close

Ketika Mas Gagah Pergi | Cerpen Helvy Tiana Rosa


I
Mas Gagah berganti! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Mas, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berganti.
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah tingkat final di Teknik Sipil UI. Ia seorang abang yg sangat bagus, cerdas, periang & tentu saja ganteng! Mas Gagah pula sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri dr hasil mengajar privat matematika untuk bawah umur Sekolah Menengah Pertama & Sekolah Menengan Atas, menjadi model majalah, hingga menjadi senpai di sebuah klub karate.
“Hai cewek tomboi!” sapanya suatu kali. “Waktunya ananda berguru bela diri! Percuma kan punya Mas karateka sabuk hitam, kalau ananda nggak bisa karate?
Hari-hari kami pun bertambah dgn berlatih karate bersama. “Nggak usah kursus. Kursus sama Mas aja. Habis ini latihan modeling ya, biar jalanmu nggak lebih gagah dr Mas!” sindirnya sambil senyum.
Sejak kecil gue sangat dekat dengannya. Tak ada diam-diam di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yg menolong dikala gue butuh pertolongan. Ia menghibur & membujuk di dikala gue bersedih. Membawakan buah tangan sepulang sekolah & mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melaksanakan hal-hal yg baik, menyenangkan & bermakna banyak untukku.
Saat memasuki usia akil balig cukup akal kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bareng . Jalan-jalan, nonton film, konser musik atau sekadar bercanda bareng sahabat-teman. Mas Gagah yg humoris itu akan membuat dagelan-lawakan santai hingga gue & sobat-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir & makan dulu di Kemang atau tempat-tempat yg sedang happening.
Tak ada yg tak menggemari Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang renta & adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya!
Kakak ananda itu keren, cutemacho dan humoris. Masih kosong nggak sih?
Git, gara-gara ananda bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?
Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?
Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yg mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah kenapa ia belum memiliki pacar. Apa jawabnya?
Mas belum minat tuh! Kan lagi fokus kuliah. Lagian kalau Mas pacaran, banyak budget. Banyak pula yg patah hati! Hehehe,” kata Mas Gagah akal-akalan serius.
Mas Gagah dlm pandanganku yakni sosok ideal. Kombinasi yg unik dr banyak talenta. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat namun tak pernah meninggalkan shalat! He’s a very easy going person. Almost perfect!
Huaa, itulah Mas Gagah. Mas Gagah-ku yg dahulu!
Namun mirip yg telah kukatakan, entah kenapa beberapa bulan akhir-akhir ini ia berubah. Drastis! Dan kalau gue tak salah, itu seusai ia pulang dr Madura.
Memang ngapain sih Mas, ke Madura segala? Lama lagi!”
Diajak survei sama salah satu profesor & kontraktor, untuk penyusunan rencana bangunan besar di sana, Dik Manis! Sekalian penelitian skripsi Mas….”
Ah, soal bangunan & penelitian skripsi. Lalu kenapa Mas Gagah bisa berubah jadi asing gara-gara hal tersebut? Pikirku waktu itu.
“Mas ketemu kiai hebat di Madura,” cerita Mas Gagah bersemangat . “Namanya Kiai Ghufron! Subhanallah, penduduknya sangat bersahaja, santri-santrinya luar biasa! Di sana Mas memakai waktu luang Mas untuk mengaji pada ia. Dan tiba-tiba dunia jadi lebih benderang!” tambahnya sarat semangat. “Nanti kapan-kapan kita ke sana ya, Git.”
Huh.
Dan begitulah. Mas Gagah pun berubah menjadi lebay dalam hal agama mirip kini, hingga gue seolah tak mengenal dirinya lagi.
Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yg dulu, yg senantiasa kubanggakan kini entah ke mana….


Mas Gagah! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.
Tak ada jawaban. Padahal kata Mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi gue bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
Assalaamu’alaikuuum!” seruku.
Pintu kamar terbuka & kulihat senyum lembut Mas Gagah.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
Matiin CD-nya!” kataku sewot.
Lho memang kenapa?
Gita kesel bin sebel dengerin CD Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” gue cemberut.
Ini nasyid. Bukan sekadar nyanyian Arab tapi zikir, Gita!
Bodo!
Lho, kamar ini kan tempat kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yg Mas sukai & Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah tabah. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek, Mama gundah. Jadinya ya, dipasang di kamar.”
Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin Lady Gaga eh tiba-tiba terdengar suara asing dr kamar Mas!
Mas kan pasangnya pelan-pelan.”
Pokoknya kedengaran!
Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dgn nasyid yg bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho! Ada koleksi Cat Steven alias Yusuf Islam yg Mas baru download nih
Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” gue ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku sungguh-sungguh tak habis pikir kenapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana CD para rocker yg selama ini dikoleksinya?
Wah, ini nggak seperti itu, Gita! Dengerin Lady Gaga & sobat-temannya itu belum tentu mendatangkan faedah, terlebih pahala. Lain lah ya dgn senandung nasyid Islami. Gita mau denger? Ambil aja dr laptop. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oalaa!


Sebenarnya pergeseran Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski gue cuma adik kecilnya yg baru kelas dua Sekolah Menengan Atas, gue cukup jeli memperhatikan perubahan-perubahan itu, walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu, berjama’ah di masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau gue iseng mengintip di lubang kunci, ia tentu lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau gue mampir di kamarnya, ia dgn senang hati menguraikan isi buku yg dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya, “Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau ananda pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh kasih voucher belanja yg Mas punya buat beliin kau rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu!
Uh. Padahal dulu Mas Gagah setuju-setuju saja menyaksikan penampilanku yg tomboi. ia tahu gue cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah pula nggak pernah keberatan kalau gue meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dahulu sering memanggilku Gito, bukan Gita! Eh, kini pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin, tampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering pula Mama menegurnya.
Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?
Lain gimana, Ma?
Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya ananda yg paling sibuk dgn penampilan ananda yg kayak cover boy itu.”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya pula lebih santun.”
Ya, dlm penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dgn kemeja lengan panjang atau baju koko yg dipadu dgn celana panjang longgar. “Jadi menyerupai Pak Gino,” komentarku menyamakannya dgn sopir kami. “Untung saja masih lebih tampan.”
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku & berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam? Itu pula sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak lucu mirip dahulu. Kayaknya ia pula malas banget ngobrol usang atau becanda sama perempuan. Teman-temanku mengajukan pertanyaan-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan yg paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?
“Sok keren banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? ia tuh cewek paling terkenal di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!
Justru alasannya Mas menghargai ia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dgn nada amat tabah. “Gita lihat kan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu sangat baik!
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu, kini bawa-bawa orang Sunda. Apa relevansinya?
Mas Gagah menenteng sebuah buku & menyorongkannya padaku. “Nih, baca, Dik!
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah Saw tak pernah berjabat tangan dgn wanita kecuali dgn mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!
Si Mas tersenyum.
Tapi Kiai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Biar saja mereka begitu, tetapi Mas tidak, nggak apa kan? Coba untuk memahami & menghargai ya, Dik Manis?
Dik Manis? Coba untuk mengetahui? Huh! Dan mirip biasa gue ngeloyor pergi dr kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah kini terlalu fanatik! Aku jadi cemas. Ah, gue pula takut kalau ia terbawa oleh orang-orang sok agamis namun ngawur. Namun, kesannya gue nggak berani mengira demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru 20 tahun tetapi sudah skripsi di FTUI! Dan gue yakin mata batinnya jernih & tajam. Hanya, yaaa akhir-tamat ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. 


Mau kemana, Git!?
Nonton sama sahabat-sahabat.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!
Ikut Mas aja, yuk!
Kemana? Ke tempat yg waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!
Aku masih ingat terang. Beberapa waktu yg kemudian Mas Gagah mengajakku pengajian di rumah temannya. Terus pernah pula gue diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali gue dilihatin sama cewek-cewek lain yg pada umumnya berjilbab itu. Pasalnya, gue kesana menggunakan kemeja lengan pendek, jins belel & ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tak bisa kusembunyikan, meski sudah menggunakan topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku menggunakan baju panjang & kerudung yg biasa Mama pakai mengaji. Aku nolak sambil mengancam tidak ingin ikut.
Assalaamu’alaikum!” terdengar bunyi beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak usang kulihat Mas Gagah & sobat-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dgn teman-teman si Mas ini. Masuk, melalui, nunduk-nunduk, senyum sedikit, nggak ngelirik saya, persis kelakuannya Mas Gagah.
Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.
Dulu nggak ada deh sahabat Mas Gagah yang nggak akrab denganku. Tapi kini, Mas Gagah jarang memperkenalkan mereka padaku. Padahal sahabat-temannya lumayan ganteng.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !
Seperti biasa, gue bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keIslaman, diskusi, belajar baca Al-Alquran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh!


Subhanallah, memiliki arti abang ananda ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memuseumkan semua baju you can see-nya.
Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yg keras bikin beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa digunakan untuk menyapa kerabat seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa & Hendra memang menyerupai Mas Gagah.
Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah ananda akan tahu meyeluruh tentang din kita. Orang-orang mirip Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris. Nggak-lah. Mereka cuma berusaha mengamalkan Islam dgn baik. Kitanya saja yg mungkin belum mengerti & sering salah paham.”
Aku membisu. Kulihat keseriusan di wajah bening Tika, sobat dekatku yg dahulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku bermetamorfosis begitu remaja.
Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita,” ujar Tika tiba-tiba.
Tik, gue kehilangan kamu. Aku pula kehilangan Mas Gagah,” kataku jujur. “Selama ini gue pura-pura dingin tak peduli. Aku murung.”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang ananda mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa dongeng banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Nadia.”
Mbak Nadia?
Sepupuku yg kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dr Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!
Hidayah?
Nginap, ya! Kita ngobrol hingga malam sama Mbak Nadia!


Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!” tegurku ramah.
Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah akal-akalan murka, usai menjawab salamku.
Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina. Puisi-puisi Muhammad Iqbal perihal pemuda Islam yg tertempel rapi di dinding kamar. Lalu empat rak koleksi buku ke-Islaman….
Cuma lagi baca, Git,” katanya.
Buku apa?
Tumben ananda pengin tahu?
Tunjukin dong, Mas. Buku apa sih?” desakku.
Eit, Eiiit!” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, ia tertawa & menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yg sedang dibacanya dgn wajah setengah memerah.
Nah yaaaa!” gue tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku Memilih Jodoh & Tata Cara Meminang dlm Islam itu….
“Maaaas….”
Apa, Dik manis?
Gita akhwat bukan sih?
Memangnya kenapa?
Gita akhwat apa bukan? Ayo jawab,” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dgn sabar & panjang lebar, ia mengatakan kepadaku. Tentang Allah, ihwal Rasulullah. Tentang ajaran Islam yg indah namun diabaikan & tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yg sering jadi sasaran fitnah & perihal hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian usang, gue merasa kembali mendapatkan Mas Gagahku yg dahulu.
Mas Gagah dgn semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yg tak pernah kulihat sebelumnya!
Mas, kok nangis?
Mas murung alasannya adalah Allah, Rasul & Al Islam kini sering dianggap enteng. Sedih karena ummat yg banyak meninggalkan Al-Quran & Sunnah, pula berpecah belah. Sedih alasannya dikala Mas bersenang-senang & bisa beribadah dgn tenang, kerabat-saudara kita di negeri sendiri banyak yg mengais-ngais masakan di jalan, & tidur beratap langit, sementara di belahan bumi yang lain sedang diperangi….”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yg gagah & tegar ini ternyata sungguh perasa. Sangat peduli.
Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
Emangnya Gita ngerti yg Mas katakan?
Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Nadia pula pernah menerangkan hal demikian. Aku mengerti meski tak mendalam.
Malam itu gue tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya gue mampu hidayah!


Hari-hari berlalu. Aku & Mas Gagah mulai dekat lagi, meski kegiatan yg kami lakukan berbeda dgn yg dahulu. Sebenarnya banyak hal yg belum bisa kupahami, belum bisa kuterima dr keberadaan Mas Gagah, tetapi sungguh gue tak ingin kehilangan sosoknya. Aku ingin bisa menjaga kedekatan kami selama ini.
Kini tiap hari Minggu kami ke aneka macam masjid, mendengarkan ceramah biasa , atau ke tempat-tempat tabligh akbar digelar. Kadang cuma gue & Mas Gagah, kadang kala bila sedikit kupaksa Mama Papa pula ikut.
Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu berkala ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!
Pernah Mas Gagah mengajakku ke agenda ijab kabul temannya. Aku sempat gundah juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah! Tempat acaranya pula begitu: dipisah antara lelaki & perempuan. Terus bersama suvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga.
Dalam perjalanan pulang, gres Mas Gagah memberitahu bagaimana hakikat jadwal pernikahan dlm Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan & kemubaziran. Ia pula wanti-wanti biar gue tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dr tempat cewek!
Aku nyengir kuda.
Mungkin kamu, mungkin kita nggak sepakat, Sayang, Tapi coba untuk menghargai ya?” katanya sambil mengusap kepalaku.
Kini kelihatannya Mas Gagah mulai bahagia pergi denganku. Soalnya gue mulai bisa diatur. Pakai baju yg sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
Coba pakai jilbab, Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab & insya Allah lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku wacana perempuan, pula dikompori sama sahabat-sobat pengajian ia.
Gita mau, tapi nggak sekarang,” kataku. Aku mempertimbangkan bagaimana dgn seabreg aktivitasku kini, harapan masa depan, kandidat suami nanti, & semacamnya.
Itu bukan halangan,” ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran. Mama yg wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yg duduk di samping ia senyum-senyum.
Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yg dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!
“Lho?” Mas Gagah terdiam.


Dengan sarat pujian, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Bagaimana tak besar hati? Dalam acara pelatihan umum ihwal generasi muda Islam yg diadakan di UI, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yg berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku!
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yg dibawakannya mempesona & retorikanya hebat! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Alquran & Hadis Rasul. Menjawab semua pertanyaan dgn baik & tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yg disampaikannya jauh lebih bagus dibandingkan dengan yg dibawakan oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yg biasa kudengar!
Pembicara yg lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam gue makin takjub pada kakaknya Tika ini. Lembut, elok. Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, gue jadi nyengir sendiri. Tika yg duduk di sebelahku pula tampaknya punya anggapan yg sama. Makara kami sering lirik-lirikan & senyum-senyum sendiri.
Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, gue menghunus tangan tinggi-tinggi. Ada beberapa yg ingin bertanya. Yup alhamdulillah moderator memilihku!
Yes!” kata Tika.
Kulihat Mas Gagah tersenyum dr jauh.
Assalaamu’alaikum, saya Gita, masih Sekolah Menengan Atas. Mau nanya nih, gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah ya?” tanyaku sambil sok menjawab sendiri.
Hadirin kasak kusuk.
Ih, kok tanya itu lagi. Kan udah gue kasih tahu itu wajib,”sela Tika setengah berbisik.
Aku tak peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak sahabat saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, namun pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yg jadi rocker.
Gerrrrr, hadirin tertawa. Tika menatapku sambil geleng-geleng kepala.
Aku bingung, namun tetap semangat. “Kayak saya nih.. Saya mau pakai jilbab, tetapi ya ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau pensiun. Lagian yg penting kan kita bisa jilbabin hati, ya ga? Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati. Mendingan nggak dong!
Hadirin riuh rendah, bertepuk tangan.
Moderator garuk-garuk kepala, persis Tika, di sampingku. “Oke, pertanyaan ditampung.
Saat moderator meminta para pembicara merespon, Mbak Nadia tersenyum, “Sahabat sekalian, sebagai seorang muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan kenapa saya memakai jilbab.
Aku memandang Mbak Nadia yg terlihat lebih manis dgn jilbab ungunya.
Mengapa saya mengenakan jilbab?. Alasan pertama sebab berjilbab yaitu perintah Allah dlm surat Al Ahzab ayat 59 & An Nur ayat 31. Kedua, alasannya adalah jilbab merupakan identitas utama untuk diketahui sebagai seorang muslimah. Astri Ivo, seorang artis, justru mulai memakai jilbab saat kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika.”
Wuuuuiiiiih,” pengunjung berdecak kagum.
Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, alasannya dgn berjilbab saya merasa lebih kondusif dr gangguan. Dengan berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”, atau memanggil saya “Bu Haji” yg pula merupakan do’a. Makara selain merasa aman, bonusnya yaitu mendapatkan do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah mengenakan pakaian yang ‘you can see everything’.
Hadirin tertawa. Hmmm.
Alasan keempat, dgn berjilbab, seorang muslimah akan merasa lebih merdeka dlm artian yg bantu-membantu. Perempuan yg menggunakan rok mini di dlm angkot contohnya akan resah menutupi potongan-kepingan tertentu tubuhnya dgn tas tangan. Nah, kalau saya naik angkot dgn berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya. Ayo, lebih merdeka yg mana?
Hadirin tertawa lagi.
Alasan kelima, dgn berjilbab, seorang muslimah tak dinilai dr ukuran fisiknya. Kita tak akan dilihat dr kurus, gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis kita…. melainkan dr kecerdasan, karya & kebaikan hati kita.
Aku menunduk. Benar juga.
Keenam, dgn berjilbab kendali ada di tangan perempuan, bukan lelaki. Perempuan itu yg berhak menentukan pria mana yg berhak & tak berhak melihatnya”.
Hadirin manggut-manggut. Yes!
Ke tujuh. Dengan berjilbab intinya wanita telah melaksanakan seleksi terhadap kandidat suaminya. Orang yg tak memiliki dasar agama yg kuat, akan enggan untuk melamar gadis berjilbab, bukan?
Aku menunduk lebih dalam.
Terakhir, berjilbab tak pernah membatasi muslimah untuk maju dlm kebaikan,” ujar Mbak Nadia. “O ya berjilbab memang bukanlah satu-satunya indikator ketakwaan, namun berjilbab merupakan sebuah realisasi amaliyah dr keimanan seorang muslimah. Makara lakukanlah semampunya. Tak perlu ada pernyataan-pernyataan negatif seperti “Kalau gue hati dulu yg dijilbabin”. Hati kan urusan Allah, tugas kita beramal saja dgn ikhlas.
Setujuuuu,” koor pengunjung.
Nah, sebagai cuilan dr ummat yg besar ini, duduk perkara jilbab bukanlah problem yg harus bikin kita berkelahi. Pakailah dgn kesadaran & jangan mengejek atau memaksa muslimah yg belum memakainya, malah kita mesti merangkul mereka. Tunjukkan ahlak kita yg indah sebagai muslimah.”
Kini semua orang bertepuk tangan.
Aku berdiri memberi applaus pada Mbak Nadia. Keren banget alasannya berjilbab. “Alasan ini Mbak, yg bisa saya terima!” teriakku. “Biasanya yg saya dengar: kita, perempuan pakai jilbab untuk menolong lelaki menjaga pandangannya. Huh parah! Sebel dengarnya! Kenapa mesti kita yg repot menjaga persepsi mereka? Nggak banget deh!” teriakku.
Gerrrrrrr, para hadirin tertawa lagi. Sebagian menunjuk-nunjuk ke arahku. Tika menarik-narik ujung baju menyuruhku kembali duduk.
Tiba-tiba, kudengar suara Mas Gagah, “Moderator & hadirin, perkenalkan, penanya ihwal jilbab ini ialah adik saya Gita Ayu Pertiwi.
Semua orang menoleh kepadaku yg masih berdiri. Aku salah tingkah. Mas Gagah tersenyum. Mbak Nadia juga. Tika nyengir. Aku makin salah tingkah.
Insya Allah sebagaimana kita semua, Gita sedang berproses menjadi pribadi yg lebih baik. Ishlah dalam setiap desah napas. Kita doakan ya semoga Allah memberi semua kebaikan, hidayahnya pada Gita… & kita semua di sini.
Aaamiiiiiin,” seru pengunjung. Suara Tika terdengar paling keras.
Mas Gagah tersenyum dr jauh. Alhamdulillah tampaknya ia tak marah padaku..
Masih mau ikut Mas nggak?” tanya Mas Gagah dikala kami berdua dlm perjalanan pulang.
Mau. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. “Kirain belum kenal sama kakaknya Tika, ternyata….Uuu, Gita mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!
Hus!” Mas Gagah tersipu, menggandengku.
Mobil kami terus berjalan, jauh sekali, melintasi entah tempat yg asing bagiku. Mas Gagah berhenti sekali di sebuah swalayan kecil. Aku mengerutkan kening melihatnya berbelanja masakan kering, mie instan beberapa kardus, buku & alat-alat tulis. Mau ke mana?
Hujan turun rintik-rintik, kemudian makin deras. Mobil kami sulit payah masuk di jalan kecil yg cuma pas untuk satu mobil. Jalan kumuh dgn rumah-rumah triplek & kardus berjejalan, di suatu kolong jembatan di tempat Jakarta Utara.
Ketika hujan sungguh-sungguh reda, gue mencium aroma sampah yg kokoh. Kami turun & segera kakiku disambut cipratan air sisa hujan yg menghitam. Beberapa anak berlarian menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah mereka sumringah.
Mas Gagah! Mas Gagah tiba! Horeeeeee!
Mas Gagah menatapku sambil tersenyum. “Kenalkan, ini adik-adik kita, Gita!
Aku ternganga.
Mataku basah dikala mereka berebutan mencium tangan kami & tak berhenti bercerita. Mas Gagah memeluk, mengajukan pertanyaan ini itu, mengajarkan beberapa hal, pula sempat bermain bareng mereka.
Belum hilang kagetku, tiga orang bertubuhbesar, sebagian bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda-kuda tatkala kemudian….
Gagah!
What? Mas Gagah & ketiga orang itu berjabat tangan lalu berangkulan sambil mengucapkan salam.
Git, kenalin: ini Bang Urip, Bang Ucok & Kang Asep.”
Aku mengangguk sambil mengernyitkan kening.
Mereka yg jaga tempat ini & melindungi bawah umur dr orang-orang jahat. Kami berkenalan enam bulan lalu & membuka rumah baca bagi anak-anak di sini….
Aku melongo. Rumah baca? Preman?
Ya, kami preman insyap hahaha,” kata salah satu di antara mereka.
Aku masih tak mengerti.
Dulu kite pernah palakin Gagah, trus kite babak belur. Nah senpai kite palak! Hehehe,” tukas Bang Urip padaku.
Lalu kulihat mereka bercerita macam-macam pada Mas Gagah.
Sudah banyak perbaikan. Yang jadi copet sudah tak ada. Yg jadi garong terlebih. Piss, Piiis, Gagah. Terimakasih bimbinganmu selama ini. Eh, yg mau ikut ngaji bertambah lagi. Itu, pimpinan preman RW sebelah,” kata Bang Ucok.
Alhamdulillah. Seru itu Bang!” kata Mas Gagah bersahabat.
Terus, anak-anak di sini jadi tambah senang baca euy. Baca melulu. Jadi kepintaran adakala! Kami teh bisa kalah atuh sama mereka,” selak Kang Asep sambil nyengir.
Mas Gagah tertawa.
Nyok kite sholat dahulu, Gah. Noh mushola kite nyang bulan lalu belum kelar, sekarang ude bagus gara-gara elo & temen-temen lo,” ujar Bang Urip.
Alhamdulillah,” senyum Mas Gagah lagi, sambil memberi petunjuktangan padaku untuk menyaksikan jauh ke depan, arah pojok kanan dr tempat kami berdiri. Sebuah mushala kecil dgn bata merah yg baru disemen.
Eh, setiap ketemu kan kite yel dahulu!” kata Bang Urip.
Lalu seperti diaba-aba, kulihat mereka semua berdiri: “Preman insaaaaap!” teriak Bang Urip.
Lalu kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip & Kang Asep melompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, berseru sarat semangat ala militer: “Huh huh huh huh: istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari sambil tertawa, menuju mushala.
Di belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil melambai-lambai mengajakku ke mushala pula. Ah, Mas Gagah…, apa lagi yg sudah ia kerjakan? Mengapa final-final ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan pelangi di dada yg sesak?


Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, gue mampir ke tempat tinggal Tika. Minta diajarkan menggunakan jilbab yg rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Nadia bahagia & beberapa kali mengucap hamdalah.
“Salam nggak, Mbak, sama Mas Gagah?” usilku.
Mbak Nadia geleng-geleng kepala, mencubit pipi ini. “Aw!” jeritku.
Dan kini saatnya memberi kejutan pada Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore gue akan mengagetkan Mas Gagah. Aku akan tiba ke kamarnya menggunakan jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan selamatan ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi gue ingin Mas Gagah yg memberikan ceramah pada acara selamatan yg insya Allah memanggil sobat-teman, anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami, serta anak-anak rumah baca & para preman insyaf di sana. Hihi, gue tersenyum membayangkan betapa serunya nanti.
“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dgn riang.
“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma?!” keluhku.
“Kan dipanggil ceramah ke Bogor. Katanya pribadi berangkat dr kampus.”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yg tak gatal. Entah kenapa gue kangen sekali dgn Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yg kupakai. Tersenyum pada Mama.


Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dlm perjalanan. Bogor kan lumayan jauh,” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah senantiasa bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum pula kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah secepatnya pulang & melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !” Telpon berdering.
Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…, kritis, Rumah Sakit Mitra,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dlm perjalanan menuju rumah sakit. Aku & Mama menangis berangkulan. Jilbab kami berair.


Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Dua orang polisi hilir mudik di sekitar kami. Salah satunya sibuk menelpon. Tampak pula beberapa kawan dekat Mas Gagah.
Beberapa suster melarang kami untuk masuk ke dlm ruangan.
“Tapi saya Gita, adiknya, Suster! Mas Gagah tentu mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada suster di depanku.
Mama merangkulku, “Sabar, Sayang, tabah.”
Di ujung ruangan Papa tampak serius mengatakan dgn dokter yg khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, Suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada selamatan Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yg menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dr kamar kaca kulihat tubuh yg biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yg manis. Mas Gagah…,” bisikku.
“Terjadi kerusuhan di Bogor. Ada ratusan orang yg ingin menghancurkan suatu rumah ibadah. Gagah melintasi kawasan itu. Ia turun dr kendaraan beroda empat & berusaha menenangkan massa,” suara seorang polisi bicara pada Papa. “Ia bahkan berdiri di depan rumah ibadah itu, melindungi mereka bersama dua orang temannya.”
“Sebenarnya massa sudah tenang, mendengar apa yg disampaikan Gagah. Bahwa Islam itu mengajarkan kedamaian & menenteng pada keamanan. Gagah bahkan bilang saatnya kita bergandeng tangan & berjabat hati untuk membangun negeri….Mereka dengan-cara bergerombolan pun beranjak pergi,” tambah salah satu sobat Mas Gagah.
“Lalu kenapa jadinya begini?” tanya Mama berlinang airmata.
“Entahlah, tatkala massa pergi, tiba-tiba kami lihat hujan kerikil, entah dr mana. Sebelum kami sadar apa yg terjadi, Gagah sudah jatuh berlumuran darah!” kata teman Mas Gagah lagi. “Kami tak lihat siapa yg melukainya!”
“Lalu massa bubar,” kata salah satu polisi. “Beberapa diantaranya melepas jubah yg mereka kenakan di jalan. Katanya mereka bukan warga desa itu. Mereka entah tiba darimana.”
“Orang yg menyakiti Mas Gagah tentu orang jahat! Jahaaaaaaat! Gilaaa!” teriakku terisak.
“Mama memelukku lagi. “Pasti, Gita. Dan Mas Gagah….Mas-mu orang baik, Gita. Ia sedang berbuat baik ketika terluka…,” tetapi airmata Mama tak kalah deras.
Aku masih menangis & memukuli dinding. Mama & Papa berupaya menenangkanku. Seorang teman Mas Gagah mengingatkan bahwa ini jalan yg mesti dilalui Mas Gagah.
“Jalan yg diseleksi Gagah yakni jalan mulia, Gita,” tuturnya. Jalan yg sungguh mulia. Kami bersaksi!”
“Mana tersangkanya, Pak? Mana? Biar ia rasakan pula apa yg dinikmati Gagah kini! Manaaaa?” Suara seseorang, parau!
Aku menoleh. Bang Ucok dr pemukiman kumal itu!
Seorang polisi menghampirinya, “Tenang, maaf…kami belum mendapatkan tersangkanya. Kami berjanji akan mengusut tuntas masalah ini.”
Tiba-tiba kulihat di belakang Bang Ucok, Bang Urip & Kang Asep tergopoh-gopoh. Mata mereka basah & merah. Wajah mereka kaku, penuh bias kehilangan yg dalam.
“Harusnya kite bertige ade di sono! Harusnya kite bertige ade di sono, ya Allaaah!” suara Bang Urip. “Gagah orang nyang paling baek, Bapak, Ibu. ia nyang paling peduli ama kami yg dianggap sampah masyarakat. ia deketin kami terus lagi suseh apalagi seneng. Kagak pernah ade unsur politiknye kayak orang-orang laen,” ujar Bang Urip menghampiri Mama & Papa.
“Gagah mah udah bikin kami jadi lebih pede, lebih memiliki arti, ngerti habluminallah habluminannaas,” tambah Kang Asep.
Mama Papa memandang mereka haru.
Aku masih terisak di sudut ruangan. Geram. Marah. Pedih. Gelisah. Sampai kulihat Tika & Mbak Nadia datang. Setelah mengucapkan simpati pada Mama & Papa, mereka menghampiri, berupaya menenangkan & menghiburku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU mulai sepi. Tinggal kami, seorang bapak paruh baya yg menunggui anaknya yg pula dlm kondisi kritis, Tika, Mbak Nadia, serta beberapa sahabat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip & Kang Asep. Aku sudah lebih tenang, berzikir & terus berdoa, dibimbing Mbak Nadia. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah, Gita, Mama & Papa butuh Mas Gagah, ummat juga.”
Tak usang dokter Joko yg menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar & memanggil nama Ibu, bapak, & Gi….”
“Gita…,” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yg ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir Dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai… jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yg berair kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Zikir, Mas,” suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yg separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi…ta….”
Kudengar bunyi Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas. Semua ada di sini. Mama, Papa, Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep, Mbak Nadia, Tika, yg lain juga….
Perlahan kelopak matanya terbuka. Aku tersenyum.
“Gita udah pakai jilbab,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dahulu, Mas,” ujarku pelan tatkala kulihat ia berusaha lagi untuk menyampaikan sesuatu.
Mama & Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih gue keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak usang gue bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter menyampaikan Mas Gagah nampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian usang kurasakan tubuh Mas Gagah makin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih terlihat bergerak. Tampaknya ia pula masih bisa mendengar apa yg kami katakan meski cuma bisa membalasnya dgn senyuman & isyarat mata.
Kuusap setitik lagi airmata yg jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak, Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sungguh mengharapkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti yg dikatakan Mbak Nadia, gue pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu lebih tahu apa yg terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” bunyi Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi parasnya.
Aku memeluk tubuh yg terbujur kaku & dingin itu kokoh-kuat. Mama & Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela ia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah!

