Khutbah Jumat Tradisional Dan Khutbah Jum’at Moderen

Keanekaragaman beragama di Indonesia, tidak cuma perbedaan menganut agama di antara penduduknya, melainkan juga beranekaragam di antara pemeluk agama yang sama. Islam selaku agama paling besar di Indonesia yang dianut oleh 88% orangnya (sumber), juga memberikan keanekaragaman di antara pemeluknya, baik secara madzhab, pemikiran, dan sistem ibadah.

Termasuk perbedaan dalam hal tata cara ibadah, adalah perbedaan dalam tata cara ibadah sholat jum’at, yang di Pulau Jawa dikenal dengan perumpamaan “jum’atan”. Jum’atan yang dimaksud adalah prosesi yang mencakup: acara sebelum masuk waktu dzuhur, panggilan shalat (adzan), shalat sunat qobliyah jum’at, khutbah jum’at, sholat jum’at, serta dzikir dan do’a ba’da sholat jum’at.

1). Jum’atan Ala Tradisional Murni

Prosesi Jum’atan tradisional, yakni sistem jum’atan yang semenjak dahulu telah dijalankan dan tidak berubah sampai dikala ini, sekaligus merupakan gambaran bagaimana prosesi/metode jum’atan di era lalu, pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Ini yakni tradisi jum’atan yang paling antik, sudah berlangsung ratusan tahun, tetapi masih dikerjakan di beberapa tempat dan oleh golongan tertentu, mencakup antara lain :

1.1.Acara sebelum masuk waktu dzuhur

Biasanya diisi dengan pengajian dengan bahan pembahasan kitab kuning, atau mampu pula berisi ceramah agama sekitar urusan konkret keagamaan, atau pembacaan do’a-do’a baik untuk jama’ah, orang yang sakit supaya segera sembuh, maupun mengantardo’a kepada yang telah meninggal.

Tetapi pengajian, ceramah, dan pembacaan do’a ini ada yang melakukan, ada pula yang tidak, bahkan, di beberapa daerah tertentu, lazimnya di lingkungan pesantren yang sudah lama bangkit ratusan tahun, setidaknya berdiri pada era Hindia Belanda, ada pula sebelum masuk waktu dzuhur itu diisi dengan pembacaan Kitab Barzanji secara berbarengan, mirip pelaksanaan “Marhaba-an”di saat mencukur rambut bayi.

1.2. Ketika telah masuk waktu dzuhur

Sebelum adzan biasanya ditabuh kentongan dan beduk sebagai penanda telah masuk waktu dzuhur. Pada periode kini ini, menabuh kentongan dan beduk cuma sebagai tradisi saja, namun pada periode kemudian sangat efektif fungsinya. Pada abad kini ini, tidak senantiasa kentongan berpadu dengan beduk saat ditabuh, bisa cuma beduk saja, atau kentongan saja.

  Khutbah Jumat Yang Puitis: Orang Yang Buta Mata Hatinya

1.2.Adzan pertama/Adzan awal Jum’at

Setelah beduk dan kentongan selesai ditabuh dengan irama yang khas, kemudian muadzin mengumandangkan adzan pertama. Beres itu, para jama’ah bangkit untuk melakukan shalat sunat qobliyah jum’at.

1.3.Muroqi

Fungsi muroqi (pengirim khotib naik mimbar, bila di Jawa Barat disebut “tukang ngunggahkeun”, artinya orang yang mengoptimalkan) ialah menaikkan khotib ke atas mimbar dan mengumandangkan adzan kedua. Seorang muroqi otomatis ialah muadzin bagi adzan kedua, umumnya muadzin pertama dan muroqi penduduknya berlawanan, namun mampu pula muadzin pertama sekaligus menjadi muroqi.

1.4.Proses Menaikkan Khotib Ke Atas Mimbar Oleh Muroqi

Bila jama’ah telah selesai melaksanakan shalat sunat qobliyah jum’at, maka muroqi bangun dengan memegang tongkat/tombak, mengucap salam dan membaca hadits ihwal keutamaan hari jum’at dan larangan mengatakan saat khotib telah naik mimbar untuk berkhutbah. Lalu Khotib keluar untuk naik mimbar. Muroqi yang berada bersahabat mimbar, menyerahkan tongkat/tombak terhadap Khotib.

Bersamaan dengan naiknya khotib ke atas mimbar, muroqi membaca shalawat diteruskan dengan do’a memohon ampunan bagi seluruh kaum muslimin-muslimat dan mukminin-mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Usai itu, khotib bangun menghadap jama’ah dan mengucap salam, dikala khotib telah duduk, muroqi mengumandangkan adzan kedua.

1.5. Khutbah Jum’at

Khutbah Jum’at yang disampaikan, keseluruhannya memakai bahasa arab, namun biasanya khutbahnya pendek. Khatib memberikan khutbah dengan memegang tongkat/tombak. Khutbah pertama berisi ihwal kabar gembira dan perayaan, sedangkan khutbah kedua berisi do’a.

1.6. Shalat Jum’at

Yang khas dari pelaksanaan shalat jum’at, di beberapa kawasan tertentu dan dikerjakan oleh sebagian kecil, yang meski tidak dalam situasi genting dan situasi cemas akan suatu ancaman, ada yang melaksanakan qunut secara kontinyu pada raka’at kedua shalat jum’at, mirip yang umum dikerjakan pada shalat subuh, tetapi do’a qunutnya biasanya do’a qunut nazilah.

