Dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku insan secara sadar maupun tidak ialah ialah bentukan dari budaya yang ada di sekitarnya. Karena ruang lingkup kebudayaan sangat luas (meliputi segala aspek kehidupan insan), maka pendidikan juga merupakan salah satu aspeknya. Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan alienasi dari subjek yang dididik dan menimbulkan matinya kebudayaan itu sendiri. Perubahan kebudayaan akan mengganti pendidikan dan begitu pula sebaliknya. Pendidikan yakni sebuah proses membuat seseorang termasuki oleh budaya dan membuatnya berperilaku mengikuti budaya tersebut. Sebagai sebuah proses yang kompleks, pastinya dibutuhkan suatu tata cara yang mampu mendukung tercapainya tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dalam perwujudannya, selaku negara yang memiliki budaya yang beraneka ragam, pastinya tujuan dan sistem pendidikan di Indonesia harus berlandaskan pada budaya.
2.1 Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan (Enkulturasi).
Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu jalan masuk atau media dari proses pembudayaan Media lainnya yakni keluarga dan institusi yang lain yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”. Sejalan dengan itu, golongan antropolog dan ilmuwan sosial yang lain menyaksikan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan insan sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan sikap seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk supaya manusia dapat memperlihatkan perilakunya selaku makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan beradaptasi dengan lingkungan dalam upaya menjaga kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun penduduk secara keseluruhan.
Pendidikan ialah bab dari kebudayaan, alasannya pendidikan yaitu upaya memperlihatkan wawasan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan ialah keseluruhan dari kondisi diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan sebagai insan, adalah sikap, perjuangan, dan kerja yang harus dijalankan oleh setiap orang, memutuskan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan insan sebagai makhluk bio-sosial.
Proses pembudayaan (enkulturasi) yaitu upaya membentuk perilaku dan perilaku seseorang yang didasari oleh ilmu wawasan dan keterampilan sehingga setiap individu mampu memainkan kiprahnya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam rancangan enkulturasi yaitu perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), namun juga menggiring siswa untuk mampu mengaplikasikan wawasan yang diperoleh secara eksklusif dalam kehidupan aktual (to do), berguru untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk perilaku hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berjalan secara konstruktivis (developmental) yang didasari oleh pedoman bahwa setiap individu akseptor bimbing ialah bibit memiliki peluang yang mampu meningkat secara mampu berdiri diatas kaki sendiri.
Tugas pendidikan adalah memotivasi semoga setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menawarkan pelayanan yang cocok dengan kesempatanyang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan huruf, penampilan yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang meningkat dalam tiga ranah kesanggupan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi.
Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang rancangan pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari keadaan kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia kasatmata terkait dengan korelasi sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terikat dengan kekerabatan yang kontinum. Tidak satupun dari unsur ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya. Pendidikan yaitu upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota penduduk agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan tugas sosial masing-masing dalam penduduk . Secara tidak langsung, contoh ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan.
Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, terbaru, tentram dan hening menurut nilai-nilai dan norma budaya. Sejalan dengan ini, dari rancangan agama, pendidikan dipandang sebagai upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif (kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb) menuju pada sifat-sifat yang aktual mirip (pintar, empati, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar aturan adalah kekerabatan dengan sesama insan dan kekerabatan dengan Tuhan).
Semua sifat faktual yang dibutuhkan tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap yang religius, cekatan, cekatan, mampu membedakan yang bagus dan yang jelek, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini tergolong segala bentuk perbedaan di antara kita sesama insan. Memiliki kesanggupan untuk mengambil keputusan yang tepat pada ketika yang tepat, serta bisa mengembangkan peluangdiri dalam upaya meningkatkan mutu eksklusif, keluarga, golongan, agama, bangsa dan negara. Semua ini ialah komponen pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, sejahtera, dan penuh kedamaian.
Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan mesti percaya bahwa program dan proses pembelajaran mampu menggiring siswa semoga mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya –yang diperoleh selama proses mencar ilmu– sehingga berfaedah dalam kehidupan berikutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan positif, antara kehidupan akademis dan non akademis yakni dua hal yang tidak mampu dipisahkan. Untuk itu semestinya, acara dan proses pembelajaran tidak menciptakan dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini memberikan bahwa pendidikan yaitu upaya membangun budaya suatu penduduk sehingga tercipta kehidupan yang terbaru, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bareng oleh suatu penduduk .
