Kesadaran Kepatuhan Aturan

A. Latar Belakang

Hukum yang dipandang selaku salah satu aspek penting dalam penduduk yang bermaksud merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang tenteram dan berkeadilan, seringkali oleh segelintir orang tidak diindahkan sebagaimana yang dimaksud di atas. Tidak jarang hukum itu dicederai, dilanggar bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang memiliki kepentingan, atau orang yang masih menilai tidak pentingnya suatu aturan yang ada di masyarakat. Para pelaku-pelaku pelanggar ataupun pencedera aturan inilah yang dalam kajian sosiologi hukum dapat disebut sebagai orang-orang yang tidak sadar dan tidak patuh hukum.

Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah kepada kekerabatan dengan keberadaan dan peranan dari kesadaran aturan penduduk ini dalam badan aturan aktual, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum penduduk primitif, terperinci ialah aturan yang sangat besar lengan berkuasa, bahkan secara total merupkan penjelmaan dari aturan masysarakatnya. Kemudian, dikala berkembangnya paham scholastic yang di percaya. Hukum berasal dari tahun (periode pertengahan) dan meningkat mazhab hukum alam modern (abad ke- 18 dan ke-19), mengultuskan rasio manusia, keberadaan dan peranan kesadaran, sangat kecil dalam hal ini, kesadaran hukum tidk penting lagi bagi hukum. Yang terpenting adalah titah yang kuasa sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci (mazhab scholastik) atau hasil renungan manusia dengan menyesuaikan rasionya. (Mazhab aturan alam terbaru) selanjutnya, dikala berkembangnya paham-paham sosiologi pada final abad ke-19 dan permulaan masa ke-20 yang masuk juga kedalam bidang hukum.

Masalah kesadaran aturan masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan dan penganalisaan hukum. Dengan demikian, terhadap aturan dalam masyarakat maju berlaku pemikiran yang disebut dengan co-variant theory. Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku aturan. Disamping itu berlaku juga iktikad volksgeist (jiwa bangsa) danrechtsbemu stzijn (kesadaran aturan) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya dogma-iktikad tersebut mengajarkan bahwa aturan haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/kesadaran hukum penduduk . Kesadaran hukum dipandang sebagai perantara antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku manusiadalam masyarakat.­­­­­­

Dalam tubuh aturan terjadi semacam kemajuan sehingga hingga pada aturan yang maju, atau diasumsi maju seperti yang dipraktekan ketika ini oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri lazimnya terjadi sungguh lamban meskipun sekali terjadi agak cepat. Namun perkembangan dari aturan antik pada aturan modern ialah perjuagan insan tiada akhir satu dan lain hal disebabkan penduduk , dimana aturan berlaku berganti terus menerus dalam kemajuan aturan itu sendiri sering kali dijalankan dengan revisi atau amendemen kepada undang – undang yang telah ada tetapi sering pula dikerjakan dengan menganti undang – undang usang dengan undang – undang baru. Bahkan aturan modern sudah menetukan prinsip dan asas hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan telah cenderung ketinggalan zaman. Dalam relevansinya dengan perkebangan penduduk , aturan mengatur tentang duduk perkara struktur sosial nilai – nilai dan larangan – larangan atau hal – hal yang menjadi tabu dalam penduduk .

Dalam masa Ke-20 terjadi pertumbuhan diberbagai bidang aturan dimana sebagiaan aturan disebagian negara telah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian aturan dinegara lain masih dalam proses pengaturannya yang bermakna aturan dalam bidang bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum ialah kaidah untuk menertibkan masyarakat, alasannya itu aturan mesti dapat mengikuti irama pertumbuhan masyarakat, bahkan hukum mesti mampu mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih sempurna dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan aturan, dengan begitu terdapat interklasi dan interaksi antara hukum dan pertumbuhan masyarakat.

