الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهدي الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا اله الا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى اله وأصحابه أجمعين. أما بعد فيا عباد الله أوصيكم ونفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
Puji syukur layak terpanjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Agung, penguasa kerajaan langit dan bumi yang tiada henti mencurahkan rahmat-Nya untuk kita sekalian. Dia-lah yang telah menganugerahkan fajar cerah di pagi ini yang memancarkan sinarnya menghampar ke segala penjuru bumi, sinar yang menghembuskan hawa kebahagiaan hingga paras -wajah kita terlihat begitu menarik dengan senyuman kebahagiaan dan hati-hati kita terasa begitu tenang dan nyaman. Inilah dampak kemenangan yang telah kita raih, kemenangan atas hawa nafsu dan kemenangan atas iblis yang terkutuk serta bala tentaranya, tetapi di antara semua itu nasihat dari kemenangan yang terpenting bagi kita yakni kesuksesan menjangkau pakaian taqwa yang menimbulkan kita begitu mulia di segi Allah SWT.
Idul Fitri, inilah hari besar yang kita rayakan, inilah hari yang penuh cinta, inilah hari yang telah mampu membatasi insan dari berbagai perbuatan mudharat. Hari ini, tindak kriminalitas menurun secara drastis, tindakan maksiat dan fahisyah turun hingga ke titik nadir, hampir tak ada penjahat yang ditangkap, pengadilan atas kejahatan terhenti untuk sejenak. Peperangan, pembantaian, penindasan juga sirna untuk sebentar. Orientasi keduniaan kita yang cenderung menghiasi kehidupan kita di ruang-ruang kerja, di kantor, di kawasan hiburan, di pusat-sentra perbelanjaan, di darat dan di lautan juga untuk beberapa waktu kita redam. Kebisingan kota, hilir mudik kendaraan di jalanan, keriuhan di pasar-pasar dan mall-mall, juga kegiatan di perkantoran, di pabrik-pabrik untuk sejenak juga lengang berganti dengan riuh bunyi takbir, tahmid dan tahlil.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
Di hari yang sarat berkah ini, dunia dipenuhi kedamaian dalam indahnya nuansa silaturahim. Saling berbagi dan saling menyapa mempercantik di tengah gema takbir, tahmid dan tahlil yang terus berkumandang. Itulah pekik kemenangan kita sehabis berpuasa sebulan penuh, tidak hanya sekedar kemenangan fisik belaka dengan sekedar mengalahkan hawa nafsu perut kita dan hawa nafsu seksual kita, akan tetapi lebih dari itu kita telah berhasil mengungguli orientasi atau tujuan ukhrawi kita atas syahwat duniawi kita.
Jamaah ‘Ied rahimakumullah
Sebagai orang beriman pasti kita memahami bahwa segala anugerah dan nikmat batin yang kita rasakan di hari raya ini tidak terjadi begitu saja. Allah SWT jualah yang telah menghendaki kemenangan ini, Dia yang telah mengharapkan hadirnya rasa senang di hati ini, Dia yang telah menghendaki kelapangan di dada ini sampai kita menjadi begitu pemurah dan mudah memaafkan kesalahan orang, Dia pulalah yang menginginkan datangnya rasa haru di hati kita tatkala membayangkan paras -paras orang yang kita kasihi tidak lagi bareng kita di hari yang penuh bahagia ini. Bagi sanak famili yang jauh, Alhamdulillah dengan kecanggihan alat komunikasi di abad terbaru ini kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang tersayang kita dengan akrab walau tangan ini tak mampu untuk terjabat. Namun bagi orang-orang terkasih yang telah mendahului kita maka apalah daya, hanya doa yang mampu kita panjatkan sebagai bentuk salam kerinduan kita untuk mereka yang dulu pernah kita kecup tangannya yang terbalut keriput, dan dahulu pernah kita peluk bersahabat tubuhnya yang telah bau tanah renta. Kini kebersamaan itu tiada lagi, sosok orang-orang yang kita kasihi itu sekarang terkulai di bawah seonggok tanah berbatu nisan, makamnya yang belum tentu dapat kita ziarahi setiap saat. Semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
Jamaah ‘ied rahimakumullaah,
Marilah kita merefleksi dan merenungkan sejenak kemenangan dari hasil usaha kita yang dianugerahkan Allah SWT melalui Ramadhan-Nya yang insya Allah sanggup kita pertahankan dalam keseharian hidup sebagai ciri ketaqwaan kita. Di antara kemenangan itu ialah:
1). Kemurahan Hati Kita yang Mengalahkan Sifat Kikir dan Tamak
Ketamakan dan kekikiran ialah yaitu segi jelek dari sikap insan yang mendatangkan mudharat. Inilah sumber bencana sosial yang melanda umat negeri ini. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang melanda negeri ini telah memporak-porandakan pranata sosial di tengah-tengah masyarakat. Jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, ulama dan umatnya makin terasa begitu menganga. Di tengah maraknya kemewahan yang dipertontonkan oleh kelompok elit yang semakin materialistik di atas negeri yang bertebaran 60 juta orang miskin ini sangat mungkin mengakibatkan ‘kekecewaan sosial’ dan melahirkan ‘kemarahan massal’ dari mereka secara eksklusif ataupun tidak menjadi korban ketamakan dan kebakhilan golongan elit di negeri ini.
