Kiai Maimun | Cerpen Asmadji AS Muchtar

KIAI Maimun tergolong ulama paling renta. Santri yg pernah mondok di pesantrennya jumlahnya jutaan yg tersebar di seluruh pelosok tanah air. Mereka pula sudah dikenal di daerah masing-masing selaku kiai & mengajar di pesantren sehingga pula punya banyak murid. Karena itu wajar saja jikalau menjelang pileg & pilpres mirip sekarang calon-calon bergantian datang minta doa restu pada Kiai Maimun.

Meski mengaku netral dengan-cara politis, Kiai Maimun tetap saja bersedia menerima kehadiran calon-kandidat yg hendak bertarung di pileg & pilpres. Baginya, semua calon yg tiba di rumahnya yaitu tamu yg tak boleh ditolak. Sebaliknya, mereka sebagai tamu harus dihormati, alasannya menghormati tamu itu bagian dr doktrin.

Tapi Kiai Maimun sering merenung sendirian di dlm kamarnya, setiap habis menerima kandidat yg bertamu di rumahnya. Renungannya ihwal doa restu yg telah diminta mereka. Padahal, mereka semua ingin menang. Sedangkan cita-cita mereka itu tidak mungkin mampu terwujud, karena dlm pileg & pilpres niscaya ada yg kalah & ada yg menang.

“Doa restuku niscaya saling beradu atau berbenturan di hadapan Tuhan,” gumam Kiai Maimun. Dadanya terasa agak sesak. Dibayangkannya Tuhan tak mengabulkan doa restunya untuk calon-calon karena permasalahan demokrasi itu sepenuhnya hak rakyat. Bahkan selama ini ada pepatah bilang bunyi rakyat adalah bunyi Tuhan. Artinya, Tuhan sepenuhnya menyerahkan urusan demokrasi pada manusia.

Kiai Maimun lalu teringat ayat suci yg mengusulkan insan untuk berdoa pada Tuhan. Bahkan Tuhan pun memastikan: Berdoalah kepadaku, maka gue akan mengabulkan. Masalahnya, kalau doa harus diadu dgn doa, apakah semua akan dikabulkan?

  Hikayat Tukang Kayu | Cerpen Abdul Hadi

“Mustahil!” Kiai Maimun bergumam lagi. Ya, Tuhan pun punya sifat tidak mungkin alias mokal, bukan? Dalam ilmu tauhid, Tuhan punya sifat wajib tapi pula punya sifat mokal alias mustahil. Sifat mokal Tuhan mampu dibuktikan oleh insan dgn berdoa yg mustahil dikabulkan. Misalnya, manusia meminta Tuhan agar memberinya satu kontainer sarat berisi uang dlm bentuk terikat seperti uang yg ada di bank-bank. Ya terang Tuhan mustahil mengabulkan doa seperti itu.

Lalu Kiai Maimun menduga calon-kandidat yg datang di rumahnya maupun di rumah kiai-kiai lain sedang lupa bahwa Tuhan punya sifat mokal & ada doa yg pula mustahil dikabulkan Tuhan. Atau, bisa saja mereka memang tak peduli apakah doa restu yg diminta itu tak akan dikabulkan Tuhan, karena bagi mereka yg penting mereka datang menemui ulama sehingga risikonya seperti mereka disokong ulama.

Dalam kalkulasi politis, kandidat yg didukung ulama mampu lebih gampang meraup dukungan rakyat karena banyak rakyat yg ingin makmum pada ulama tergolong makmum politik.

Kiai Maimun kembali membayangkan kandidat-kandidat yg pernah datang di rumahnya minta doa restu itu betul-betul pandai, alasannya ingin membangun kesan seolah-olah ulama mendukung mereka. Sedangkan kesan itu sungguh penting di ranah politik.

Dengan kata lain, di ranah politik, hal-hal yg cuma sebatas kesan alias hanya seakan-akan, memang sering dibangun untuk menawan tunjangan rakyat. Faktanya, banyak rakyat mudah terkecoh oleh kesan yg dibangun politisi. Jadinya, tak semua yg menang kontestasi demokrasi itu baik. Bahkan, faktanya, banyak yg menang kontestasi demokrasi ternyata anyir, misalnya terlibat korupsi, alasannya adalah rakyat memang sudah terkecoh & memilihnya.

  Panggung | Cerpen Ken Hanggara

Tiba-tiba Kiai Maimun berlinang air mata. Tangisnya tersedu-sedu, alasannya tiba-tiba dirinya menyadari bahwa banyak rakyat terkecoh kemudian memilih calon yg wangi alasannya adalah calon yg busuk itu pernah tiba minta doa restu kepadanya sehingga timbul kesan seakan-akan kandidat itu baik & mendapat dukungannya.

Tangisan Kiai Maimun sukar tidak boleh, alasannya dirinya membayangkan kandidat-kandidat yg hendak bertarung di pileg & pilpres nanti mungkin pula akan wangi alias korupsi alasannya adalah diseleksi rakyat yg terkecoh oleh kesan seakan-akan mereka baik.

Kepala Kiai Maimun mendadak pusing. Matanya berkunang-kunang. Lalu dirinya ambruk di atas ranjang. Sebentar kemudian sudah tertidur lelap. Lalu berimajinasi mengerikan: Kiai Maimun terkapar di tengah tanah lapang, dikelilingi kandidat-calon yg pernah tiba minta doa restunya. Mereka mirip serigala sedang lapar & tiba-tiba berbarengan menyerangnya, mencabik-cabik sekujur tubuhnya.

Kiai Maimun kesakitan & tak berdaya. Tapi mereka semakin ganas mencabik-cabik badan Kiai Maimun hingga menjadi serpihan-serpihan kecil…

Kota Wali, 2018