Namun tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang mengikuti kemajuan hukum dalam penduduk yaitu Kesadaran aturan dan kepatuhan masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran aturan ini sangat memainkan tugas penting dalam perkembangan aturan artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, makin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin besar lengan berkuasa kesadaran hukumnya semakin berpengaruh pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas aturan dapat dinikmati eksklusif oleh masyarakat.

  Ideologi Agama, Pemahaman Sesat Pada Era Revolusi Mental

B. Kesadaran Hukum (Legal Awareness)

Kesadaran aturan itu kiranya dapat dirumuskan selaku kesadaran yang ada pada setiap manusia ihwal apa aturan itu atau apa aturan itu, sebuah kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita yang membedakan antara hukum dan tidak aturan (on recht) antara yang seyogyanya dikerjakan dan tidak dijalankan.

Kesadaran aturan merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, ihwal keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran aturan sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran nilai-nilai yang terdapat dalam manusia perihal hukum yang ada.

Kesadaran berasal dari kata sadar.  yang memiliki arti insaf, merasa, tahu atau mengerti . Menyadari berarti mengenali, menginsafi, merasai. Kesadaran memiliki arti keinsafan, kondisi mengetahui, hal yang dicicipi atau dialami oleh seseorang. Kesadaran hukum mampu bermakna adanya keinsyafan, keadaan seseorang yang mengetahui betul apa itu aturan, fungsi dan peranan hukum bagi dirinya dan penduduk sekelilingnya.

Kesadaran hukum itu berarti juga kesadaran ihwal hukum, kesadaran bahwa hukum ialah bantuan kepentingan manusia yang menyadari bahwa insan mempunyai banyak kepentingan yang membutuhkan dukungan aturan.

Kesadaran aturan perlu dibedakan dari perasaan aturan. Kalau perasaan aturan itu merupakan evaluasi yang muncul secara serta merta (spontan) maka kesadaran hukum ialah evaluasi yang secara tidak pribadi diterima dengan jalan pedoman secara rasional dan berdalih. Sering kesadaran aturan itu dirumuskan selaku resultante dari perasaan-perasaan hukum di dalam penduduk .

Kaprikornus kesadaran aturan tidak lain ialah pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat perihal apa hukum itu. Pandangan-pandangan hidup dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk dari pertimbangan-pertimbangan berdasarkan akal saja, akan tetapi berkembang di bawah dampak beberapa faktor mirip agama, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan wacana merosotnya kesadaran aturan. Pandangan perihal merosotnya kesadaran hukum disebabkan alasannya terjadi pelanggaran-pelanggaran aturan dan ketidakpatuhan hukum. Kalau kita mengikuti isu-gosip dalam surat kabar, maka boleh dikatakan tidak ada hati melalui dimana tidak diangkut gosip wacana terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum. Berita-gosip tentang penipuan, penjambretan, penodongan, pembunuhan, korupsi, kredit macet, manipulasi dan sebagainya saban hari dapat kita baca dalam surat kabar. Yang mengenaskan ialah bahwa tidak sedikit orang yang seharusnya menjadi panutan, orang yang tahu aturan melakukannya, baik dia petugas penegak aturan atau bukan. Yang mengkhawatirkan yaitu bahwa meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas dan volumenya saja, namun juga dalam kualitas atau intensitas serta jensinya. Tidak hanya pelanggaran aturan atau ketidakpatuhan hukum saja yang terjadi namun juga penyalahgunaan hak dan/atau wewenang.

Akibat peristiwa-insiden tersebut di atas dapatlah dikatakan secara umum bahwa kesadaran hukum penduduk akil balig cukup akal ini menurun. Pada hakekatnya kesadaran aturan itu tidak hanya berafiliasi dengan aturan tertulis. Tetapi dalam kaitannya dengan kepatuhan aturan, maka kesadaran aturan itu muncul dalam proses penerapan hukum faktual tertulis.

Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan hukuman.