Ramadhan sudah mengantarkan manusia lebih bersahabat terhadap nilai-nilai kemanusiaannya. Membangun kecintaan terhadap sesama insan, menebarkan kasih sayang, silaturahim, serta menebar kemurahan hati akan menciptakan pranata sosial yang bersahaja sebab akan terjadi harmoni yang indah antara semua bagian dalam masyarakat; antara kaya dan miskin, konglomerat dan kaum bangkrut, pejabat dan rakyat jelata, pemimpin dan bawahan, ulama dan umat dan seterusnya. Di bulan Ramadhan kepekaan sosial kita terasah. Dengan puasa, kita berpengalaman untuk melaksanakan pengorbanan dan bermurah hati.
Dr. Carl, seorang psikoanalis mengatakan, “untuk meraih peningkatan yang simultan dan menyeluruh mesti disertai dengan pengorbanan dan ketulusan. Kemurnian jiwa hanya dapat diraih dengan mengorbankan materi dan popularitas. Pengorbanan diri ialah kebiasaan orang-orang yang mengetahui keadilan dan kebenaran iman kepada Allah. Orang yang mengorbankan jiwa mereka untuk keadilan, cinta dan keselarasan telah mampu mengawinkan antara akal, cinta serta kasih sayang. Pada kondisi inilah insan akan meraih puncak mega keindahan, cahaya kebenaran dan keadilan.” Mungkin inilah yang sering kita anggap dengan kepuasan batin yang tak mampu dinilai dengan harta.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang murah hati dan berakhlak baik senantiasa berada di bawah lindungan Allah. Allah senantiasa erat dengan mereka dan akan membimbing mereka menuju kebahagiaan. Tidak ada seorang yang adil yang tidak mempunyai sifat pemurah dan kasih sayang”.
Mari kita renungkan sebuah dongeng bagaimana dikala Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA sudah mengajarkan kemurahan hati pada keluarganya yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa pada suatu dikala kedua putra Ali bin Abi Thalib , Hasan dan Husain sedang sakit parah, maka Ali dan istrinya Fathimah binti Rasulullah bernazar bila kedua putra mereka sembuh maka mereka akan berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur. Atas karunia Allah SWT kedua anak merekapun sembuh. Keduanya pun mulai berpuasa nazar. Akan namun mereka tidak memiliki sesuatu walau sekedar untuk makan sahur dan berbuka. Mereka berpuasa dalam keadaan sangat lapar. Pada pagi harinya, Ali pergi terhadap seorang Yahudi berjulukan Syam’un. Ali kemudian berkata kepadanya: ‘Jika engkau ingin menyuruh seseorang untuk memintal wol dengan imbalan, maka istriku bersedia melakukannya’. Orang Yahudi itu menyetujui dengan komitmen satu gulung wol dihargai tiga sha’ gandum. Pada hari pertama, Fathimah memintal sepertiga bab wol, lalu ditukarkan dengan 1 sha’ gandum, lalu ditumbuk dan dimasaknya menjadi 5 potong roti kering, yakni untuk Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan seorang hamba sahaya perempuannya bernama Fidhdhah. Ketika waktu berbuka puasa tiba. Ali gres saja kembali dari shalat maghrib berjamaah dengan Rasulullah. Fathimah pun dalam keadaan letih sesudah melakukan pekerjaan seharian sarat kemudian menyiapkan hidangan untuk keluarganya, tikar alas makan sudah dibentangkan, di atasnya telah disiapkan roti dan air. Ali mengambil roti bagiannya, tiba-datang terdengar sayup-sayup suara seorang fakir dari balik pintu rumah sederhana mereka yang mengharap belas kasih semoga diberi makanan, ‘ Wahai keluarga Muhammad, saya seorang fakir, berilah kuliner kepadaku, agar Allah SWT memberimu makan dari kuliner nirwana’. Ali kemudian mendatangi pengemis itu dan memperlihatkan roti keringnya. Seluruh keluarganya juga tak tinggal diam, mereka juga menunjukkan roti mereka. Ali memberitahukan bahwa dia sudah menunjukkan rotinya kepada pengemis itu. Namun mereka menjawabnya, ‘kami juga ingin mendapatkan kehormatan di sisi Allah mirip engkau, biarkanlah kami memberikan milik kami’. Akhirnya merekapun hanya berbuka dengan segelas air pada hari itu. Allah menguji mereka dengan keadaan itu selama tiga hari, dengan berturut-turut dihadiri oleh anak yatim dan seorang tawanan dan merekapun melaksanakan hal yang serupa.