Buat adikku manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yg berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
yang senantiasa mengedepankan nurani
Agar Allah senantiasa besertamu.
Ingat Islam itu indah…
Islam itu cinta…
Kalau kau tak setuju pada suatu kebaikan,
yang mungkin belum kau pahami,
kau selalu bisa menghargainya…
Sun Sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Rok & blus panjang, serta jilbab hijau muda, manis sekali. Ah, ternyata Mas Gagah sudah menyiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yg kini lengang. Aku rindu panggilan Dik Manis, Aku rindu bunyi nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu bunyi merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yg selamanya tiada kudengar lagi. Hanya gambar-gambar kaligrafi di dinding kamar yg menatapku. Puisi-puisi Iqbal perihal perjaka yg seolah bergema di ruang ini.
Lalu wajah adik-adik di kolong jembatan berlintasan, wajah Bang Ucok, Bang Urip, kang Asep…, Mbak Nadia, doa-doa buat negeri & ummat yg senantiasa ia panjatkan….
Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu mesti ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya dikit!”
“Ganteng kan?”
“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong! Jihad itu ananda sungguh-sungguh berbuat baik…”
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah… 

 II
Setahun kemudian…
Pagi itu gue kembali berlari-lari mengejar-ngejar bus jurusan Pulo Gadung-Depok dgn seragam putih debu-bubuk.
Ya, semenjak kami sekeluarga pindah dr Pasar Minggu ke Rawamangun, perjalananku menuju Sekolah Menengan Atas Cendana jadi lebih lama. Bukan itu saja, gue yg sudah biasa berjalan kaki ke sekolah kini mesti berdesak-desakan dlm bus, menahan tabah dikala macet, menyimak sumpah serapah kondektur bus pada beberapa mahasiswa yg senantiasa dikiranya karyawan, & tiba di sekolah dgn perut mual serta kepala pening akibat supir yg ugal-ugalan & suka mengerem mobilnya dengan-cara mendadak.
“Kamu nggak mau dikirim saja, Gita? Capek loh di jalan. Apalagi ananda sudah kelas III,” tanya Mama.
Aku menggeleng. Sejak Mas Gagah meninggal, entah kenapa gue tak pernah mau naik sedan itu lagi. Hal yg akan semakin mengingatkanku pada masa-masa bersamanya….Lagi pula macet yg dahsyat selalu membuatku merasa lebih baik naik kendaraan lazim.
Jadi begitulah, gue selalu berangkat lebih pagi. Jam setengah enam gue sudah berada dlm bus & semua jadi lebih menyenangkan. Udara yg segar, jalanan lengang, Sopir & kondektur yg belum stress, serta kursi-kursi yg belum semuanya terisi.
“Asalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh! Salam sejahtera!”
Aku melihat ke depan. Para penumpang lain pula melaksanakan hal yg sama tanpa menjawab salamnya. Pengamen atau mau minta sumbangan nih?
Kulihat lelaki dgn kemeja kotak-kotak cokelat & celana panjang krim. Ia menyandang tas hitam. Tak ada gitar atau kotak amal di tangannya. So, mau ngapainnih orang?
Aku melengos.
“Maaf bila kedatangan saya mengganggu ketentraman bapak Ibu & kerabat-saudara. Tetapi ijinkanlah saya menunaikan keharusan selaku hamba yg sudah diberikan setitik ilmu oleh Allah SWT, yg pastinya harus disampaikan setelah diamalkan.”
Lalu tiba-tiba saja ia mengucapkan basmallah, hamdalah…, serta syahadat. Lalu dilanjutkannya dgn ayat Al-Qur’an & hadis. Kayak orang yg mau ceramah saja! Tetapi … gue tergetar. Suaranya merdu.
“Saudara-saudaraku, Bapak-bapak & Ibu-Ibu…, sudahkah anda membaca koran pagi ini?” sapanya.
Tak ada yg menjawab. Lelaki itu tersenyum. Aku jengah. Tak habis pikir…, mau ngapain sih orang ini? Kutatap wajah & sosoknya. Hampir tak berbeda dgn para mahasiswa pada biasanya. Tinggi, kurus, hitam berambut agak ikal & berkacamata minus. Yaa tidak mengecewakan manis deh….
“Mengapa banyak orang di negeri kita menjadi koruptor? Apa yg bergotong-royong terjadi? Tidakkah kita malu, sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita malah mendapat ranking tertinggi dlm korupsi? Bagaimana cara mencegahnya?”
Aku mulai terperangah. Orang-orang di dlm bus mulai menertibkan duduk mereka lagi, mencari posisi yg lebih tenteram untuk…ini dia… mendengarkan lelaki aneh itu! Apalagi yg mau ia katakan?
Lelaki itu terus bicara. Dan lama-usang para penghuni bus, tergolong gue larut mendengar omongannya. Seorang bapak yg sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku, kini duduk tegak dgn kening berkerut. Seorang mahasiswi yg duduk tak jauh di hadapanku terlihat memiringkan kepala & memicingkan matanya. Dua cowok berambut gondrong yg baru saja bertujuan mengamen segera mengurungkan niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa menagih ongkos!
Wah, lelaki ini bikin semua terkesima!
“Berapa banyak orang miskin kian miskin alasannya adalah sikap korupsi kecil-kecilan maupun besar. Bermula dr diri kita, keluarga & sekitar, mari kita berjuang untuk menjadi pribadi yg lebih jujur, & berahlak mulia. Makara kesimpulannya, Islam itu indah, tetapi kita selaku umat Islam, seringkali menjadikannya terlihat buruk. Kalau kita orang Islam, wajib malu dgn stigma korupsi yg menempel di negeri ini. Kebenaran itu mutlak milik Allah, & bila ada kesalahan maka itu semata alasannya adalah kekhilafan saya. Billahi fisabililhaq. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa’alaikum salaaaaaaammm!”
Kudengar hampir seluruh penumpang bus menjawab salamnya diiringi dgn tepukan tangan.
“Minggu! Minggu! Minggu!” teriak kondektur.
Aku bergegas turun. Di depanku, lelaki orator itu telah melompat lebih dahulu & segera hilang ditelan keramaian.
“Tadinya saya kira ia mahasiswa gila. Nggak tahunya anak cerdas berbudi! Hebat dia!” seru seorang bapak yg sempat kudengar.


Jam 06.00. Aku gres saja membuka buku sosiologiku sambil menikmati semilir angin pagi tatkala sebuah salam menyapa seluruh penumpang bus yg masih terlihat terkantuk-kantuk….
Lelaki itu lagi! Kali ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak hijau & menyandang ransel.
“Maaf, saya mengusik perjalanan Anda semua,” katanya tersenyum. “Sesungguhnya orang yg ‘laisa minal khoisirin’ atau bukan tergolong orang-orang yg merugi yaitu mereka yg senantiasa nasehat-menasehati dlm kondisi apa pun.”
Kututup buku sosiologiku. Penasaran.
“Ibnu Umar pernah berkata: “Aku datang pada Nabi SAW, maka bertanyalah seorang laki-laki Anshor: Ya Rasulullah, siapakah orang yg paling bijaksana & paling mulia?” Maka Nabi Saw menjawab: “Orang-orang yg paling banyak mengenang mati & gigih berusaha untuk persiapan menghadapi mati, merekalah orang-orang yg bijaksana sehingga mereka itu nantinya pergi dgn menjinjing kemuliaan dunia & keistimewaan akhirat,” demikian hadist riwayat Ibnu Majah. Maka kembali pada diri kita, sudahkah kita siap menghadapi kematian yg tentu datang? Dalam Al-Qur’an dibilang kita tak akan bisa lari daripadanya. Bahkan saudaraku, bisakah kita menjamin bahwa esok kelak kala matahari terbit kita masih hidup?”
Hening. Yang terdengar cuma deru kendaraan beroda empat & bunyi teriakan kondektur bus. Aku tergetar. Ah, mati. Mengapa lelaki ini bicara soal mati? Hal yg sudah usang tak lagi kupikirkan sejak Mas Gagah pergi….
Lelaki itu terus bicara. Suaranya yg keras bersaing dgn deru bus & hingar bingar jalan raya. Tapi ia seolah tak peduli. Kini kutangkap ketulusan, pula semangat yg menyala-nyala dlm dirinya.
“Minggu! Minggu!”
Setelah berpamitan pada semua penumpang, mirip biasa ia turun. Sebelumnya kudengar bunyi seorang Ibu. “Saya kira anak tadi ceramah terus minta duit…, nyatanya kok enggak ya, padahal saya sudah siapin!” katanya tak mengetahui sambil memasukkan kembali selembar ribuan ke dlm tasnya. Beberapa kepala yg lain manggut-manggut.
Upss! Mestinya gue turun pula di Pasar Minggu. Yaaa, kelewatan deh! Habis, lelaki itu hari ini membuatku harus mengusap airmata. Mati. Kata-kata itu terngiang terus setelah gue sampai di sekolah!


“Memangnya orang itu ngapain? Iseng banget?” tanya Tri sahabat sekelasku, di kantin sekolah.
“Ya ceramah!” kataku sewot. Dari tadi gue sudah ramai kisah….eee Tri malah telmi!
“Orang kan ceramah di masjid, di mushala. Masak di bus!? Terus penumpang dimintain duit berapa?” tanyanya sambil meminum teh botolku.
“Kan tadi udah gue ceritain, ia nggak pernah minta duiiit!” bibirku maju beberapa senti, & tanganku merebut kembali teh botolku tepat sebelum Tri menghabiskannya.
“Jangan murka dong, Non. Kayaknya ananda kesengsem sama cowok tak bernama itu ya?” Tri cengar-cengir. “Memangnya ia keren? Seperti siapa? Seperti Nicholas Saputra, Dude Herlino? Atau seganteng almarhum Mas Gagah?”
Aku mempesona napas panjang. Tri…Tri….
“Maaf Gita, maaf…aku nggak bertujuan mengingatkanmu pada almarhum…,” tukas Tri seperti mengerti pikiranku.
“Assalaamu’alaikum!”
Aku menoleh. Tika!
“Kalian berdua tak ikut rapat rohis? Hari ini ada beberapa program yg akan kita bicarakan lho,” kata Tika sambil duduk di sampingku.
“Oh iya, Tik! Aku malah ada ajuan yel untuk rohis gres kita!” seruku mirip ingat sesuatu. Wajah Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep & Mas Gagah melintas di hadapanku.
“Oh ya?” wajah Tika berseri. “Seperti apa yel-nya? Teman kita yg lelaki pula belum mampu tuh yel rohis.”
Tri pun menatapku ingin tahu.
Aku melihat sekeliling. Sudah tidak mengecewakan sepi. Saatnya beraksi. “Nih, kayak gini nih yel -nya!” Aku berdiri tegak menghadap mereka, kemudian berteriak keras , “Rohis Cendana!” Setelah itu gue melompat lompat sambil mengepalkan tangan ke atas: Huh huh huh huh: Istiqomah!”
Tika & Tri memandangku asing.
“Itu tadi apaan, Git?” Tanya Tika.
Ah, mereka memang tak tahu yel keren. Sangat tak apresiatif. Mereka malah geleng-geleng kepala.
“Dasar kelakuan! Dah pakai jilbab, masih aja preman!” seru Tri padaku.
Tika tergelak.
O…o!
Hari itu, pulang sekolah, Tri mengajakku & Tika mampir ke rumahnya di Depok I. Sambil menyelesaikan paper Sosiologi, kami melanjutkan dialog tentang “makhluk asing dlm bus itu”. Tapi sepertinya Tri lebih terpesona membahas Bob, anak basket idola cewek-cewek Cendana.
Akhirnya tak usang gue pulang. Kali ini naik kereta Jabotabek. Aku biasa turun di Cikini & dgn menyambung sekali kendaraan sudah bisa sampai di rumah.
Kereta melaju & bergoyang-goyang. Aku menyelusuri gerbong demi gerbong, mencari tempat yg agak nyaman. Seperti biasa angkutan rakyat ini sungguh-sungguh berjubel. Semua jenis manusia dgn beragam profesi ada di sini. Mahasiswa, penjualasongan, dosen, karyawan, karyawati, pengangguran, pencopet, & tentu saja… para pengemis yg selalu ‘menyemarakkan suasana’!
Bau keringat, busuk sampah. Suara makian, batuk. Lalu ludah & dahak yg dibuang sembarang pilih, tangisan bayi, kerincingan para pengamen….
Sampai di gerbong ke empat…ya ampun! Aku terkejut sekali! Si Mas Kotak-kotak (kemejanya senantiasa kotak-kotak) itu ada di situ! Dan mirip biasa, ia sedang ceramah!
Suaranya di ujung gerbong tak begitu terdengar dr tempatku berdiri kini. Aku maju mendekat. Kebetulan ada kursi kosong tak jauh di depan Si Kotak-kotak. Dan dgn cueknya gue duduk. Sungguh, gue ingin mendengar apa yg dikatakannya.
“Jadi untuk apa kita hidup? Sebagai muslim, kita mesti punya jawaban pasti untuk pertanyaan tadi,” katanya.
“Hidup ya untuk makan, menikah & bayarin sekolah anak-anak!” kata seorang bapak tua bergigi ompong, pedagang jambu yg duduk di dekat pintu, disambut gerrr yg lain & gemuruh suara kereta.
Si Kotak-kotak Merah Hati tersenyum.
“Hidup itu ya untuk berupaya…,” kataku tiba-tiba dgn suara keras.
“Ya, adik betul! Berusaha untuk senantiasa mengabdi kepadaNya. Di surat Adz-Dzariyat ayat 56 Allah bersabda: Tidaklah Aku ciptakan jin & insan melainkan untuk beribadah, mengabdi kepadaKu!”
Aku menunduk. Kena lagi gua!