Dalam konteks kesadaran aturan maka tidak ada hukuman didalamnya, hal ini ialah perumusan dari golongan aturan tentang evaluasi tersebut, yang telah dilaksanakan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam insan tentang hukum yang ada atau ihwal hukum yang diharapkan ada. Menurut Soerjono Seokanto ada empat indikator kesadaran hukum, adalah :

  1. Pengetahuan aturan; seseorang mengenali bahwa sikap-sikap tertentu itu sudah dikontrol oleh aturan. Peraturan aturan yang dimaksud disini adalah aturan tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun sikap yang diperbolehkan oleh hukum.
  2. Pemahaman aturan; seseorang warga penduduk mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang aturan-aturan tertentu, contohnya adanya wawasan dan pemahaman yang benar dari penduduk perihal hakikat dan arti pentingnya UU No. 1 Tahun 1974 perihal perkawinan.
  3. Sikap hukum; seseorang mempunyai kecenderungan untuk menyelenggarakan evaluasi tertentu terhadap hukum.
  4. Pola perilaku aturan; dimana seseorang atau dalam sebuah masyarakat warganya mematuhi peraturan yang berlaku.

Dalam membahas ihwal kesadaran aturan masyarakat, terdapat relasi yang sangat dekat antara penegak aturan, masyarakat, sarana penunjang, budaya dan undang-undang. Sebagaimana usulan Soerjono Soekanto perihal aspek-faktor yang mensugesti penegakan hukum,  adalah :

  1. Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang.
  2. Faktor penegak aturan, adalah pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
  3. Faktor fasilitas atau fasilitas, yang mendukung penegakan aturan.
  4. Faktor penduduk , yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau dipraktekkan.
  5. Faktor kebudayaan, ialah sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

C. Kepatuhan Hukum (Legal Obedience)

Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang mempunyai arti tunduk, taat dan turut. Mematuhi memiliki arti menunduk, menuruti dan mentaati. Kepatuhan berarti ketundukan,ketaatan keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau sesorang. Jadi, dapatlah dibilang kepatuhan aturan ialah keadaan seseorang warga penduduk yang tunduk patuh dalam satu aturan main (hukum) yang berlaku.

Menurut penulis, Kepatuhan hukum ialah ketaatan pada aturan, dalam hal ini aturan yang tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Hukum dalam hal ini aturan tertulis atau peraturan perundang-permintaan memiliki pelbagai macam kekuatan, kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”.

Kalau sebuah undang-undang itu memenuhi syarat-syarat formal atau sudah memiliki kekuatan secara yuridis, tetapi belum tentu secara sosiologis dapat diterima oleh penduduk , ini yang disebut kekuatan berlaku secara sosiologis. Masih ada kekuatan berlaku yang disebut filosofische rechtsgetung, ialah bila isi undang-undang tersebut memiliki ketiga kekuatan berlaku sekaligus.

Dalam konteks kepatuhan hukum didalamnya ada sanksi aktual dan negatif, ketaatan ialah variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengan pinjaman sosial. Menurut Satjipto Rahardjo ada 3 aspek yang mengakibatkan masyarakat mematuhi aturan:

  1. Compliance, kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan sebuah imbalan dan perjuangan untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan kalau seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat kepada kaidah hukum tersebut.
  2. Identification, terjadi kalau kepatuhan kepada kaidah aturan ada bukan sebab nilai intrinsiknya, akan namun supaya keanggotaan kalangan tetap terjaga serta ada korelasi baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.
  3. Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari langsung yang bersangkutan.

Kepatuhan ialah perilaku yang aktif yang didasarkan atas motivasi sesudah dia menemukan wawasan. Dari mengenali sesuatu, manusia sadar, sehabis menyadari dia akan tergerak untuk memilih perilaku atau bertindak. Oleh alasannya adalah itu dasar kepatuhan itu ialah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan kenali golongan. Makara karena pendidikan, terbiasa, menyadari akan manfaatnya dan untuk identifikasi dirinya dalam golongan insan akan patuh.

Jadi mesti terlebih dulu tahu bahwa aturan itu ada untuk melindungi dari kepentingan insan, sehabis tahu kita akan menyadari kegunaan isinya dan kemudian memilih sikap untuk mematuhinya.

D. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Dalam Budaya Hukum Indonesia

Di dalam budaya hukum penduduk dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi aturan sebagai sebuah aturan main dalam hidup bersama dan selaku dasar dalam menuntaskan setiap problem yang timbul dari resiko hidup bareng . Namun jikalau dilihat secara materiil, sangat sukar membangun budaya aturan di negeri ini. Sesungguhnya kesadaran aturan penduduk saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran aturan masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang kasatmata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional bantu-membantu sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan kepada hukum yang berlaku. Oleh hasilnya sekalipun penduduk kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu penduduk kita tersebut patuh pada aturan tersebut.

  Penyertaan (Deelneming) Dalam Aturan Pidana

Kepatuhan kepada aturan yaitu ialah hal yang substansial dalam membangun budaya aturan di negeri ini, dan apakah sesungguhnya kepatuhan aturan itu ?. kepatuhan hukum penduduk pada hakikatnya adalah kesetiaan masyarakat atau subyek aturan itu kepada hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata patuh pada hukum.

Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada aturan karena penduduk tersebut dihadapkan pada dua permintaan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu berlawanan dengan kesetiaan yang lain. Misalnya penduduk tersebut dihadapkan pada kesetiaan kepada aturan atau kesetiaan terhadap “kepentingan pribadinya” yang berlawanan dengan hukum, mirip  banyaknya pelanggaran kemudian lintas, korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh pada aturan demi kepentingan eksklusif karena aturan tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak aturan alasannya kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik.

Sehingga dalam hal ini, kesetiaan kepada kepentingan eksklusif menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan tidak dapat mengemban amanah lagi untuk mengakibatkan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut penduduk selaku faktor yang menciptakan masyarakat patuh pada hukum.

Dalam perjuangan kita mengembangkan dan membina kesadaran hukum dan kepatuhan ada tiga tindakan pokok yang dapat dijalankan.

  1. Tindakan Represif, ini harus bersifat drastis, tegas. Petugas penegak hukum dalam melakukan law enforcement harus lebih tegas dan konsekwen. Pengawasan kepada petugas penegak hukum mesti lebih ditingkatkan atau diperketat. Makin kendornya pelaksanaan law enforcement akan menjadikan merosotnya kesadaran hukum. Para petugas penegak hukum tidak boleh membeda-bedakan kelompok.
  2. Tindakan Preventif, merupakan usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum atau merosotnya kesadaran aturan. Dengan memperberat bahaya hukum kepada pelanggaran-pelanggaran hukum tertentu dibutuhkan dapat dicegah pelanggaran-pelanggaran aturan tertentu. Demikian pula ketaatan atau kepatuhan hukum para warga Negara perlu diawasi dengan ketat.
  3. Tindakan Persuasif, yakni mendorong, memacu. Kesadaran aturan dekat kaitannya dengan hukum, sedang hukum yakni produk kebudayaan. Kebudayaan mencakup suatu metode tujuan dan nilai-nilai hukum ialah pencerminan daripada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran aturan mempunyai arti menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

Jika kita telah konsisten membangun negara ini menjadi negara aturan, siapapun harus tunduk terhadap aturan. Hukum tidak mampu diberlakukan secara diskriminatif, tidak memihak terhadap siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak keadilan aturan. Namun jika aturan diberlakukan diskriminatif, tidak dapat diandalkan lagi selaku sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui aturan rimba atau kekerasan fisik.

Oleh akibatnya aturan harus memiliki kewibawaannya dalam menegakkan supremasi hukum biar masyarakat dapat menghormatinya dalam wujud kepatuhannya kepada hukum itu sendiri. Dengan demikian perlunya membangun budaya aturan ialah suatu hal yang hakiki dalam negara hukum, dimana hukum harus dapat mengganti penduduk untuk menjadi lebih baik, lebih terencana, lebih bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan, lebih mampu membuat rasa aman.

S. Maronie

sebagai bahan kuliha Sosiologi Hukum