Buraq yakni kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad Saw dan Jibril saat kejadian Isra Mi’raj. Kecepatannya sangat hebat sekali, sehingga bisa mengalahkan kilat. Tapi sebagai sosok yang sangat penting dalam peristiwa isra mi’raj, buraq justru tidak pernah disebut dalam al-Qur’an. Keterangan ihwal buraq justru diperoleh dari hadits. Ada rahasia apakah di balik semua ini ?
Buraq dalam Al-Quran
Dalam al-Qur’an, ungkapan buraq sama sekali tidak disebutkan. Al-Qur’an cuma menyebut kata barqu, yang dalam kamus bahasa diartikan selaku “kilat”. Kata barqu inilah yang lalu dijadikan padanan untuk nama buraq.
Kata barqu dalam arti kilat disebut dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 19 dan 20, yang berbunyi :
“Atau mirip (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit dibarengi gelap gulita, guntur dan kilat (barqu); mereka menyumbat pendengaran mereka dengan anak jari-jari mereka, alasannya (mendengar suara) petir, sebab takut pada kematian. Padahal Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-nyaris kilat (barqu) itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menginginkan, pasti Dia melenyapkan indera pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Ayat lain yang mencantumkan kata barqu adalah Surat al-Ra’du ayat 12 yang artinya, “Dia-lah Tuhan yang menawarkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan impian, dan Dia mengadakan awan mendung.”
Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbab : Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, mengartikan kilat pada ayat – ayat di atas sebagai cahaya yang berkilat dan berkelebat sungguh cepat. ia yaitu ciptaaan Tuhan selaku tanda sebentar lagi hujan turun atau badai sedang terjadi.
Tidak adanya klarifikasi secara khusus dalam Al-Qur’an tentang kendaraan buraq ini membuat sebagian orang mempunyai pandangan yang berlawanan-beda tentang buraq. Apakah buraq itu sebuah binatang bersayap atau pesawat terbang? Jika binatang bersayap, apakah bentuknya seperti kuda atau yang lainnya? Jika suatu pesawat, apakah beliau mirip UFO atau pesawat melayang ?
Seseorang yang menilai buraq bukan hewan bersayap, namun pesawat melayang berpendapat bahwa sayap cuma dapat berfungsi dalam lingkungan atmosfir planet di mana udara ditunda ke belakang untuk gerak maju ke muka atau ditekan ke bawah untuk melonjak keatas.
Udara begitu hanya berada dalam troposfir yang tingginya 6 sampai 16 km dari permukaan bumi. Sementara, dalam isra mi’raj, Nabi harus menempuh perjalanan menembus luas angkasa yang hampa udara di mana sayap tak berguna malah menjadi beban. Makara, tidak logis jikalau Nabi menggunakan kendaraan hewan untuk sampai ke sidratul muntaha, suatu galaksi terjauh dari galaksi bimasakti kita, yang ada di jagat raya.
Sementara orang yang berpendapat bahwa buraq yaitu binatang bersayap justru berpikir sebaliknya. Pendapat ini mengkritik persepsi di atas yang melihat segala sesuatu dengan nalar dan tidak melirik pada faktor kekuasaan Tuhan. Menurut pertimbangan ini, apa pun mampu terjadi jika Tuhan telah berkehendak. Jika Nabi sendiri tidak terbakar kulitnya dikala ke sidratul muntaha, hal itu juga berlaku bagi buraq – apalagi, buraq bukanlah binatang pada umumnya mirip yang kita lihat di dunia. Tetapi, hewan surga yang sengaja diutus Allah untuk mengawalNabi Muhammad Saw.
Pendapat yang terakhir ini justru menilai usulan pertama yang tidak logis. Apakah pesawat terbang juga tidak terbakar saat menembus tata cara galaksi bimasakti kita dengan kecepatan sungguh tinggi? Jika hitung-hitungannya matematis, maka baik pesawat melayang, hewan atau Nabi niscaya terbakar. Tetapi, faktanya tidak demikian. Karena itu, melihat masalah isra mi’raj Nabi, jangan memakai nalar, tapi kepercayaan (akidah).
Lagi pula, pertimbangan yang menyampaikan bahwa buraq yakni pesawat terbang cuma menurut pada kemungkinan-kemungkinan saja, sementara yang beropini buraq yakni hewan bersayap berdasarkan pada hadits Nabi Saw.
Buraq dalam Hadits
Konon, pada tanggal 27 Rajab, Allah menunjukkan wahyu pada Jibril yang berbunyi, “Janganlah engkau bertasbih pada malam ini dan engkau Izrail jangan mencabut nyawa pada malam ini.”
Jibril mengajukan pertanyaan, “Ya Allah, apakah kiamat sudah sampai ?”
loading…
Allah berfirman, “Tidak, wahai, Jibril. Tetapi pergilah engkau ke nirwana dan ambillah buraq dan terus pergi kepada Muhammad dengan buraq itu.”
Kemudian Jibril pun pergi dan beliau menyaksikan 40.000 buraq sedang bersenang-bahagia di taman nirwana dan di tampang masing-masing terdapat nama Muhammad. Di antara 40.000 buraq itu, Jibril terpandang pada ekor buraq yang sedang menangis bercucuran air matanya. Jibril menghampiri buraq itu kemudian mengajukan pertanyaan, “Mengapa engkau menangis, ya buraq !”