Pada hari ke empat mereka memang tidak berpuasa, namun apalah juga yang mau disantap. Hari itu tak ada kuliner apapun di rumah mereka. Ali RA kemudian menenteng kedua anaknya Hasan dan Husain sambil berjalan tertatih-tatih alasannya adalah menahan lapar mendatangi Rasulullah SAW sekedar untuk menghibur hati. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ‘Sungguh menyedihkan hatiku melihat kalian menderita kekurangan dan kesengsaraan. Mari kita jumpai Fathimah’. Rasulullah SAW menemui putrinya Fathimah yang dilihatnya sedang menjalankan shalat nafil. Mata Fathimah terlihat cekung. Perutnya kepincut hingga menempel ke punggung alasannya sangat lapar. Rasulullah SAW kemudian memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan rahmat Allah baginya dan keluarganya. Pada dikala itulah malaikat Jibril AS mendatangi Rasulullah SAW untuk memberikan kabar dan wahyu.
Kejadian itu sudah menggetarkan ‘Arsy Allah alasannya adalah para Malaikat bertasbih memuji perilaku keluarga yang mulia itu. Kisah inilah yang menjadi asbab nuzulnya Surat al-Insan, di mana pada ayat ke-8 dan 9 Allah SWT berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا . إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورً
“Dan mereka memberikan kuliner yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi kuliner kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menginginkan akhir dari kau dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8 – 9)
2). Keikhlasan Kita yang Mengalahkan Sifat Riya
Mukhlisin yakni kalangan orang-orang yang Allah SWT begitu ridha dengan mereka. Namun seikhlas-ikhlasnya dalam setiap amal dihentikan sedikitpun merasa kondusif dari penyakit riya. Di sinilah tugas keteguhan dalam ketaatan melaksanakan perintah Allah SWT. Kesabaran yaitu proses puncak menuju maqam mukhlisin. Puasa mengajarkan kita tentang bagaimana suatu amal yang kita lakukan cuma dimengerti oleh Allah SWT. Keadaan kita berpuasa atau kondisi tidak berpuasa menjadi diam-diam antara kita dengan Allah semata. Inilah pesan yang tersirat penting ibadah puasa kita. Melalui puasa sebulan penuh Allah men-tarbiyah kita untuk berguru meluruskan niat bersedekah semoga tak tersusupi oleh sifat riya, ujub dan sum’ah. Riya menjadi penyebab rusaknya amal seseorang sampai tidak bernilai sama sekali di sisi Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW memberikan kekhawatirannya di depan para sahabat khususnya, “Sesungguhnya hal yang paling saya takutkan atas kalian ialah syirik kecil, maka para sobat bertanya: ‘apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?’. Beliaupun bersabda: ‘Syirik kecil itu yakni riya’. Pada hari akhir zaman ketika manusia dibalas dengan amal perbuatannya maka Allah akan berkata terhadap orang-orang yang berbuat riya: ‘pergilah kalian terhadap apa-apa yang kalian berbuat riya’, maka lihatlah apakah kalian mendapat akhir dari mereka”. (HR. Ahmad).
Tak ada seorangpun yang mampu merasa aman dari perbuatan syirik kecil ini bahkan para teman utama sekalipun seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab tidak merasa kondusif darinya terlebih kita yang banyak direpotkan oleh perkara-kasus dunia.
Penyakit riya amatlah berbahaya alasannya adalah dia menjangkiti seseorang bukan dalam kondisi seseorang bermaksiat namun justru dikala seseorang beramal shalih. Selain itu jika seorang yang beriman dalam amal shalihnya ternodai oleh sifat riya, memiliki arti terdapat dalam dirinya satu bab dari sifat-sifat kaum munafiqun.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan kalau mereka (kaum munafiq) berdiri mengerjakan shalat, maka mereka bangun dalam keadaan malas dan riya di hadapan manusia dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisaa’: 142)
Puasa adalah ibadah sirriyyah (tersembunyi) antara hamba dengan Khaliqnya. Di sinilah kita diajarkan untuk mengalahkan sifat riya. Berbeda dengan shalat yang mampu terlihat dari gerakannya, zakat yang nampak dari pemberiannya, dan haji yang nampak dari manasiknya. Banyak dari golongan mahir ibadah saat amal-amal kebajikannya ditimbang justru sama sekali tidak menciptakan mizan itu bergerak. Hal ini dikarenakan amal-amalnya tersebut ternodai oleh sifat riya.
