KABUT. Lepas tengah malam, bunyi dayung di permukaan air. Perahu terus bergerak, menembus gelap & hambar, menuju pulau kecil di tengah danau. Tak ada yg terlihat di pulau, kecuali sesekali terlihat samar pohon putih di puncak bukit kecil. Dalam gelap, pohon putih seakan melayang & menempel di kertas hitam, kemudian menjadi pecahan dr kabut.
Belum lagi separuh perjalanan, sambil menyulut rokoknya yg kedua, si pendayung tak mampu menahan keinginannya mengatakan. Maka, diulangnya lagi pertanyaan pada laki-laki yg duduk memunggunginya, “Makara, kenangan pada siapa yg ingin Sanak lupakan?”
KATA Tuanku Imam, dr kisah yg didengar kakek gurunya, seorang pengembara yg saleh menyampaikan iblislah dulu yg menanam pohon putih. Apa argumentasi iblis menanam pohon itu di kampung kami, cuma iblislah yg tahu, mirip tak seorang jua yg tahu apa penyebab maut pengembara yg saleh itu tatkala suatu pagi seorang penjala ikan mendapati mayatnya dlm perahu yg terapung di danau.
Kalau hari tak berkabut, Sanak bisa menyaksikan pohon putih menjulang di pulau tengah danau. Pohon menyerupai beringin yg batang sampai dahan, bahkan semua daunnya, berwarna putih mirip dikebat kain tetoron. Di bawah bulan purnama, atau sehabis hari hujan, pohon itu terlihat begitu putihnya seakan mengeluarkan cahaya.
Sanak tahu, sebanyak pohon dlm rimba, tak ada satu jua pohon yg serupa dengannya. Kata Nasir, yg berladang di pulau, belum pernah ia melihat seekor saja pipit hinggap di pohon putih. Kecuali ular, tak ada hewan yg terlihat mendekati pohon putih.
Tentu di kampung kami masih banyak tersedia “ceritanya” & “katanya” mengenai pohon putih. Mana yg benar jadi tak penting benar. Yang terperinci, entah semenjak bila pohon putih menciptakan orang tiba ke kampung kami yg lengang ini. Bermalam, lalu setengah membisu-diam, pagi buta mereka menembus kabut, berperahu menuju pulau. Naik ke bukit mendatangi pohon putih, meminum embun di daunnya.
Embun itu bukan berkhasiat menyembuhkan penyakit, namun menghilangkan kenangan kita pada siapa & apapun yg membebani fikiran serta perasaan. Setelah meminumnya, semua ingatan yg menggelisahkan kita akan lenyap, termasuk kenangan akan rasa cinta. Lalu semua ingatan itu seakan tak pernah ada terjadi. Jika pun masih ada, tak ada lagi perasaan apa pun. Sebanyak orang yg tak percaya, tak berkurang jua mereka yg mengunjungi pohon putih.
Bagaimana pangkal mula orang mengetahui khasiat embun pohon putih, lagi-lagi tak seorang jua yg tahu. Yang jelas, khasiat embun pohon putih tak menciptakan kampung kami bertambah ramai. Dari tahun ke tahun bahkan kian lengang saja. Banyak orang kampung pergi ke banyak negeri, tak lagi pernah pulang, hilang cinta & ingatannya pada kampung ini. Apakah mereka pula sudah meminum embun pohon putih, tampaknya begitu.
Kata Tuanku Imam…
PEMILIK kedai itu terus bercerita. Lelaki berbadan kurus yg kesenangannya bercerita sama besarnya dgn kesenangannya merokok. Apalagi ia sudah mengira apa keperluanku mengunjungi kampung ini. Selain pemilik kedai, ia pula mempunyai bahtera & sering mengantar orang ke pulau untuk mengunjungi pohon putih. Sambil sesekali mereguk teh telur yg hangat, seperti diharapkannya, gue mendengar ceritanya sarat minat. Kupikir gue telah memperoleh orang yg ciri-cirinya mirip dibilang Bapak.
Dua jam setelah menyelesaikan makan, tak ada pengunjung yg lain di kedai ini selain gue seorang. Di meja yg lain sejak tadi Siti asyik menggambar. ia anak pemilik kedai, berumur lima tahun, berparas lucu dgn sepasang mata yg indah. Sesekali ia berteriak & menghampiri ayahnya, menunjukkan gambarnya. Lalu bapak & anak itu riang bercengkerama.
Kepadaku Siti mengundang “Om” seakan ia sudah lama mengenaliku. Ia menawarkan gambarnya, perahu & orang yg terbaring di dalamnya. “Ayah Siti sedang bobo di perahu, Om,” katanya. Aku cuma mengangguk tak peduli, pura-pura tak tahu bahwa Siti menghendaki pujian. Sebelum senyum & sepasang mata Siti menelan perasaanku, gue harus menjaga jarak.
