Khutbah Pertama
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أكبَرُ (3×)
اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأبْدَر
اللهُ أَكْبَرُ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَر
اللهُ أَكْبَرُ كُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَأَمْطَر
وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ وَأَزْهَر
وَكُلَّمَا اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَر.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلأَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ.
اللهُ أَكْبَرُ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلأَكْبَرُ وَأَشْهَدٌ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّر. اللهُ أَكْبَرُ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
‘Aaidin ‘aaidaat yang dirahmati Allah SWT
Pada hari raya yang berbahagia ini mari kita merenung sejenak wacana kondisi bangsa kita simpulan-simpulan ini mulai mengarah pada keadaan terjadinya intoleransi. Hal itu ditunjukkan dengan hadirnya kecenderungan memaksakan hasratdengan cara ekstrem, bahkan teror, demi merealisasikan apa yang mereka yakini selaku yang paling benar. Hal ini bermula dari gampangnya seseorang menghukumi kafir orang lain, gampang menghukumi sesat orang lain, dan meyakini tidak ada kemungkinan kebenaran di pihak lain.
Tidak mampu dibantah bahwa keadaan tersebut bersumber dari kesalahpahaman wacana anutan Islam, yang kemudian membuka kesempatan timbulnya paham keislaman yang melenceng dari semangat rahmatan lil ‘alamin. Akibatnya, munculah intoleransi yang mempunyai kecenderungan kepada tindakan radikal, ekstrem, dan teror.
Perselisihan dalam umat Islam risikonya juga tak jarang dimanfaatkan pihak lain yang mengingikan umat Islam tidak bersatu dan tidak mengingikan Islam sebagai agama pembawa rahmat dan pembawa kemakmuran bagi seluruh alam. Pihak lain ini mengusung agenda menjauhkan dari negara yang berdasarkan spiritualitas dalam melaksanakan, kebernegaraan dengan terus dijejali oleh kehidupan serba matrialis (duniawi) dan liberal (bebas).
‘Aaidin ‘aaidaat yang dirahmati Allah SWT
Karena itu, pemahaman awal yang perlu ditanamkan adalah bahwa Islam hadir selaku agama kasih sayang yang dapat memperlihatkan kemakmuran bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya: “Dan tidak aku utus Engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al Anbiya: 107)
Misi Islam yang mulia ini tidak akan terwujud kecuali dengan landasan berpikir dan bertindak bijak, adil, dan proporsional . Allah SWT sudah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Artinya: “Dan demikian Kami telah menyebabkan kau umat yang adil semoga kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kau.” (QS. al-Baqarah: 143)
Lantas bagaimana semoga bisa berpikir dan bertindak bijak, adil dan proposional? Jawabannya adalah dengan mengikuti manhaj atau metode yang telah disepakati oleh mayoritas para ulama dan ada jaminan ketersambungan sanad keilmuannya hingga kepada Rosululloh SAW. Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan petikan teks hadits berbunyi “ma ana alaihi wa ashabi” yang kemudian masyhur di sebut dengan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah atau sering disingkat dengan aswaja.
Dalam kitab Syarhul ‘Aqidati at Thahawiyyah Halaman 43 diterangkan bahwa Rasulullah SAW sudah menjelaskan yang dimaksud dengan pengikut Rasulullah SAW dan para sahabatnya yaitu golongan Ahlussunnah wal Jamaah.
فَبَيَّنَ صلى الله عليه وسلم أَنَّ عَامَةَ الْمُخْتَلِفِيْنَ هَالِكُونَ مِنَ الْجَانِبَيْنِ إِلَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
Artinya: “Maka Nabi Muhammad SAW menjelaskan, bahwasanya seluruh orang-orang yang bertikai itu binasa kecuali golongan Ahlussunnah wal Jamaah.”
Bagi warga NU sendiri, acuan yang diambil dalam mengikuti manhaj Ahlussunnah wal Jamaah yaitu dengan versi bermadzhab. Bermadzhab yang mempunyai arti taklid atau mengikuti metode dan produk hukumnya para imam mujtahid. Sebagaimana sudah menjadi kesepakatan para ulama tentang bermadzhab. Dalam kitab al-Kaukab as-Sathi’ fi Jam’il Jawami’ disebutkan:
حُكْمُ التَّقْلِيْدِ حَرَامٌ عَلَى مُجْتَهِدٍ وَوَاجِبٌ عَلَى غَيْرِ مُجْتَهِدٍ كَمَا قَالَ اَلسُّيُوطِي: ثُمَّ اَلنَّاسُ مُجْتَهِدٌ وَغَيْرُهُ فَغَيْرُ الْمُجْتَهِدِ يَلْزَمُهُ اَلتَّقْلِيْدُ مُطْلَقاً عَامِيًا كَانَا أَوْ عَالِمًا.