2.1.1 Segi-Segi Pendidikan sebagai Gejala Kebudayaan
Ada 10 sisi pendidikan yang urutannya dapat diubah tetapi tidak dapat dikurangi untuk sesuai dengan kondisi dan situasi dimana pelaksanaan pendidikan akan dijalankan. Pemisahan salah satu dari kesepuluh tersebut tidak mungkin dan tidak dibenarkan tetapi cuma dibenarkan perbedaan dalam penekanan.
1. Pendidikan ialah pembinaan tingkah laris tindakan
Pendidikan ialah proses pelatihan tingkah laku tindakan supaya anak berguru berpikir, berperasaan dan bertindak lebih sempurna dan baik dari pada sebelumnya. Untuk tujuan tersebut maka pendidikan diarahkan pada seluruh faktor pribadi mencakup jasmani, mental kerohanian dan akhlak. Sehingga akan tumbuh kesadaran langsung dan bertanggung jawab akhir tingkat perbuatannya.
2. Pendidikan yakni pendidikan diri langsung
Lembaga pendidikan bermaksud mengembangkan diri dan selalu memakai daya kesanggupan inisiatif dan aktivitasnya sesuai kata hatinya. Sehingga anak berkesempatan untuk mencar ilmu memikul tanggung jawab bagi kelangusngan pendidikan dan pertumbuhan pribadinya.
3. Pendidikan diperankan di berbagai pusat forum
Tugas pendidikan ialah peran yang mesti dikerjakan oleh lembaga atau badan pendidikan yang diakui dan diberi hak hidup serta dilindungi undang-undang. Dengan demikian disamping lembaga pendidikan sekolah (selaku mediator, pemersatu serta mempertinggi perjuangan pendidikan) maka keluarga masyarakat juga menerima peran keharusan untuk mendidik insan yang menjadi anggotanya.
4. Pendidikan diarahkan kepada keseluruhan faktor kebudayaan dan kepribadian
Pendidik dan lembaga pendidikan mesti mengakui kepribadian dan menggalang adanya kesatuan segala aspek kebudayaan, di sini manusia membutuhkan latihan dalam menggunakan kecerdasannya dan saling pemahaman. Aspek intelek menciptakan manusia teoretis, faktor sosial menciptakan insan pengabdi, aspek estetis menghasilkan insan seni, faktor politik menciptakan manusia kuasa, aspek agama menciptakan insan kuasa, faktor ekonomi menciptakan insan untung dan faktor keluarga menyebabkan insan cinta kasih.
5. Pendidikan berlangsung sepanjang hidup (Life Process)
Menurut Langeveld (dalam Pidarta,2006) kewibawaan penting dalam pendidikan sehingga proses pendidikan dibatasi pada proses pendidikan dari mulai anak mulai mengetahui dan mengakui kewibawaan samapai anak tunduk pada kewibawaannya sendiri yang bersumber dari kata hatinya.
6. Pendidikan adalah antisipasi pembiasaan yang intelligent kepada pergeseran sosial
Sifat pendidikan reflektif dan progresif harus meneruskan nilai kebudayaan dan mengantarkan peserta latih pada alam kedewasaan serta membimbing ke arah kerja membangun periode depan. Untuk itu pendidik harus berbagi kesadaran bertanggung jawab dan turut serta dalam masyarakat.
7. Pendidikan harus mengabdi seluruh massa rakyat
Menurut sejarah perkembangannya, pendidikan mengalami 2 macam pertumbuhan, yakni (1) pendidikan sebagai pengabdi kelas/kalangan penduduk , diperuntukkan untuk kepentingan sebgaian kecil penduduk contohnya kolonial Belanda dan (2) pengabdi massa/segala lapisan penduduk , diperuntukkan untuk demokrasi penduduk tanpa beda kelas.
8. Pendidikan harus diarahkan kepembinaan cita-cita hidup yang luhur
Bila pendidikan dimasukkan ke dalam tingkah laris tindakan insan maka pendidikan harus beradaptasi dengan tujuan hidup manusia, selanjutnya tujuan hidup tersebut ditentukan oleh filsafat hidup yang dianut seseorang, maka tujuan pendidikan insan harus bersumber pada filsafat hidup individu yang melakukan pendidikan. Tujuan pendidikan manusia tidak dapat terlepas dari tujuan hidup manusia yang didasarkan pada filsafat hidup tertentu.
9. Pendidikan Jiwa Nasionalisme sepadan dengan jiwa Internasionalisme
Pendidikan yakni pelatihan jiwa Nasionalisme yang sehat dan masuk akal, tidak mempunyai kecenderungan Internasionalisme yang melenyapkan jiwa Nasionalisme. Adanya persoalan dan perbedaan paham-paham tersebut disebabkan 3 hal, adalah : tetap adanya perang, adanya efek relatif kebahagian bangsa tertentu tetapi kesengsaraan bagi bangsa yang lain dan rasa kebersamaan pada bangsa-bangsa yang tertindas.