Entah apa namanya. Kebetulan barangkali. Tetapi hari terus berlalu & hampir setiap hari gue berjumpa dgn lelaki tak berjulukan yg selalu memakai kemeja kotak-kotak itu. Di bus, dlm kereta… bahkan yg bikin gue heran bukan kepalang, gue pernah bertemu dengannya kala tak sengaja menyusuri rumah-rumah triplek di sepanjang kali Ciliwung! Pernah pula di Tanah Abang, lalu di Pekan Raya Jakarta saat aku, Mama, & Papa ke sana! Kebayang nggak sih? Di PRJ ia ceramah ini sambil menggelar buku-buku agama.
“Buku ini berapa, Nak?” tanya seorang bapak tua berbaju lusuh bersandal jepit sambil memegang buku ihwal sholat tersebut.
“Mengapa Bapak menentukan buku itu?”
Si Bapak tersenyum malu. “Saya ingin menjaga shalat saya. Selama ini belum benar.”
“Ambillah, Pak. Semoga berguna. Saya berikan untuk Bapak.”
Si Bapak terkesima. Langsung mendekap buku tebal karangan Al-Ghazali itu dgn haru.
“Sekarang boleh saya meminta buku perihal warisan ini?” tanya seorang Ibu berpakaian bagus. Wow, silau pula gue memandang perhiasannya.
“Silakan Ibu letakkan duit infaqnya di kaleng ini seikhlas Ibu. Insya Allah untuk disalurkan pada orang yg berhak menerimanya,” seru Si Kotak-kotak.
Begitulah. Di mana ia berada di sana selalu banyak yg memperhatikannya. Wajar. Habis yg diangkat menjadi bahan pembicaraan selalu yg menawan, seru, kasatmata & hebat. Belum lagi manuvernya.
Lelaki berkemeja kotak-kotak itu pula sangat unpredictable dan berani. Pernah kami sama-sama di dlm miniarta yg padat. Hampir tak ada celah, sesak sekali. Ia bahkan tak menyampaikan tausiyahnya mirip biasa. Tiba-tiba saja terjadi keributan. Dalam gerak cepat kulihat lelaki itu mencengkeram tangan seorang cowok berbaju rapi.
“Kembalikan handphone ibu itu!” katanya tegas, pada pemuda tersebut, sambil memegang tangan si perjaka yg mencoba menyembunyikan sebuah ponsel.
Para penumpang eksklusif ribut & berteriak-teriak, “Copeeet! Copeet! Gebukin aja, Bang! Habisin! Habisin!” beberapa perjaka mencoba merangsek maju seakan ingin membantu Si Kotak-kotak!
“Tahan!” teriak Si Kotak-kotak. “Bu, ini hape ibu. Lain kali hati-hati,” ujarnya.
Si Ibu yg diajak ngomong termenung. “Lah kapan diambilnya?” gerutunya sambil mendapatkan benda itu kembali. “Nah iya ini hape saya! Dasar copet!”
Beberapa orang mendekati si pencopet, sepertinya ingin menghakimi. Lalu tiba-tiba suatu pukulan mendarat di wajah pencopet itu!
“Tahan, Bang! Tahan!” teriak si Kotak-kotak lagi. “Pak Sopir, berhenti, Pak!”
Saat miniarta berhenti Lelaki itu menarik si pencopet turun. “Kamu mesti bertanggungjawab,” katanya.
Beberapa lelaki ikut turun.
Miniarta lalu melaju. Dari kaca belakang miniarta kulihat Si Kemeja kotak-kota berupaya menghalangi amuk beberapa pemuda. Ia merangkul pencopet itu & mengajaknya entah kemana.
Semoga insyaf tuh orang, pikirku. Syukur saja tak jadi bulan-bulanan.
Soal Si Kotak-kotak, terus terang gue makin ingin tau pada pribadinya. Siapa dia? Siapa orangtuanya? Kuliahkah, pengangguran atau sudah melakukan pekerjaan ? Di mana rumahnya? Dan kenapa ia seakan sungguh mirip dgn seseorang yg dekat denganku?
Pertanyaan itu belum pula terjawab hingga gue diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI!


“Palestina masih terus berjuang untuk kemerdekaan mereka. Di negeri itu, semua yg menentang penjajahan disebut teroris, bahkan bocah-bocah yg membawa batu melempari prajurit Israel. Dan dunia membisu. Mengapa? Karena korbannya muslim? Jadi berapa pun yg tewas tak ada yg peduli? PBB cuma mengaku bersimpati. Amerika cuma jago menghimbau, sementara negeri-negeri Islam berpecah belah. Wahai kaum muslimin Indonesia, dimanakah kalian? Tidakkah kita sempat untuk sekadar mendoakan mereka?”
Ramadhan, jelang berbuka puasa. Di dlm kereta api Jabotabek dr kampus menuju Cikini, kulihat airmata mengambang di pelupuk mata lelaki tak berjulukan itu. Ia masih mirip dahulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat yg tak surut sedikit pun. Bahkan pada dikala puasa begini ia membuatku ingin menangis.
“Ramadhan mirip apakah yg dilalui saudara-saudara kita di Palestina? Tahukah Anda, pada Ramadhan mulia ini kebiadaban & kekejian terus digelar di sana? Apa yg terjadi melampaui peristiwa Nazi. Para bocah kehilangan tangan & kaki, para cowok & wanita pula dibantai, rumah-rumah mereka dirobohkan & tanah mereka dirampas, sementara kita di sini masih tertawa-tawa tak percaya.”
“Darimana ananda tahu serdadu Israel lebih kejam dr Nazi?” kejar seorang bapak—tampaknya dosen—dingin.
Si Kotak-kotak mengeluarkan aneka macam kliping surat kabar & majalah, lengkap dgn foto-foto yg sudah diperbesar. “Lihatlah sendiri. Saya mengumpulkannya dr aneka macam majalah internasional. Silakan anda lihat! Pertanyaan saya cuma satu. Adakah ukhuwah Islamiyah yg masih tersisa di dada kita? Bahkan kita kalah reaktif dgn rakyat Amerika Serikat yg bila ada satu saja warga negaranya tewas di Irak atau hilang di Indonesia, pemberitaan begitu gencar & simpati dunia secepatnya mengalir. Tapi ribuan kerabat kita dibantai kita bahkan tak mengetahuinya….”
“Kenapa kita harus mempertimbangkan Palestina? Jauh amat. Pikirin yg dekat-dekat saja dahulu. Nih negeri kita yg kian miskin & kacau…,” nada sinis seorang pemuda gondrong. “Palestina dipikirin. Kayak nggak ada kerjaan….”
Lelaki berkemeja kota-kotak itu menghampiri si Pemuda. “Abang betul,” katanya. “Prioritas kita yaitu kerabat-saudara kita satu bangsa, satu tanah air. Satu daerah, satu RT, pera tetangga kita! Kita tak boleh mengabaikan mereka. Apa yg bisa kita lakukan untuk merenggangkan beban kerabat-kerabat kita di sini, mesti disegerakan, alasannya adalah ada hak-hak atas mereka dlm diri kita yg harus ditunaikan.”
Si Gondrong menatapnya tajam.
“Tetapi Islam mengajarkan kita, untuk berbuat optimal. Di mana pun kita berada, itu adalah bumi Allah, termasuk Palestina. Di sana sedang terjadi penjajahan biadab puluhan tahun. Kita tak usah bicara Islam, bicara nilai-nilai kemanusiaan yg Abang anggap lebih universal. Apakah kita akan menjadi bangsa yg bungkam atas nasib bangsa lainnya? Bukankah Indonesia ialah negeri yg tak pernah mentolerir penjajahan? Lagi pula, dengan-cara historis, ada warisan Islam, Masjid Al Quds, tempat Nabi Muhammad SAW Isra-mi”raj yg sedang terancam hancur. Siapa yg akan peduli? Lalu alasannya argumentasi Indonesia belum makmur, kita tak boleh menengok nasib mereka? Sekadar mendoakan dr jauh pun tidak ingin? Lihat, dlm kesengsaraan mereka warga Palestina masih setia menolong kita setiap kali negeri kita dilanda bencana. Dan itu mereka kerjakan semenjak sebelum kita merdeka dulu!”
Si Gondrong membisu, mengusap-usap pipinya.
“Ya, adik benar,” suara orang yg tadi kuduga dosen.
Aku mengusap mataku yg mulai berembun. Kulihat beberapa orang di sekitarku pula tampak seperti disentakkan & terenyuh.
“Saya ingin menyumbang…,” kata seseorang. “Bisa melalui adik?”
“Tidak. Tapi pergilah ke yayasan-yayasan Islam atau Bulan Sabit Merah Indonesia. Alhamdulillah, Allah menggerakkan hati Bapak.”
Kereta terus melaju. Berguncang-guncang. Melonjak keras. Seperti hatiku, setiap kali mendengar kata-kata lelaki tak bernama itu.
“Oh ya, ini memang tak seberapa, tetapi lumayan untuk berbuka puasa,” sekitar lima menit sebelum adzan lelaki itu membagi-bagikan kurma pada para penghuni gerbong yg mulai resah mencari-cari kuliner.
“Silakan, Dik,” ungkapnya ramah padaku yg terbengong-melamun.
Ada sih orang kayak gini?!