Artinya: “Hukum taklid ialah haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi bukan seorang mujtahid, sebagaimana as-Suyuthi telah berkata bahwa insan itu ada yang mujtahid ada yang bukan, dan yang bukan mujtahid wajib baginya taklid secara mutlak baik orang lazim maupun orang yang ‘alim”
‘Aaidin ‘aaidaat yang dirahmati Allah SWT
Mengikuti paham Aswaja dengan acuan bermadzhab mempunyai keunggulan; pertama akan meminimalkan ketersesatan. NU mengetahui betul bahwa kadar kesanggupan umat Islam selaku individu seorang muslim sungguh beragam kesanggupan, terlebih wilayah garapan NU yakni penduduk awam yang berada di pelosok pedesaan, pastinya tanpa mengharamkan individu umat Islam menjadi seorang mujtahid. Disebutkan dalam kitab Miaznul Kubro yang teksnya berbunyi:
فِيْ الْمِيْزَانِ الشَّعْرَانِيِّ مَا نَصُّهُ: كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَاصُّ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقْيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ. هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دَامَتْ لَمْ تَصِلْ إِلَى الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِيْ الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya: Imam Al-Sya’roni dalam Kitab Mizanul Kubro memastikan, Tuanku Ali al-Khawash ditanya perihal bermadzhab, apakah wajib atau tidak? Beliau menjawab, kau wajib bermadzhab selagi belum mampu untuk mengerti syari’ah secara sempurna, khawatir terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Itulah yang diamalkan oleh manusia saat ini.
Kelebihan yang kedua, yaitu bahwa Aswaja NU berkiblat kepada para Imam Mujtahid yang dalam menyusun methode dan produk hukum tersebut bersumber dari semua peluangyang ada. Potensi yang dimaksud yaitu sumber dalil atau isyarat yang didapati dari ad-dalail as-sam’iyyah berbentukAl-Qur’an, al-Hadits dan perkataan ulama, ad-dalail al ‘aqliyyah berupa; rasio dan panca indera, dan ad-dalail al ‘irfaniyyah berupa;Kasyaf dan Ilham. Dengan mempergunakan sumber dalil dari semua kesempatanyang ada mengakibatkan hati hati dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Seperti di dalam kitab Ithaafu al-Saadati al-Muttaqiin juz 2, halaman 6, Imam Taajuddin al-Subki (biar Allah merahmatinya) sudah berkata:
اِعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ كُلَّهُمْ اِتَّفَقُوا عَلَى مُعْتَقِدٍ وَاحِدٍ فِيْمَا يَجِبُ وَيَجُوْزُ وَيَسْتَحِيْلُ، وَاِنْ اِخْتَلَفُوا فِي الطُّرُقِ اَلْمَبَادِئِ اَلْمُوْصِلَةِ لِذَلِكَ أَوْ فِي لُمِيَّةِ مَا هُنَالِكَ وَبِالْجُمْلَةِ فَهُمْ بِاْلِاسْتِقْرَاءِ ثَلَاثُ طَوَائِفٍاَلُأوْلَى: أَهْلُ الْحَدِيْثِ وَمُعْتَمِدُ مَبَادِيهِمْ اَلْأَدِلَّةُ اَلسَّمْعِيَّةُ: أَعْنِى اَلْكِتَابُ ، اَلسُّنَّةُ وَاْلِإجْمَاعُ. اَلثَّانِيَةُ: أَهْلُ النَّظْرِاَلْعَقْلِي وَالصِّنَاعَةِ اَلْفِكْرِيَّةِ وَهُمْ اَلْأَشْعَرِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ وَشَيْخُ الْأَشْعَرِيَّةِ أَبُو الْحَسَنِ اِلْأَشْعَرِي، وَشَيْخُ الْحَنَفِيَّةِ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ اَلْمَاتُرِيْدِيِّ اَلثَّالِثَةُ: أَهْلُ الْوُجْدَانِ وَالْكَشْفُ وَهُمْ اَلصُّوْفِيَّةُ ، وَمَبَادِيْهِمْ مَبَادِئُ أَهْلِ النَّظْرِ وَالْحَدِيْثِ فِي الْبِدَايَةِ ، وَالْكَشْفُ وَالْإِلْهَامُ فِي النِّهَايَةِ.