Pendidikan bermaksud mengusahakan perdamaian dan kemakmuran dunia dan manusianya, untuk itu usaha-perjuangan yang mengarah ke sana ialah pelatihan jiwa yang saling kerjasama antar bangsa, penghilangan nasionalisme yang sempit, penghapusan dogma superioritas dan inferioritas ras, pengembangan sikap konkret atas kerja sama, training politik mancanegara dalam prinsip konsultasi dan kooperatif, kenaikan taraf mental pendidikan manusia serta pembinaan penghormatan tata hidup yang berasaskan demokrasi individu, masyarakat dan anatar bangsa.
Hasil dari pembinaan di atas akan merealisasikan 3 kemungkinan, yaitu :
(1) Komunisme Internasional, dengan bentuk terpimpin oleh negara super disikuti negara satelit
(2) Organisasi Internasional, dengan peniadaan negara super dimana tata kekerabatan belandaskan prinsip demokrasi
(3) Kerjasama Regional, bentuk koordinasi dalam wilayah dan tujuan tertentu.
10. Pendidikan agama bagian mutlak dalam pembinaan karakteristik dan bangsa
Hal ini didasarkan atas persepsi bahwa agama merupakan unsur mutlak dan sumber dari kebudayaan, untuk itu pendidikan agama supaya tidak diarahkan pada intelektualistis-verbalistis, sehingga mengakibatkan pendidikan agama selaku dasar tata kehidupan insan, langsung, di sekolah maupun penduduk .
Pendidikan agama tidak sama dengan adat, namun pendidikan pekerti tidak mampu dilepaskan dari agama sehingga mampu dibilang kesusilaan yang diagamakan. Sehingga dihasilkan insan berbudi luhur, sehat, berpikiran bebas, perpengetahuan luas dan berjiwa ikhlas.
2.2 Peran Budaya terhadap Pendidikan
Dewasa ini pemahaman budaya atau kebudayaan masih susah diartikan selaku komponen yang serupa atau berlainan. Secara etimologis, budaya berasal dari kata kebijaksanaan dan daya (akal daya) atau daya (upaya atau power) dari suatu kecerdikan, kata budaya digunakan selaku akronim dari kebudayaan dengan arti yang sama (Koentjaraningrat, 1986). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarti mengolah atau melakukan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta langkah-langkah insan untuk mengolah alam.
Kebudayaan ialah keseluruhan tata cara, ide, tindakan dan hasil karya insan dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, adalah: (1) sebagai kompleks dari inspirasi-wangsit, ilmu wawasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya, (2) selaku kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam penduduk , dan (3) selaku benda-benda hasil karya insan.
Manusia memiliki inisiatif dan inovatif dalam menciptakan kebudayaan, dia hidup berbudaya dan membudaya. Kebudayaan dipergunakan selaku wahana atau alat pemenuhan kebutuhan dalam rangka meraih tujuan. Selanjutnya kebudayaan merupakan bagian dari kehidupannya yang sudah menyatu dan tidak terpisahkan. Karena itu, kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar insan, melainkan meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Bahkan manusia itu gres menjadi insan alasannya adalah dan bersama kebudayaannya. Di dalam kebudayaan dan dengan kebudayaan itu manusia menemukan dan mewujudkan diri.
Menurut Spiering (dalam Maliki, 2008), kajian wacana penelusuran dan konstruk identitas budaya, ada dua perspektif. Pertama, perspektif esensialis yang menatap identitas budaya selaku sesuatu yang given, diwarisi secara turun temurun. Identitas diri sudah melekat dari semenjak pertama insan lahir. Oleh alasannya itu, kelompok esensialis menyebut identitas selaku God given or implanted by nature. Sementara itu, para eksponen konstruksionis menolak persepsi esensialis. Identitas budaya seseorang tidak bisa ditelusuri melalui karakteristik lingkungan. Identitas ialah “intelectual artefact” atau ”cultural construct”. Identitas bukan produk dari alam (nature), melainkan konsekuensi dari pendidikan dan pembelajaran (nurture).
Daoed Joesoef (dalam Koentjaraningrat, 1986) menyampaikan, budaya merupakan sistem nilai dan inspirasi yang dihayati oleh sekelompok insan di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu era tertentu. Sementara kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkit dengan budaya. Dalam konteksi tinjauan budaya dilihat dari tiga faktor, yakni pertama, budaya yang universal ialah berkaitan niliai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan kemajuan kehidupan penduduk dan ilmu wawasan/teknologi. Kedua, budaya nasional, ialah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait akrab dengan tata cara pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya.