Aku sering berjumpa Si Kotak-kotak itu hingga gue lulus SMA & diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI. Beberapa kali kutemukan ia tengah berada di UI. Apa ia pula kuliah di sini? Aku tak bisa memastikannya. UI terlalu luas. Bahkan fakultas satu dgn yg lain berjarak cukup jauh & biasanya di tempuh dgn bis kuning, meski masih satu lingkungan. Dan mahasiswanya…, banyak sekali. Aku sendiri memasuki tingkat dua menetapkan untuk kos. Capek pula pulang balik naik bus atau kereta tiap hari.
Akhir semester kemudian, gue masih ingat. Hari itu gue gres pulang cobaan & bermaksud mampir di Kantin Kukusan, dekat tempat kos –untuk membeli nasi bungkus. Tiba-tiba kudengar bunyi seseorang. Suara yg keras, tegas, berwibawa & yummy didengar. Begitu kukenal. Ah, kutepiskan pikiranku & masuk ke dlm kantin. Di depan pintu gue terpaku.
Belasan orang duduk tak teratur menghadap seseorang yg berdiri di sudut ruangan. Si Mas Kotak-kotak tak bernama itu! Dan di sekitarnya… ya ampun, cowok semua! Kecuali pramusaji rumah makan yg pula sedang terbengong-melamun! Kutarik napas panjang, dasar nasib, udah tahu markas cowok teknik, nekat juga. Ya, cueklah! Namanya pula orang lapar!
“Namanya Dr. Alexis Carrel. Ia peraih Nobel dlm bidang kedokteran tahun 1912, & direktur riset Rockfeller Foundation. Hasil penelitiannya mengambarkan bahwa berdoa dapat menjadi sumber aktivitas terbesar bagi anggota tubuh kita. Sebagai dokter, ia menyaksikan kebiasaan berdoa bagaikan tambang radium yg menyalurkan sinar & melahirkan kekuatan diri.”
“O ya? Begitu ya, Bang?” tanya seorang cowok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya diiringi decak kagum.
Aku masih terpaku di pintu.
“Eh, nasinya keburu dingin nanti! Ayo kita makan. Rasulullah saja tak pernah membiarkan makanan menanti lho!” ujar si kotak-kotak memecahkan suasana yg sesaat hening.
“Eh iya, Bang…memang sudah lapar kali ni,” ujar seseorang yg sempurna berada di depan si kotak-kotak dlm dialek Sumatera Utara.
“Tapi jangan lupa, setiap kali kita bisa menjumpai makanan, selain bersyukur, kita pula mesti ingat kerabat-kerabat kita yg dhuafa di negeri ini…”
“Waaaah tak bisa makan gue nanti, Bang,” seru si logat Sumatera Utara tadi.
“Para tetangga terdekat kita…,” Si Kotak-kotak tersenyum. “Jangan hingga kita makan, mereka tak makan….”
“Makin tak bisa makanlah, Bang…,” lelaki di depan si Kotak-kotak itu kebingungan sendiri. Cengengesan.
Si Kotak-kotak tertawa. Dipegangnya pundak orang itu erat, “Kita pula harus makan, Dik. Sebab Allah lebih menyukai muslim yg kuat daripada yg lemah,” kata lelaki tak berjulukan itu bijak. Dengan tubuh yg sehat, kemungkinan kita menolong mereka lebih besar bukan?”
Hening. Aku tercengang lagi. Wong cowok-cowok kantin di sini biasa senengnya godain kita-kita sambil main gitar, terus kini memasang mimik sedih?
“Mbak, nasi sama semur dagingnya!” teriakku dr depan pintu. Maklum, perut sudah melilit… ee si mbaknya asyik senyam-senyum sambil memandang Si Mas Kotak-kotak.
“Mbaaaaak!” teriakku. “Nasi sama semur daging!”
Kontan semua memandangku, tergolong Si Kotak-kotak.
Aku tergagap. Masuk secara perlahan-lahan. Segera mengambil nasi bungkusku & berlari. Salah sendiri masuk ke sangkar macan, weeeeee!


“Apaan, Mbak?” ulang si pelayan kantin Kukusan dgn bunyi keras.
“Ssssssst, jangan teriak gitu dong! Saya cuma mau nanya. Mas yg kemarin makan di sini, yg pakai baju kotak-kotak ungu muda itu namanya siapa?”
“Yang ceramah? Yang bikin kantin saya laris?”
Aku mengangguk cepat.
“Wah, saya pula ndak tahu tuh, Mbak. ia jarang kok makan di sini? Memangnya kenapa sih? Situ naksir, ya?” berondongnya.
Aku menghela napas & secepatnya berlalu.
“Sama dong, Mbak! Kita pula naksir!” teriak si pramusaji itu. “Saingan ni yeee!”
Aku cemberut. Ember tuh orang! Siapa yg naksir? Emangnya kita cewek apaan. Sewot betul saya! Aku kan cuma ingin tau! Bayangkan! Sudah lama gue menyaksikan Si kotak-kotak itu berkeliaran…bahkan namanya saja gue tak tahu! Wajar dong penasaran!


Sekian lama gue tak bertemu Si Mas Kotak-kotak. Kebetulan gue pula sibuk di kampus, apalagi teman-sahabat di Forum Amal & Studi Islam (FORMASI) betul-betul melibatkanku dlm banyak kegiatan. Aku sendiri baru ikut kegiatan itu setahun kemudian. Apa ya, motivasinya? Yaaa, pengen jadi orang yg lebih baik aja… sekaligus ingin lebih dlm lagi mengenal Islam & umatnya di bumi ini seperti… Mas Gagah dan…lelaki tak bernama itu. Ah, jujur. Secara tak eksklusif, setelah Mas Gagah tiada, semangat untuk mencar ilmu Islam memang kembali kudapat dr dia. Orang yg tak kukenal sama sekali!
“Gita, jangan lupa lho…, total duit yg kuberikan padamu tiga juta rupiah. Lalu dua puluh kardus mie instan, lima kardus baju bekas & tiga karung beras!” suara Tutut , sahabatku di jurusan, mengagetkanku.
“Iya, kondusif!” Seruku sekenanya.
“Sip!” Tutut tersenyum & berlari meninggalkanku.
Lelaki kotak-kotak tak bernama itu kini ada di mana ya? Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan padanya. Aku jadi ingat Tutut pernah kisah ada seorang sahabat kakaknya yg sejak Sekolah Menengah Pertama & SMA menjuarai aneka macam kontes pidato hingga lomba debat tingkat nasional. Sekarang ia sering menunjukkan ceramah dimana-mana bahkan tanpa dibayar & dipinta.
“Tempatnya pula nggak lazim. Di bus, kereta, restoran, panti-panti, nggak jelas deh. Tapi orangnya tulus & rendah hati sekali.”
“Namanya, Tut? Terus kuliahnya di mana? ia suka pakai baju kotak-kotak ya?”
Tutut mengernyitkan dahi. “Ada apa nih?” tanyanya nyengir. “Ayo, berhati-hatilah dgn hatimu…,” katanya waktu itu sambil melirik sarat arti & menghentikan keterangan.
Yaaa, penonton kan kecewa. Tapi Tutut benar. Kenapa sih gue terlalu ingin tahu dgn sosok misterius itu? Apakah karena sosok itu mengingatkanku pada…Mas Gagah?
“Gita, ayo berangkat! Panggilin sobat-teman yg lain!” teriak Eki & beberapa kawan membuyarkan lamunanku.
Yap. Aku mengangguk & segera berkemas.
Tak lama gue & belum dewasa FORMASI sudah menuju tempat Tanah Tinggi untuk menunjukkan dukungan bagi korban kebakaran besar di sana.
Setelah hingga, kami semua dgn mengenakan jaket kuning segera mengeluarkan barang santunan & disambut oleh beberapa pemuka warga dgn haru. Tangisku hampir pecah menyaksikan bayi & balita tidur beralaskan tikar di atas reruntuhan rumah mereka yg terbakar.
“Warga yg lain kemana, Pak?” tanya Eki heran.
Aku menyaksikan sekeliling. Kok sepi ya….
“Iya nih, lagi pada ngaji di bedeng. Ayo deh Bapak antar ke sana,” kata seorang bapak ramah.
Kami semua berjalan menuju suatu bedeng triplek yg terkesan dibangun asal jadi.
“Ayo, masuk, Nak!”
Di dlm bedeng sekitar seratus orang lebih sedang mendengarkan ceramah. Aku duduk perlahan, memandang ke depan dgn persepsi tak percaya.
“Jadi bencana alam bisa jadi yaitu cobaan dr Allah atas keimanan kita. Di dlm hadis dibilang bahwa bila ada seseorang yg kena bencana alam, walau cuma tertusuk oleh duri, niscaya dosanya akan dikurangi oleh Allah.”
Lelaki dgn kemeja kotak-kotak itu terus bicara. Wajahnya teduh. Ya Allah, kenapa orang ini senantiasa bersegera dlm kebajikan? Kenapa ia selalu hadir lebih dulu? Kenapa ia begitu menyerupai? Wajahnya tak seganteng Mas Gagah. Bukan wajah yg ibarat…mungkin perangai…atau….
“Rasulullah Saw berkata bahwa kefakiran itu dekat dgn kekufuran. Karena itu meski kita miskin harta, hendaknya tetap kaya keyakinan. Jangan sampai sudah kita miskin di dunia, banyak berbuat maksiat pula, hingga kelak gulung tikar di darul baka. Na’udzubillahi min dzalik.
Kulihat para warga serius mendengar. Sesekali mereka mengangguk-angguk.
“Demikian dulu dr saya. Saya mohon maaf bila ada kata yg salah. Sesungguhnya kebenaran itu dr & milik Allah semata. Semoga Allah senantiasa meneguhkan hati & persaudaraan kita. Marilah kita saling mendoakan.”
Usai mengucap doa & salam lelaki itu bangun.
“Tunggu! Siapakah nama anak? Saya pula ingin mendoakan anak…,” kata seorang Ibu bau tanah tiba-tiba.
Aku tersentak. Ya, siapakah namamu?
Lelaki itu tersenyum. “Nama saya Abdullah, Bu. Saya bukan siapa-siapa & saya pun akan mendoakan semua yg ada di sini. Assalamu’alaikum.
Pemuda itu pun bergegas pergi setelah bersalaman dgn beberapa pemuka warga.
“Baiklah, kini kita kedatangan adik-adik dr UI,” kata seorang bapak berpeci. Tepuk tangan kembali bergema mengiringi kedatangan Eki & mitra-kawan FORMASI di hadapan warga.
Tetapi mataku tertuju keluar. Memandang lelaki itu hingga ia berubah menjadi titik kecil & menghilang di kejauhan.
Abdullah? Betulkah itu namanya? Mas Gagah-ku yg timbul kembali?