Perbaikilah senantiasa niat kita dalam beramal, landasilah dengan keikhlasan. Bila terbersit riya di dalam hati maka lawanlah dan jangan menangguhkan amal, alasannya adalah yakinlah itu ialah godaan syaithan yang meniupkan was-was di dalam hati kita. Pandanglah kecil amal kita dan jangan terjerumus pada pujian kepada amal. Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan terhadap-Nya dalam (mengerjakan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
3). Pengendalian Diri Kita yang Mengalahkan Sifat Menuruti Hawa Nafsu
Bulan Ramadhan yang telah berlalu sudah memberikan latihan berharga terhadap seluruh bagian dalam diri kita. Unsur fikrah, jasad, ruh, hati dan harta kita telah kita arahkan menuju kemaslahatan bagi diri kita dan orang lain. Ramadhan sudah menunjukkan banyak anutan berupa batasan dan rambu-rambu bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Di sinilah peran ketekunan kita dalam menahan diri dari perbuatan melanggar larangan Allah. Bagi orang yang berpuasa maka tantangan terberat yang dihadapi adalah dorongan untuk memenuhi cita-cita hawa nafsunya. Namun, sebab ketabahan dan keseriusan kita dalam melakukan ibadah shaum maka kita dapat mengendalikan cita-cita-cita-cita hawa nafsu itu. Kegigihan kita dalam menahan pandangan dari masalah-perkara yang diharamkan, keseriusan kita dalam mempertahankan verbal dari perkataan-perkataan jelek, kehati-hatian kita dalam menghindarkan perut kita dari masuknya kuliner-kuliner syubhat dan haram, keseriusan kita membersihkan pikiran dan hati dari praduga buruk, sifat iri, dengki, dendam, amarah dan keangkuhan, ketaatan dalam mempertahankan kemaluan kita dari hal-hal yang diharamkan, tidak menghimpun dan membelanjakan harta pada masalah-perkara yang dilarang oleh agama, mengendalikan tangan dan kaki kita semoga tidak menjamah atau melangkah ke tempat-kawasan yang mengandung maksiat, serta menutup telinga kita dari ghibah dan perkataan-perkataan jelek dan mengandung cela. Maka dikala semua itu mampu kita kendalikan, barulah kita mampu mencicipi manisnya doktrin. Inilah yang menjadi alasannya datangnya hidayah dan taufik Allah SWT terhadap kita. Amalan ibadah puasa kita sudah membuat hawa nafsu kita lebih stabil dan terkendali. Kita berharap biar semua anggota badan yang telah kita kendalikan itu akan menjadi saksi yang hendak membela kita di hadapan pengadilan Qadhi Rabbul Jalil. Ingatlah firman Allah SWT:
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Pada hari (ketika), pengecap, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka kepada apa yang dahulu mereka lakukan.” QS. An Nur: 24.
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian indera pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kau menerka bahwa Allah tidak mengetahui pada umumnya dari apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushshilat Ayat: 22)
Inilah tiga hal di antara sekian banyak kemenangan yang telah kita capai di bulan Ramadhan dengan sebuah keinginan biar Allah memberi akomodasi untuk kita mempertahankannya di hari-hari selanjutnya. Tiga kemenangan yang hendak selalu memasok energi amal bagi datangnya cinta dan harmoni antara miskin dan kaya, atasan dan bawahan, orang renta dan anak, suami dan istri dan di antara seluruh unsur bangsa dan umat ini. Kini kita telah kembali fithrah, jangan nodai ke-fithrah-an ini hingga membuat kemenangan idul fithri ini menjadi tidak berguna. Kita senantiasa berlindung kepada Allah dan memohon ampun kepadanya atas segala dosa dan kekhilafan yang kita kerjakan.
Demikianlah Khutbah Idul Fitri 1429 H Pesan Pesan Ramadhan ini jamaah sekalian, semoga ini menjadi materi renungan bagi kita semuanya dan menjadikan kita semakin yakin dan percaya diri untuk menjadi manusia paripurna atau manusia kamil dengan kemenangan ini. Ja’alanallaahu wa iyyaakum minal ‘aa’idiina wal faa’iziin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Wassalaamu ‘alaikum wr. Wb.