Antara kebudayaan dan pendidikan terdapat relasi yang sungguh dekat. Keduanya berkenaan dengan satu hal yang sama, adalah mengenai nilai-nilai. Pendidikan membuat insan berbudaya. Semakin banyak seseorang menerima pendidikan, makin berbudaya orang tersebut dan makin tinggi kebudayaan, makin tinggi pula pendidikan atau cara mendidiknya.
Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil komponen-komponen pembentuknya dari segala ilmu wawasan yang dianggap benar-benarvital dan sangat diharapkan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini dibutuhkan selaku modal dasar untuk mampu berdaptasi dan menjaga kelancaran hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang selaku nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap sikap. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ilham yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh lewat proses mencar ilmu. Proses berguru merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut diketahui dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
Karena ruang lingkup kebudayaan sangat luas (mencakup segala faktor kehidupan manusia), maka pendidikan juga merupakan salah satu aspeknya. Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menimbulkan alienasi dari subjek yang dididik dan menjadikan matinya kebudayaan itu sendiri. Perubahan kebudayaan akan merubah pendidikan dan begitu juga sebaliknya. Oleh alasannya adalah itu, kebudayaan yang bersifat biasa harus diajarkan pada semua sekolah. Sedangkan kebudayaan kawasan mampu dimasukkan pada kurikulum muatan setempat dan kebudayaan terkenal juga diajarkan dalam proporsi yang kecil. Pendidikan yakni suatu proses menciptakan seseorang termasuki oleh budaya dan menjadikannya berperilaku mengikuti budaya tersebut. Oleh alasannya itu, sekolah selaku salah satu dari tempat enkulturasi sebuah budaya, bahwasanya merupakan materi masukan bagi peserta latih dalam mengembangkan dirinya.
2.3 Sistem pendidikan di Indonesia ditinjau dari Aspek Budaya
Menurut Suryosubroto (1982), pendidikan ialah sebuah kegiatan yang dikerjakan untuk mencapai tujuan tertentu. Di Indonesia, tujuan pendidikan dilandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Filsafat Pancasila inilah yang menjadi pemikiran pokok dalam pendidikan, lewat perjuangan-perjuangan pendidikan, dalam keluarga, penduduk , sekolah dan perguruan tinggi. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003:
Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membuatkan manusia Indonesia seutuhnya, ialah insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan berdikari serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
2.3.1 Pendidikan Berorientasi Multikultural
Selama ini semangat monokultur banyak mewarnai kebijakan pendidikan di Indonesia. Manajemen sekolah, kurikulum, desain pembelajaran, versi evaluasi dan banyak sekali upaya pengembangan fasilitas dan prasarana dilaksanakan atas dasar prinsip monokultur. Seluruh pengelolaan input, proses dan output pendidikan lebih mengacu kepada nilai-nilai budaya lebih banyak didominasi di sekotar sekolah itu sendiri.
Pendidikan monokultur bukan saja sudah mengakibatkan terjadinya proses peminggiran budaya non-lebih banyak didominasi, tetapi juga menumbuhkan sensitivitas terhadap perbedaan. Sementara di segi lain, kemajuan penduduk kian mengarah kepada keranekaragaman budaya, latar belakang sosial, opsi politik, status ekonomi, bahasa maupun etnisitas. Cara orang melihat, mencicipi, memahami serta mendefinisikan fenomena kehidupan lebih diputuskan oleh asal-seruan sosial budaya. Karena asal-undangan sosial budaya mereka itu sangat beragam, maka cara melihat, mencicipi, mengerti serta mendefinisikan fenomena pun juga beranekargam. Hal ini membuat perspektif dalam pengertian dan pemecahan problem yang beranekaragam pula. Dalam perspektif kehidupan seperti ini, peran pendidikan untuk memfasilitasi peserta latih dalam menyaksikan, merasakan, memahami serta mendefinisikan fenimena kehidupan akan dapat dijalankan dengan baik kalau dikembangkan dalam perspektif kesadaran yang menghargai perbedaan atau pluralisme budaya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural, maka kepemimpinan kurikulum (curriculum leadership) menjadi pemegang kunci. Keberhasilan pendidikan multikultural tergantung bagaimana kurikulum di sekolah akan dibungkus. Pendidikan multikultural haruslah dibungkus sedemikian rupa sehingga pandangan atau perspektif pluralisme, demokrasi, penghargaan atas perbedaan mampu diterjemahkan selaku nilai, pandangan dunia, perilaku dan sikap secara teoritik maupun simpel. Makara dalam kurikulum pendidikan multikultural, tidak bisa lagi menimbulkan nilai dan tradisi budaya dominan menguasai praktek pembelajaran di sekolah.