Senja ini, gue memang berniat pulang ke rumah. Kangen sama Mama Papa. Di stasiun UI gue bersungut-sungut. Kereta api Jabotabek yg semenjak tadi kutunggu, tak muncul juga. Eeeh, setelah satu jam menanti akhirnya terdengar pengumuman: KRL tak dapat beroperasi alasannya listrik mati! Geregetan. Kontan aja gue putar arah. Jalan kaki ke Kober kemudian menyambung naik bus.
Baru saja gue menginjakkan kaki ke atas bus, kulihat Si Mas Kotak-kotak duduk tepat di paling depan. Kuedarkan persepsi ke sekeliling mencari bangku kosong. Sia-sia. Penuh semua!
“Silakan, Dik!” bunyi Si Kotak-kotak!
“Makasih, Mas Abdullah.” Ups, gue kelepasan! Sok erat banget. Sepintas kulihat ia mengerutkan kening.
O…o!
Aku menanti-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia terlihat tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung karena Pak Sopir kerap mengerem mendadak. Sampai di Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya. Dan kemudian mirip hari-hari kemarin kudengar & kucermati kata-katanya.
Fii ahsani taqwim. Artinya Allah membuat kita dgn sebaik-baik bentuk. Anda merasa pesek, jereng, tonggos, jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak perlu demikian. Percayalah anda harus tetap bersyukur alasannya itu sebaik-baik bentuk Anda. Amalan anda yg akan bikin Anda lebih tampan & manis, khususnya di hadapanNya. Dan sebaik baik insan di segi Allah yaitu yg paling bertakwa. Makara sudahkah kita bersyukur atas eksistensi kita hari ini?”
Orang-orang di bus memandang lelaki ini serius sambil manggut-manggut, beberapa cengengesan. Aku juga. Lelaki itu terus bicara diiringi deru kendaraan.
“Mari sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu lagi. Cobalah memandang sesuatu tak cuma dr sudut pandang Anda, tetapi dr sudut pandang orang lain & Tuhan.”
“Sudut pandang Tuhan mirip apa itu?” celutuk seorang Bapak.
“Apa yg tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis & dicatat oleh nurani kita, insya Allah,” katanya sambil tersenyum.
Tanpa terasa bus yg kami naiki sudah memasuki Pasar Minggu. Tiba-tiba jalan bus terhenti, di hadang kerumunan pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak Ada yg mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga… samurai! Tubuhku langsung lemas.
Aku & para penumpang lain serba salah. Turun atau bertahan di bus? Bisa-bisa kami kena watu nyasar!
Jantungku berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! Aksi para pelajar itu brutal sekali! Mereka saling lempar & saling adu pukul!
PRANNNGGG! PRANNNGGG!
Kaca jendela yg berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu mengaduh memegangi pelipisnya yg berdarah!
“Serbuuuuuuuuuu! E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”
Ya Allah, seorang pelajar dgn tubuh berdarah naik ke atas bus ini. Aku resah mesti bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.
“Hei! Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yg jadi target!” teriak seorang bapak ketakutan. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.
“Sa… ya bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu lemah.
Si Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.
Eh, mane die?! Hajarr! Bunuhh!
“Pak, jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu cemas.
“Nggak bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak Sopir tak kalah panik.
DUG! DUG!
PRANGGGG! PRRANNGG!
Segerombolan pelajar naik ke dlm bus menenteng banyak sekali senjata. Pengecut! Beraninya ramai-ramai! Sungguh gue ingin meludahi belum dewasa tengil ini!
Mane tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.
Seluruh penumpang bergidik.
“Adik cari siapa?” Suara penuh kesegaran itu bergetar.
“Minggir lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”
Lelaki dgn kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.
Nie die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”
“Hajarrrr! Tusuk!”
Para pelajar itu maju dan… gue serasa tak berpijak di bumi… mereka membacoknya! Seluruh penumpang histeris!
“Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh kerabat sendiriii…?”
CRESH….
“Aaaaa!” gue terkejut.
Lelaki berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya. “A…dikku…, bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya pedih.
Aku bangun dr tempat duduk & berteriak histeris. “Polisiiii! Polisiiii! Paaaak, cepat kemariiiii!” teriakku.
Para remaja itu berhamburan keluar bus sesudah mereka merampas tas Mas Abdullah. Salah satunya, yg paling tengil sempat kutendang dr belakang!
“To…long…, tolong mereka…,” kataku memelas pada para penumpang.
“Tunggu… polisi!” teriak seseorang ketakutan.
“Polisi belum tiba! Tadi saya akal-akalan!” teriakku panik.
“Cepat keluarkan mereka!” Suara seseorang.
Aku menoleh. Seorang perjaka bergegas ke arahku & menolong membopong Mas Abdullah & anak sekolah yg terluka itu. Aku seperti mengenalnya….
“Kamu….”
“Saya Manto, Mbak…,”ujar perjaka itu.
Kuhirup napas dalam-dalam. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi itu tak penting. Yang terpenting yakni segera menolong Mas Abdullah & pelajar itu. “Saya Gita,” tukasku. Lalu saya, perjaka itu & dua lelaki separuh baya turun mencari pemberian.
Jalanan mulai sepi. Hanya watu-batu, ceceran darah & pecahan beling di sekitar. Dari jauh kudengar sirine polisi.
Kuhentikan dua buah taksi.
Ayo, Pak! Masukkan mereka!” teriakku pada yg membopong.
“Saya nggak megang uang, Neng!”
Kukeluarkan dompetku. “Saya yg bayar! Rumah sakit terdekat, Pak!” gue masuk ke dlm taksi. Sementara si pemuda rapi tadi di taksi yg lain bersama pelajar yg terluka itu. “Biar mbak, saya ada uang untuk bayar taksi,” katanya.
Barulah gue menyadari, perjaka rapi itu yaitu pria yg waktu itu tertangkap basah Mas Abdullah sedang mencopet handphone di miniarta.
“Ia menolong saya berubah…,” katanya seperti tahu pertanyaanku.
Subhanallah. Tak ada waktu. Kami bergegas.
Taksi melaju. Kudengar lelaki yg entah kenapa kini kuanggap saudaraku itu berzikir satu-satu.
“Tahan ya, Mas. Insya Allah, kita segera ke tempat tinggal sakit!” Tiba-tiba bayangan Mas Gagah melintas di hadapanku. Apakah nyeri mirip ini yg ia rasakan dulu? Mengapa orang baik yg senantiasa menjadi korban? Aku menggigil.
Sesampainya di RS, kedua korban secepatnya dimasukkan ke UGD. Aku resah menunggu, pula resah. Tatkala petugas menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, gue cuma sebut Abdullah.
“Identitasnya ada, Mbak?”
“Saya pula nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-pelajar brengsek itu!” tegasku. Kasihan Mas Kotak-kotak. Malah ia belum sadar….
Aku mencari cowok rapi tadi. Di mana dia?
“Suster lihat perjaka yg bersama saya tadi menjinjing korban?”
“Iya mbak, namun ia tadi terburu-buru, katanya sudah terlambat ke tempat kerja. Ia menitipkan ini pada mbak.
Mbak, maaf saya buru-buru. Sumpah, saya sudah tak jadi pencopet lagi. Lewat ia saya dapat hidayah. Semoga Allah melindungiNya. Besok insya Allah saya ke sini lagi. Manto.
“Adik yg tadi dlm bis?”
Aku terperanjat. Polisi….
Aku mengangguk. “Ya, saya Gita.”
“Ikut ke kantor kami untuk memberi keterangan.”


Dua hari gue bolak-balik kampus-kantor polisi. Diantaranya untuk menjadi saksi siapa pelaku penusukan. Demi kebenaran, gue menurut. Pelaku penusukan yg berwajah bengis itu pun sudah diamankan.
Dan hari ini, tatkala gue kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk, gue terperanjat.
“Sudah meninggal kemarin, Mbak….”
“Apa?”
“Pelajar yg kena tusuk sudah meninggal.”
“Saya nanya yg satu lagi, yg masuknya bareng sama pelajar itu!”
Sang suster mengangguk-angguk. “Ooo, gres setengah jam yg kemudian dijemput keluarganya & pemuda yg kemarin bareng mbak kemari. Lukanya tak terlalu parah. Ia pula berpesan untuk memberikan terimakasih pada mbak yg sudah menolongnya.”
Aku mengangguk & menggigit bibir. Tanpa terasa buliran bening menetes membasahi pipiku. “Terimakasih, Suster,” ujarku pelan. “Terimakasih Allah, ia tak pergi secepat Mas Gagah….”