Berkat buraq, “Ya Jibril, bahu-membahu saya telah mendengar nama Muhammad semenjak 40 tahun, maka pemilik nama itu sudah ternama dalam hatiku dan aku sehabis itu menjadi rindu kepadanya dan aku tak maumakan dan minum lagi. Aku laksana dibakar oleh api kerinduan.”
Berkat Jibril, “Aku akan menyampaikan engkau terhadap orang yang engkau rindukan itu.”
Kemudian Jibril memakaikan pelana dan kekang terhadap buraq itu dan membawanya terhadap Nabi Muhammad.
Kita boleh yakin atau tidak dengan dongeng di atas, alasannya saya mengambilnya dari www.malaysianiaga.com. Apakah kisah itu betul-betul diambil dari hadits Nabi yang otentik atau hadis qudsi ? Sebab, dalam tulisan itu sama sekali tidak disebutkan sumber riwayatnya.
Tapi, problem buraq merupakan binatang adalah faktual adanya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah didatangi Buraq yaitu seekor hewan yang berwarna putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari baghal. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut buraq tersebut menempel ke bumi.” (HR. Bukhari Muslim).
Setelah didatangi buraq, Nabi eksklusif menungganginya sehingga hingga Baitul Maqdis. Setelah itu ia mengikatnya pada tiang masjid. Sejurus lalu dia masuk ke dalam masjid dan mendirikan shalat sebanyak dua rakaat. Selesai shalat dia keluar. Jibril tiba dengan menjinjing semangkuk arak dan semangkuk susu. Jibril memerintahkan Nabi untuk menentukan : susu atau arak. Nabi memilih susu. Jibril pun berkata : Engkau sudah memilih fitrah.
Setelah itu Jibril membawa Nabi ke langit. Sejak langit pertama sampai langit ke rujuh, berturut – turut Nabi bertemu dan disambut oleh para Nabi seperti Nabi Adam (langit pertama), Nabis Isa dan Zakaria (langit kedua), Nabi Yusuf (Langit ketiga), Nabi Idris (langit keempat), Nabi Harun (langit kelima), Nabi Musa (langit ke enam), dan Nabi Ibrahim (langit ke tujuh).
Setelah hingga langit ketujuh, Nabi menuju Sidratul Muntaha. Di Sidratul Muntaha itulah, risikonya Nabi mendapatkan perintah dari Allah untuk menjalankan shalat lima waktu.
Demikian proses perjalanan Nabi dalam isra mi’raj untuk menerima perintah shalat. Dari keterangan hadits di atas terlihat bahwa buraq ialah seekor hewan yang berwarna putih, bukan sejenis pesawat melayang.
Bahkan, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah menerangkan bahwa buraq itu yakni dabbah, yang berdasarkan penafsiran bahasa Arab adalah suatu mahkluk hidup berjasad, bisa laki – laki mampu perempuan, terpelajar dan juga tidak berilmu.
Buraq dalam Persfektif Ilmiah
Dalam perspektik ilmiah, buraq sendiri sering diartikan selaku “burung cendrawasih” yang oleh kamus diartikan dengan “burung dari nirwana” (bird oe paradise). Makna ini tidak meleset jauh dengan informasi hadits yang menyebutkan buraq mempunyai sayap. Bila dianalogikan, mungkin, buraq lebih mirip pada kuda atau keledai dalam bentuknya, tapi mirip burung pada fungsinya.
Sebagai kendaraan surga, buraq memiliki kecepatan yang sungguh luar biasa seperti kilat. Konon. para sarjana telah melaksanakan suatu observasi dan berkesimpulan bahwa kilat atau sinar bergerak sejauh 186.000 mil atau 300 km/detik; dan jarak antara satu galaksi ke galaksi lain sekitar 170.000 tahun cahaya. Tetapi, luar biasa sekali, Sidratul Muntaha yang entah terletak dimana, mampu ditempuh buraq cuma dalam setengah hari. Padahal, untuk menerobos garis tengah jagat raya saja membutuhkan waktu 10 milyar tahun cahaya.
Kejadian ini tampaknya begitu abnormal dan bahkan mustahil menurut peradaban manusia saat ini. Karena itu, Keneth Behrendt, seorang konsultan teknik dan mahir kimia Amerika, mengungkapkan pesimistiknya tentang perjalanan keluar angkasa jikalau hanya mengandalkan teknologi pesawat saja.
Berbeda dengan Kenneth Behrendt, Garnow justru perpendapat sebaliknya. dalam buku Physies Foundations and Frontier, Garnow menyebutkan bahwa bila pesawat ruang angkasa dapat melayang dengan kecepatan tetap menuju sentra sistem galaksi Bima Sakti, dia akan kembali setelah menghabiskan waktu 40.000 tahun berdasarkan kalender bumi. Tetapi menurut pilot, penerbangan itu cuma menghabiskan waktu 30 tahun saja. Perbedaan tampak begitu besar lebih dari 1.000 kalinya. Menurut, jarak atau waktu menjadi makin mengkerut atau berkurang kalau dilalui oleh kecepatan tinggi yang menyamai kecepatan cahaya.
Tapi, bisakah sebuah pesawat yang paling canggih sekalipun meraih Sidratul Muntaha ? Jelas tidak bisa, kecuali atas Kuasa Allah. Karena itu, kemampuan buraq bisa menerbos jagat raya hingga sampai galaksi terjauh yakni suatu misteri yang sangat sulit sekali terpecahkan, hingga kapan pun. Sebab itu, jangan pakai nalar, namun iktikad dalam memahami kecepatan buraq ketika menemani Nabi berisra mi’raj.