Perbaikan dunia pendidikan merupakan bagian terpenting bagi upaya mengangkat martabat bangsa. Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan pendidikan sebagaimana fungsinya, ialah membentuk moral serta peradaban bangsa yang bermartabat secara operasional yakni mendudukkan sekolah selaku agen multikulturalisme. Hanley (dalam Maliki, 2008) memastikan bahwa pendidikan mesti memberi tunjangan dalam menumbuhkan kesadaran akan pluralism budaya. Hidayat (dalam Sukardjo dan Komarudin, 2009) mengajukan prinsip yang harus dipahami guru untuk mengarahkan sekolah dengan kultur yang berorientasi multikultural, selaku berikut.
1. Setiap Anak yaitu spesial
Guru harus menatap setiap peserta bimbing yaitu unik, istimewa, dan terlahir dengan bakat yang berlawanan-beda. Anak harus dipahami, diterima apa adanya, dicintai, dan difasilitasi semoga masing-masing tumbuh secara optimal sesuai bakat dan minatnya.
2. Pendekatan “Multi-Intelligence”
Sekolah yang ideal yakni sekolah yang mendukung multi-intelligences akseptor didiknya. Setiap peserta didik hendaknya dimengerti secara perorangan mengenang masing-masing individu mempunyai kekuatan dan kelemahan intelegensia yang berlainan.
3. “Active Learning”
Peserta asuh sebagai subjek dalam pembelajaran dikondisikan untuk aktif dan bebas dalam mengemukakan banyak sekali fikiran dan imajinasinya. Sebagai fasilitator dan pendidik, guru senantiasa menunjukkan rambu-rambu, motivasi dan koreksi dengan semangat edukasi dan apresiasi. Jika penerima ajar terlatih bersikap asertif dan komunikatif, maka proses obrolan antarsesama sobat akan berkembang tanpa mesti bersikap agresif dan menyakiti yang lain. Sikap demikian penting untuk mendampingi perkembangan pribadi siswa, sehingga pluralisme pemahaman, pemikiran dan pilihan hidup akan dilihat sebagai sesuatu yang masuk akal, bahkan suatu dinamika yang indah.
4. Universalitas Agama
Isu perbedaan agama sungguh sensitive, sementara perkembangan sosial justru makin mengarah kepada pluralitas pemeluk agama. Dengan dasar tersebut,maka keanekaragaman agama hendaknya didekati dengan dua cara. Pertama, agama ditempatkan sebagai fenomena sosial dan budaya yang perlu dimengerti penerima latih. Kedua, diperkenalkan terlebih dahulu nilai-nilai universalitas agama, bahwa semua agama niscaya memiliki kesamaan dalam aliran watak. Di balik keanekaragaman tradisi dan symbol-simbol khas, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk cinta hening, membantu sesama dan menjunjung tinggi moralitas.
5. Semangat Kemanusiaan dan Keindonesiaan
Untuk menjaga identitas diri tanpa harus bersikap pribadi, sejak dini akseptor didik hendaknya diperkenankan dan dibiasakan mengetahui dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan serta cinta bangsa. Apa yang disebut core values atau living values yang berakar pada aliran agama dan warisan luhur bangsa dijadikan bab dari kultur sekolah.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan dan budaya yaitu dua hal yang saling kuat terhadap perkembangan kehidupan insan. Keduanya tidak mampu berjalan sendiri-sendiri. Perubahan budaya mampu mengganti arah dan tujuan pendidikan. Begitu pula dengan pendidikan, kalau terpisah dari budaya yang ada disekitarnya, cuma akan mengakibatkan alienasi dari subjek yang dididik dan mengakibatkan matinya kebudayaan itu sendiri.
Dengan keanekaragaman budaya di Indonesia, pendidikan yang berorientasi multikultural sangat diharapkan. Karena, penting untuk tetap mempertahankan identitas budaya dari setiap kawasan di Indonesia biar “Bhineka Tunggal Ika” dapat terwujud dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN
Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional MenyonsongMasa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Maliki. 2008. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Mudyoharjo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Saifullah, Ali. 1982. Pendidikan-Pengajaran dan Kebudayaan : Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional Press.
Sukardjo & Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers.
Suryosubroto. 1990. Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.