“Ini, Sanak, lihat!” Pemilik kedai memberikan layar ponselnya, foto dirinya di ponsel bersama seorang lelaki yg sudah berumur. “Lihat, Sanak, ia duduk persis di kursi Sanak sekarang. Pensiunan tentara katanya, pasukan khusus, minta diantar ke pohon putih. ia nak menghapus ingatan pada wajah orang-orang yg pernah dibunuh & diperkosanya dulu. ia hidup tak damai, dikejar-kejar dosa, padahal ia mau berangkat haji.” Ia memindah layar ponselnya, foto yg lain.
“Nah, ini pengacara populer, pasti Sanak mengenalnya. Dulu awak pula yg mengantarnya ke pulau. Buat awak, setiap kali ia ada di TV & ngomong ‘keadilan’, lawak sekali terdengarnya!” Ejeknya sambil tertawa. Lalu disebutnya pula banyak orang yg pernah mendatangi pohon putih, tak terkecuali mereka yg terlilit kenangan & perasaan cinta & asmara.
“Yang tak terpikir oleh awak, ada pula rupanya mereka yg sengaja tiba untuk menghapus ingatan pada apa yg semestinya terus diingat. Orang-orang itu ingin leluasa berbuat kemungkaran. Tampaknya, bersua pula perkataan pengembara yg saleh dahulu, iblislah yg menanam pohon putih.” Ia berkata sambil mengocek kopi yg baru dibuatnya.
“Pasti Abang sering pula mengirim pembesar ke pulau, & pasti bayarannya besar!” Kataku dgn nada takjub. Ia tersenyum-senyum bangga. Umpanku disambutnya. Ia bercerita tentang seorang pembesar yg dua hari kemudian diantarnya ke pulau.
“Dia pembesar yg sungguh terkemuka. Hampir awak tak yakin berjumpa ia. Semua orang tahu apa yg sudah dibilang & dijanjikannya dulu kalau ia berkuasa.” Meski suaranya terdengar agak ragu, namun ia meneruskan juga. “Tapi ia malah mendatangi pohon putih. Menurut awak yg bengak ini, jadi untuk apa lagi orang menanti bukti kata-kata & janjinya dahulu!” ia tertawa.
Kupikir sudah cukup. Setelah sepakat ia akan mengantarku ke pulau, gue beranjak. Menjelang keluar dr kedai, tiba-tiba pemilik kedai itu bertanya, “Makara kenangan pada siapa yg ingin Sanak lupakan?”
PERTANYAAN itu lagi. Kau hanya diam, berpura-pura merapatkan jaket, menatap ke dlm gelap. Kau berupaya menenangkan diri dr kenangan pada wajah lucu & sorot mata Siti. Lalu suara laki-laki yg kepadanya siapa saja mengundang “Bapak”. Penguasa yg terlalu baik untuk tak menggelisahkan semua akad yg pernah dikatakannya. Janji & kata-kata yg ternyata tak bisa dilakukannya setelah ia berkuasa.
Ada banyak alasan , namun kata-kata & kesepakatan itu terus menggema dlm dirinya, membuatnya merasa bersalah telah mengkhianati mereka yg sudah memberinya kekuasaan. Gema itu balasannya tak lagi terdengar berkat khasiat embun pohon putih. Dan hanya satu orang yg tahu bahwa ia sudah mengunjungi pohon putih.
Saat perintah itu kamu terima kamu sudah paham apa yg mesti dijalankan. Seseorang mesti dikorbankan alasannya sebuah belakang layar mesti diselamatkan. Lebih lagi, semua hal mengenai Bapak yg bersifat diam-diam mustahil dipisahkan dr belakang layar negara. Setelah sebentar memandang ke arah pohon putih, kau berbalik menghadap si pendayung, mendekat.
Lelaki pemilik kedai itu gres saja menyalakan rokok sebelum ia mencicipi suatu gerakan cepat di kepala & lehernya, sebelum ia sempat mengaduh.
Setenang biasanya, kau membaringkan mayat pemilik kedai itu di bahtera. Lalu dgn penuh hormat, kamu menutup matanya, merapikan letak kedua tangannya, & sebentar kamu menunduk seraya bergumam. Kau kemudian terus mendayung sampai ke pulau, kemudian menuju pohon putih, mereguk embun di daun-daunnya. Embun yg terasa bagus. Dan benar saja, embun pohon itu sungguh memiliki kegunaan, tak ada lagi yg kamu ingat.
Sepulang dr pulau, di kawasan sepi kau naik ke daratan, mendorong & membiarkan bahtera hanyut, terapung kembali ke tengah danau, ditelan kabut. Tiba-tiba kau merasa mendengar suara seorang anak, “Ayah Siti sedang bobo di bahtera, Om.” (*)