Artinya: “Ketahuilah bahwa Ahlussunnah wal Jamaah itu yakni mereka yang sudah bersepakat terhadap doktrin yang satu didalam apa yang wajib, jaiz dan tidak mungkin. Jika mereka terdapat pertikaian itu cuma dalam metode atau didalam sebab dan illatnya.Secara biasa mampu digolongkan menjadi tiga yaitu; pertama; ahlul hadits. Prinsip dasar mereka yaitu penggunaan dalil-dalil wahyu (naqli) ialah; al Qur’an, as Sunnah, dan Ijma’. Kedua: ahlun nadzri (golongan yang memakai dalil logika) mereka yakni pengikut asy’ariy dan hanafiy. Guru besar pengikut asy;ariy yaitu Abul Hasan al Asy’ariy dan guru besar pengikut Hanafi yaitu Abu Manshur al Maaturidi. Ketiga: kelompok yang konsern mengolah rasa (wujdan) dan membuka tabir (kasyaf). Mereka yaitu ahlut tasawuf .Pada awalnya mereka ialah seorang yang berkemampuan dasar-dasar ahlun nadzri dan ahlul hadits dan pada hasilnya menjadi seorang yang berkemampuan mukasyafah (membuka tabir) dan mendapatkan wangsit (petunjuk)”.
Kelebihan yang ketiga; ialah adanya ketersambungan sanad keilmuannya dari ulama NU hingga terhadap Rosululloh SAW lewat para Mujtahid dan muridnya,
Hal ini disandarkan pula terhadap instruksi pendiri NU/Rois ‘Akbar K.H. Hasyim Asy’ari yang terdapat dalam pengantar Anggaran Dasar 1947 yang berbunyi:
أَيَا أَيُّهَا الْعُلَمَاءُ وَالسَّادَةُ اَلْأَتْقِيَاءُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَهْلُ مَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ أَنْتُمْ قَدْ أَخَذْتُمْ اَلْعُلُوْمَ مِمَّنْ قَبْلِكُمْ وَمَنْ قَبْلُكُمْ مِمَّنْ قَبْلِهِ بِاتِّصَالِ السَّنَدِ إِلَيْكُمْ وَتَنْظُرُوْنَ عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ فَأَنْتُمْ خِزْنَتُهَا وَأَبْوَابُهَا وَلَا تُؤْتُوا اَلْبُيُوْتَ إِلَّا مِنْ أَبْوَابِهَا فَمَنْ أَتاَهَا مِنْ غَيْرِ أَبْوَابِهَا سُمِّيَ سَارِقًا.
Artinya: Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut terhadap Allah dari golongan Ahlusunnah wal Jama’ah, golongan madzhab imam yang empat. Engkau sekalian sudah menimba ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara tersambung sampai pada kalian. Dan engkau sekalian tidak ceroboh mengamati dari siapa mempelajari agama. Maka balasannya kalianlah gudang bahkan pintu ilmu tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan lewat pintunya. Barangsiapa memasuki rumah tidak lewat pintunya maka disebut pencuri
Kelebihan yang keempat, yakni para imam mujtahid dengan para muridnya hingga para ulama NU pengikutnya sudah menawarkan budpekerti/budpekerti yang baik kekerabatan antara guru dengan murid. Seorang guru tidak mempersoalkan kalau diberi masukkan oleh muridnya namun seorang murid tetap menghormati gurunya. Perselisihan mereka tidak sampai pada saling sesat menyesatkan tidak juga saling mengkafirkan. Para mujtahid dan para muridnya sangat hati-hati untuk mengklaim dirinya paling benar, berani menyesatkan terlebih mengkafirkan. Perselisihan mereka memperkaya hasanah keilmuan alasannya dituangkan dalam karya tulis yang mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Mereka mampu saling menempatkan posisinya secara proposional selaku guru dan murid sehingga memiliki efek pada tetap terjalinnya persaudaraan antar umat Islam.
‘Aaidin ‘aaidaat yang dirahmati Allah SWT
Dengan demikian manhaj Aswaja NU akan terus menjadi pilihan dominan umat Islam dunia tidak cuma Indonesia. Umat di luar Islam pun akan lebih dapat merasa nyaman hidup berdampingan dalam mengerjakan kehidupan beragamanya di samping pula memang adanya perilaku toleransi atas pluralitas beragama dalam berdakwah serta bijak dalam merespon budaya setempat. Menjalani kehidupan keberagamaan yang saling memberi kenyamanan antar umat tentunya sangat mempengaruhi dalam menjalani kehidupan bernegara.