1.7. Dzikir Setelah Shalat Jum’at

Dzikir sehabis jum’at dikerjakan berjama’ah, mampu dipimpin oleh imam, atau muroqi. Umumnya sesudah salam tanpa mengganti sikap duduk (masih perilaku duduk saat tahiyattul selesai), membaca : Surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, masing-masing Surat dibaca 7 kali, membaca syair Ilaahi Lastu Lil (syair lengkapnya disini) 7 kali, dan do’a. Lalu bermushofahah (bersalaman) di antara jama’ah.

  Khutbah Jumat Terhangat: Belajar Mati Dari Tidur

2). Jum’atan Perpaduan Tradisional – Moderen

Disebut perpaduan karena dari keseluruhan prosesinya masih menjaga beberapa sistem usang yang dipadukan dengan tata cara baru sesuai konteks pergeseran jaman, walaupun tidak senantiasa sama dalam hal sistem usang dan baru mana yang digunakan, antara satu masjid dengan masjid yang lain. Jum’atan perpaduan tradisional-moderen inilah yang dikala ini paling banyak dijalankan oleh sebagian besar Masjid jami’.

Secara lazim, aspek tradisional yang masih dipakai oleh sebagaian besar Masjid Jami (utamanya di Pulau Jawa), yakni :

·Adzan jum’at dua kali (di sebagian kecil tempat, adzan awal dihilangkan, diganti dengan menabuk beduk, atau isyarat saja bahwa sudah masuk waktu dzuhur, jadi adzan jum’at hanya satu kali)

·Pelaksanaan sholat sunat qobliyah jum’at

·Peran muroqi memaksimalkan khatib

·Pemakaian bahasa arab untuk pembuka khotbah, penutup khotbah, dan do’a dalam khutbah kedua

Disamping itu, meski kian menyusut, banyak juga Masjid Jami’yang masih mempertahankan pemakaian beduk dan tongkat/tombak khotbah, serta dzikir berjama’ah usai sholat juma’t dengan membaca dzikir dan do’a tertentu.

Sedangkan aspek moderen dalam tradisi jum’atan perpaduan tradisional-moderen, serta yang membedakannya dengan jum’atan ala tradisional murni, yakni :

·Pengumuman perihal pemasukkan dan pengeluaran, serta saldo terakhir kas masjid yang dilaksanakan sebelum masuk waktu dzuhur;

·Penyampaian esensi khutbah yang berisi kabar gembira dan peringatan, dengan bahasa Indonesia, atau bahasa kawasan, yang disampaikan secara panjang lebar menyangkut suasana dan kondisi umat terkini;

3). Jum’atan Moderen

Prosesi jum’atan secara moderen, biasanya dijalankan di kota-kota besar, atau di pedesaan yang ialah kantong-kantong Ormas Islam yang berhaluan pembaharu dan pro moderenisasi, mirip Muhammadiyah dan PERSIS.

Tetapi moderen disini bukan artinya mengadakan sesuatu hal baru yang tadinya belum ada, justru paham moderen dan pembaharuan yang dimaksud ialah mengembalikan kemurnian sistem Jum’atan sesuai sistem yang dijalankan oleh Rasulullah S.A.W. sehingga sistem yang tidak sesuai dan tidak dikerjakan oleh Rasulullah S.A.W. serta para sahabatnya, yaitu bid’ah yang tidak boleh dilakukan.

  Khutbah Jumat Paling Mantap: Budpekerti Terhadap Makhluk

Secara singkat mampu dibilang bahwa hal yang mempengaruhi adanya perbedaan prosesi jum’atan yang tradisional dan yang moderen, yaitu pemahaman yang berbeda antara pemeluk Islam tradisional dengan pemeluk Islam moderen, dalam mengerti dalil pelaksanaan ibadah jum’at tersebut,

Hal mencolok yang membedakan antara jum’atan moderen dengan tradisional, adalah :

·Mutlak tidak ada beduk dan kentongan yang ditabuh sebagai penunjukwaktu adzan.

·Tidak ada tugas muroqi, sebab adzan dikumandangkan satu kali, ialah saat Khotib telah naik mimbar dan mengucap salam, sesudah Khotib duduk, langsung dikumandangkan adzan.

·Tidak ada sholat sunat qobliyah jum’at

·Esensi khotbah disampaikan dalam bahasa Indonesia, atau Bahasa Daerah

·Berkesinambungan antara khotbah kesatu dan khotbah kedua, tidak mengkhususkan khotbah kedua untuk berdo’a saja.

·Do’a khutbah bisa dengan bahasa yang dikenali (B.Indonesia/B. Daerah)

·Tidak ada dzikir dan do’a bareng seusai shalat jum’at, masing-masing berdzikir dan berdo’a sendiri-sendiri.

Sebagian besar muslim Indonesia adalah penganut Islam tradisional, namun karena dampak hadirnya paham Islam moderen pada permulaan tahun 1900 an, maka berangsur-angsur, tata cara jum’atan yang tadinya tradisional murni pun dipengaruhi oleh metode yang dibawa oleh kaum pembaharu, meski tidak sepenuhnya jum’atan memakai sistem moderen, melainkan menggabungkan antara metode usang dan moderen tersebut.

Ada Masjid Jami’ yang jum’atannya banyak tata cara lama dan sedikit moderennya, ada pula yang sedikit sistem usang dan banyak moderennya. Namun sebagian kecil ada pula Masjid Jami’ yang tetap teguh melaksanakan jum’atan dengan metode tradisional murni.

Sehubungan prosentase penganut Islam tradisional dengan Islam moderen lebih banyak penganut Islam tradisional, namun paham pembaharuan dan moderenisasi juga tidak mampu dikesampingkan, maka sistem jum’atan yang dijalankan oleh sebagian besar penganut Islam di Indonesia adalah perpaduan antara sistem lama dan moderen. Sedangkan kaum pembaharu sepenuhnya mengerjakan tata cara moderen dalam prosesi ibadah jum’atannya.