bahkan, gunung-gunung pun terendam. Tak ada lagi daerah berlindung.
Perahu Nuh mulai bergerak. Dengan iringan Bismillah majraha wa mursaha berlayarlah kapal Nabi Nuh. Gelombang menggoyang. Angin kencang menerpa. Sementara itu, di sana-sini banyak orang berenang. Orang-orang kafir berenang melawan gelombang. Bergelut melawan maut. Akan tetapi, tak lama mereka bertahan. Tenaga habis terkuras. Napas mereka megap-megap. Lalu, ombak tiba bergulung-gulung. Setinggi gunung, satu per satu orang-orang kafir itu karam.
Anak Nabi Nuh ikut Binasa
Nabi Nuh ke geladak bahtera. Badai kian besar, cuaca bertambah kelam. Kadang terlihat badan orang-orang kafir mengambang. Diseret arus yg sangat deras. Lolongan minta tolong begitu menyayat. Namun, air bah tak kenal ampun, semua dibabat habis. Tiba-tiba, Nabi Nuh menyaksikan seorang pemuda. Ia tengah menaiki sebuah bukit. Napasnya tersengal-sengal, cemas terlihat pada wajahnya. Ternyata, Kan’an, anaknya sendiri. Timbulah perasaan iba, bagaimanapun pula Kan’an ialah anak kandungnya. Serta merta Nabi Nuh memanggil-manggil anaknya. Sekuat tenaga ia berteriak.
“Anakku, kemarilah! Ikutlah bersama Ayah. Segeralah bertobat! Hanya itu yg bisa membuatmu selamat!”
Kan’an benar-benar durhaka. Keras kepala & sombong. Dengan pongah, ia menampik proposal sang ayah.
“Tidak! Enyahlah dariku! Berlayarlah sejauh mungkin! Aku tak sudi pergi bersamamu! Aku akan mencari kawasan yg paling aman. Aku akan terus naik. Aku akan berlindung di atas bukit ini,” teriak Kan’an.
“Anakku, tak ada lagi tempat berlindung. Bukit itu pula akan tenggelam. Ayolah, nak! Naiklah ke bahtera,” Nabi Nuh membujuk sekali lagi.
Belum kering ucapannya, gelombang tiba. Kan’an digulung gelombang. Tubuhnya timbul tenggelam. Napasnya ngos-ngosan. Sampai kesudahannya, tubuh Kan’an tak kelihatan lagi. Tenggelam. Nabi Nuh sangat bersedih. Matanya berkaca-kaca. Bagaimana tidak, gres saja ia menyaksikan kematian Kan’an. Kenapa putranya harus mati sebagai orang kafir?
“Tuhan, Kan’an itu anakku. ia itu darah dagingku. ia ialah cuilan keluargaku,” ujar Nabi Nuh.
“Hai, Nuh, Kan’an bukan keluargamu. ia sudah menolak seruanmu. Berarti, ia tergolong golongan kafir. Jangan berduka. Keluargamu hanyalah orang-orang yg mengikutimu. Mereka itulah yg akan diselamatkan. Tak usah kau pertanyakan perihal orang-orang durhaka itu.”
Nabi Nuh pun sadar. Teguran Allah telah mengingatkannya. Rasa sayang pada Kan’an telah menjadikannya lupa. Lupa bahwa eksekusi berlaku untuk semua orang kafir tergolong anaknya.
“Ya Allah, Aku berlindung pada Engkau dr godaan setan yg terlaknat. Sudilah Engkau mengampuni kesalahanku. Jika Engkau tak berkenan memberi ampunan, niscaya gue termasuk orang yg malang,” Nuh memanjatkan doa.
Akhirnya, topan mereda. Hujan berhenti. Air meresap ke dlm tanah. Perahu bertambat di atas sebuah bukit. Bukit Judi, namanya.
Langit mulai cerah, matahari menerangi bumi. Debit air sudah berkurang. Nuh & para pengikutnya turun dr bahtera. Saat itu, bertepatan dgn sepuluh Muharram.
Keselamatan, kemakmuran, & keberkahan menyertai orang-orang beriman. Kini, mereka mengawali hidup baru. Bulan berubah bulan. Tahun demi tahun, datang silih berubah. Orang-orang beriman beranak-pinak. Penghuni bumi terus bertambah. Keturunan Nuh pun menyebar.
Demikianlah uraian wacana Kisah Nabi Nuh AS & Perahu Penyelamat, mudah-mudahan bermanfaat.
Referensi:
- Alfarisi, M Zaka. 2007. Kisah Seru 25 Nabi & Rasul. Bandung: Mizan.