Keberadaan negara sendiri dalam pandangan Aswaja NU menjadi wajib alasannya negara berfungsi merealisasikan kemakmuran bagi warganya sejalan dengan misi agama Islam itu sendiri yakni sebagai agama kasih sayang yang dapat mensejahterakan seluruh alam. NU menemukan bentuk negara dan system kepemerintahannya yang diyakini sangat cocok dengan budpekerti ke-Indonesiaan yang beragam suku, ras, etnis, budaya dan agama. Mendapatkan keyakinannya itu dijalani dengan tabah dengan mengedepankan hal hal yang prioritas terlebih dulu ketimbang mendapatkan kesemuannya namun menghadirkan kerusakan. Perubahan dilaksanakan secara evolutif (sedikit demi sedikit) bukan revolusif (seketika). Dan sampailah pada iktikad bahwa NKRI sebagai bentuk negara dan demokrasi pancasila selaku system kepemerintahannya sangat sesuai dengan Indonesia dan tidak keluar dari manhaj Aswaja NU.
‘Aaidin ‘aaidaat yang dirahmati Allah SWT
Maka bersatu dengan menjadi anggota NU itu sangat penting alasannya menjadi anggota NU yakni suatu keperluan. NU sendiri yaitu wadah berkumpulnya para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, wadahnya para pemegang tongkat estafet risalah Rasulullah SAW;
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
Artinya: “Ulama adalah pewaris para nabi.”
NU ialah wadahnya hamba-hamba Allah SWT yang takut pada-Nya;
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ اَلْعُلَمَاءُ
Artinya: “Sesungguhnya yang takut terhadap Allah dari hamba-hambanya ialah ulama.” (QS. Al-Fathir: 68)
Dan NU ialah wadahnya para ulama untuk membina umat pengikutnya biar tidak kehilangan arah serta senantiasa bantu-membantu dalam satu iman.
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وإِيَّاكُمْ وَاْلفِرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمْ اَلْجَمَاعَةَ
Artinya: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan alasannya adalah setan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (setan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan daerah lapang di nirwana hendaklah dia berpegang teguh pada (iman) al-Jama’ah”(HR. al-Tirmidzi).
‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah.
Demikian Khutbah Idul Fitri Yang Sangat Mengharukan: Meneguhkan Islam Rahmatan Lil ‘Aalamin ini semoga berfaedah.
Mari kita tolong-menolong berdoa sembari mengangkat tangan, semoga Allah selalu memperlihatkan pelengkap lezat, rahmat kasih sayang dan anugerah-Mu terhadap kita semua. Semoga menunjukkan komplemen kekuatan lahir dan batin terhadap kita semua guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Ya Allah, agar kita semua dijadikan umat yang hidup rukun, saling kasih, tetap teguh lahir batin untuk mengatasi kezaliman dan kecurangan serta kebakhilan. Serta dijadikan tergolong kalangan orang-orang shalih yang sanggup menuntaskan tugas-tugas pembangunan lahir dan batin.
Ya Allah biar Engkau mengampuni semua dosa dan kesalahan serta kekhilafan kami serta Engkau jaga, lindungi kami dari akal busuk iblis, setan dan sekutunya.
يَا الله يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اِجْعَلْنَا مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الْمَغْفُوْرِيْنَ السَّالِمِيْنَ وَاَدْخِلْنَا فِى زُمْرَةِ الصَّالِحِيْنَ الْمَرْزُوْقِيْنَ وَبَاعِدْنَا مِنْ مَكَايِدِ الشَّيَاطِيْنَ وَالنَّفْسِ الْاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ.
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَاَبْقَى. فَاسْتَغْفِرُوْا وَتُوْبُوْا اِلَى اللهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أَكْبَرُ (4×) اللهُ أَكْبَرُ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصِيْلاً لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ أَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللّهُمَّ اَعِزِّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. وَاَعْلِ جِهَادَهُمْ بِالنَّصْرِ الْمُبِيْنَ. وَدَمِّرْ اَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اَللّهُمَّ اكْفِنَا شَرَّ الظَّالِمِيْنَ. وَاكْفِنَا شَرَّ الْمُنَافِقِيْنَ. وَسَلِّمْنَا مِنْ مَكَايِدِ الشَّيَاطِيْنَ.
اَللّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