Begitulah ceritanya. Hari, minggu, bulan, tahun berganti. Aku tak pernah berjumpa lagi dgn lelaki itu. Setiap hari, dikala pulang & pergi dgn bus atau kereta api, entah kenapa gue berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosoknya mirip dahulu. Tapi ia tak ada. Ia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan gue yg tak tahu kemana harus mencarinya. Dan ini yakni rasa kehilangan keduaku yg besar, sesudah kepergian Mas Gagah.
Sebenarnya gue bertekad, bila gue bisa berjumpa dengannya sekali lagi, gue akan memberanikan diri menyapanya. Aku akan bercerita perihal Mas Gagah, perihal kepeduliannya pada sekitar sebagaimana lelaki tak bernama itu. Aku bahkan berencana mengenalkan merekapada Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep & adik-adik di kolong jembatan yg dulu dibina Mas Gagah.
“Memang penduduknya kayak Gagah, Mbak?” Tanya Bang Ucok, ketika kami bareng -sama membenahi buku-buku koleksi taman bacaan.
Bang Urip menatapku ingin tahu. Di depan taman bacaan mungil ini, adik-adik kecil sibuk bikin layang-layang untuk dijual.
Aku tercenung. “Mungkin wajahnya nggak ya, Bang. Tapi apa yg ia kerjakan, kepeduliannya…entahlah. Gita merasa dekat saja dengannya. Gita merasa spirit yg sama dlm dirinya seperti spirit dlm diri Mas Gagah.”
Bang Urip & Bang Ucok garuk-garuk kepala. “Kaprikornus pengin kenalan,” kata Bang Ucok. Bang Urip & Kang Asep mengangguk.
“Suatu dikala Gita akan ajak ia kemari, Bang, insya Allah.”
“Iya, tak ada lagi yg mengajar kami mengaji sejak Gagah tak ada,” ujar Bang Ucok.
“Ya iye, pada takut dipalak duluan. Lewat sini aje mereka kagak berani,” tambah Bang Urip. “Ye, emangnye mereka Si Gagah? Ketahuan die sinpai karate. Kita palak, malah dulu kite nyang babak belur, trus malah diajak ngaji. Waktu kite ude kagak mabok, kagak main judi, kagak malak orang, trus jadi orang yg peduli ame lingkungan kite, Gagah bilang kite itu: preman insap! Kate Gagah dahulu sahabat Nabi pula banyak nyang preman. Pas insap mereka pribadi istiqomah!”
“Ah, emang lo inget artinya istiqomah?” serobot Kang Asep.
“Kayaknya konsisten, persisten, resisten!”
“Apa artinya itu, memang kau ingat? Sok anak kuliah kau kali kau!”
Bang Urip garuk-garuk kepala, “Ya kagak sih. Gue ingat belakangnye ten semua. Ah udeh nyang penting teguh maju jalan lurus terus! Istiqomah ntu gitu kate si Gagah!”
“Preman insaaaap!” seru Bang Ucok.
Bang Urip & Kang Asep langsung berdiri tegak, menyusul Bang Ucok: “Huh huh huh huh: istiqomah!” mereka lompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, seperti serdadu yg paling bersemangat. Seperti dahulu saat masih bersama Mas Gagah. Tak jauh di belakang mereka, belum dewasa rumah baca pula melompat-lompat melaksanakan hal yg sama.
Aku tersenyum. Mereka masih terus mengingat Mas Gagah & masih sering bercerita tentangnya, mirip gue berharap setiap kali masih bisa mendapatkan sosoknya di rumah sepulang dr kuliah.
“Mbak Gita sekarang tambah ayu ya?”
“Iya, lebih kalem…”
Celutuk beberapa anak tiba-tiba, sambil mencuri-curi pandang ke arahku.
Sudah senja. Kupeluk mereka & segera pulang. “Nanti Mbak Gita bawakan lagi buku yg banyak, insya Allah!” janjiku.

Lama sesudah itu gue belum pula kembali berjumpa dgn Si Kemeja Kotak-kotak.
Kini gue sudah lebih rapi dlm berjilbab. Tutut yg paling girang hingga sujud syukur segala menyaksikan gue bertekad untuk tak lagi pakai baju ketat atau kerudung terawang. Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak itu punya andil dlm keislamanku, meski gue lebih teguh berjilbab bukan sebab dia, melainkan sebab Allah semata.
Dan kini, tak terasa gue sudah tamat kuliah. Aku pula ingin bisa segera bekerja, mirip sahabat-temanku yg lain. Bisa bermanfaat bagi orang banyak, bukan sekadar mencari duit.
“Kenapa sih tak kerja di perusahaan Papa saja?” tanya Papa.
Aku cuma mencium kening beliau & berkata, “Gita mau berusaha mandiri dulu….”
Untunglah Papa mau mengerti & bahagia menyaksikan anaknya senantiasa berupaya mampu berdiri diatas kaki sendiri. “Kamu akan jadi perempuan yg kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Dan hari ini gue cukup deg-degan.
Sebuah perusahaan elektronik memerlukan tenaga marketing yang menguasai bahasa Inggris. Aku menjajal melamar. Namanya pula usaha. Kemarin gue sudah dipanggil untuk wawancara. Ya, siapa tahu diterima meski kurang pengalaman, kan?
“Mbak Gita?”
Aku mengangguk.
“Mbak diminta eksklusif menghadap Direktur kami!” ujar resepsionis di hadapanku.
Aku berdiri, dgn perasaan tak menentu “Direktur?” tanyaku. “Bukan ke HRD lagi yg mbak?”
“Iya, data mbak sudah dipelajari oleh HRD kami. Wawancara oleh HRD pula sudah kan kemarin. Ini wawancara selanjutnya, Mbak.”
“Wawancara lagi?” gue tak memahami.
“Pak Yudhistira minta Mbak langsung menghadapnya.”
“Oh,” kutepis rasa heranku.
“Silakan, Mbak,” seorang perempuan lain yg kukira sekretaris menemaniku menuju ruang direktur.
Penuh rasa optimis gue melangkah. “Selamat pagi,” sapaku biasa, saat melangkah masuk.
Seorang lelaki dgn kemeja kotak-kotak menjawab salamku.
Aku terperangah!
Dia juga!
Kubaca nama yg terpampang di mejanya: Yudhistira Arifin, Ph.D -Direktur.
“Gita Ayu Pratiwi?“
Aku mengangguk.
“Saya merasa pernah menyaksikan Anda. Di mana ya?” tanyanya tiba-tiba.
Suaraku tercekat di kerongkongan. “ Dalam…ng… bus…, Pak….?
Dia mengangguk. Tersenyum, berdiri, membereskan jas di pundak bangkunya. “Mungkin di UI alasannya adalah saya pula lulusan sana…,” ungkapnya simpatik. “Atau dlm bus & kereta api?” ia tertawa. “Barangkali malah di rumah sakit?”
Aku tersenyum, tetapi resah.
“Anda tahu kenapa Anda saya panggil kemari?”
Aku menggeleng.
“Pertama, sebab Anda gadis itu. Gadis yg membawa saya ke Rumah Sakit…bertahun lalu ketika peristiwa tawuran pelajar itu….”
Aku tercengang.
“Gita….subhanallah….”
Aku mengangguk, “Saya, Pak.”
“Keluar dr rumah sakit , saya diberitahu nama orang yg menolong saya. Gita. Tak mungkin saya lupa…,”katanya lagi. “Maaf, sehabis pemulihan, saya kesusahan menghubungi anda. Rumah sakit pula tak menyimpan data Anda. Saya kemudian mendapat beasiswa kuliah di Perancis. Kaprikornus…saya belum mengucapkan terimakasih….”
Hening.
Tiba-tiba sekretaris yg tadi mengantarku, masuk kembali sambil membawa beberapa map. “Pak, ada undangan mengisi ceramah dr Departemen Keuangan, beberapa hotel berbintang & dr universitas di Jerman serta Australia,”
Departemen Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di Jerman & Australia? Hebat sekali! Batinku.
“Makara, kualifikasi Anda cocok dgn yg kami butuhkan. Selamat, Gita! Anda kami terima!”
“Alhamdulillah,” kataku. “Terimakasih, Pak.”
“Kembali,” katanya ringan. “Oh ya, Gita, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas pertolongan Anda. Hanya Allah yg bisa membalasnya. Ah kalau saja Anda tak menenteng saya ke rumah sakit waktu itu, tentu saya tak akan ada di sini sekarang….”
“Dan mungkin saja saya tak akan diterima melakukan pekerjaan di sini…,” candaku. “ Ya, sama-sama, Pak….”
Ia tertawa.
“Panggil saya Yudi saja. Anda mulai melakukan pekerjaan besok. Silakan pelajari berkas-berkas ini….”
Aku mengangguk.
“Tolong panggil OB kita ya,” katanya pada sekretarisnya kemudian.
Aku baru akan beranjak, ketika seseorang masuk. Wajah yg pernah kulihat lagi!
“Ini Manto,” ujarnya. “OB kita yg hebat. Manto yg mengingatkan saya akan nama Anda.”
Manto mengangguk, “Mbak Gita….”
Aku ternganga: pemuda rapi yg dahulu pernah ia tangkap saat mencopet dahulu! Yang pula membantuku menolong pelajar itu!
“Setelah menasehati saya dulu, Pak Yudi mengajak saya ke sanggar milik temannya. Kami mencar ilmu ngaji sambil membuat kerajinan tangan. Setelah lama tak berjumpa , setahun kemudian, Pak Yudi mengajak saya melakukan pekerjaan di sini.”
“Manto rajin & jujur, jadi Gita bisa minta tolong apa saja padanya,” Pak Yudi tersenyum. Aku juga.Subhanallah.
Sorenya, setelah makan bakso di sekeliling (calon) kantorku, gue naik ke Trans Jakarta tujuan Rawamangun.
Aku gres saja akan membuka berkas-berkas yg diberikan Mas Abdul eh…Pak Yudi…, tatkala satu sosok yg kukenal naik ke dlm bus sambil tersenyum.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….”
Aku melongo. Nyaris tak percaya.
“Nak Yudi!” Seru seorang bapak. “Senang bisa mendengar Anda lagi!”
“Ya, perjalanan panjang seakan tak memiliki arti bareng Dik Yudi!” seru penumpang lain.
Pak Supir tertawa. Penumpang yg lain tersenyum senang.
Aku ternganga. Dan seperti dulu, dgn gaya khasnya, ia berbicara & orang-orang menyimak .
“Apakah hakikat tabah itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di tengah masyarakat kita yg kini sudah semakin tak peduli? Mau mendengar dongeng wacana cinta & sabar? Tentang bagaimana kita mesti berjabat hati dlm membangun negeri ini?”
Semua mengangguk tanpa sadar. Aku juga.
Dan mirip tahun-tahun lalu pula… kata-katanya begitu menjamah & besar lengan berkuasa, mengingatkanku pada sosok yg mirip terus berada dlm rinduku….
“Ajari saya… Islam. Saya mau… mengaji, Nak,” bisik seorang Ibu berwajah Chinese yang duduk tepat di sampingku, dikala Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.
Aku haru.
Dari balik kacamatanya, kulihat mata lelaki berkemeja kotak-kotak rapi itu berkaca-beling. Selalu, seperti dahulu, ketika pertama kali gue menatapnya.
Angin tak ada, dibungkam AC bus Trans Jakarta, namun semilirnya menyelusup dlm batinku. Sejuk. Lelaki itu mengangguk padaku, tersenyum usang.
Dalam senja yg temaram, dr balik jendela busway, kulihat Mas Gagah di antara kerumunan orang yg menunggu bus. Wajahnya cerah.

Dan jadilah muslimah sejati
yang selalu mengedepankan nurani
Agar Allah senantiasa besertamu.
Ingat Islam itu indah…
Islam itu cinta…

 (Jakarta-Depok, 1993-2011)