“JIKA puasamu bolong satu hari saja tanpa argumentasi, maka puasa-puasa lain di bulan itu tak akan diterima,” kata ibu tatkala gue kelas tiga sekolah dasar. Ajaib, untuk pertama kalinya puasaku penuh sebulan tanpa bolong sama sekali.
Kata-kata ajaib ibu itu terus menjadi motivasi buatku untuk selalu berpuasa & tak mau bolong satu hari pun. Namun, seiring usia, justru gue merasa puasa terasa kian berat & penuh godaan.
Yang sangat berat bagiku tatkala kecil tentu saja bangkit untuk makan sahur. Sehabis itu di minggu-minggu awal puasa, bawah umur & para remaja, akan menghambur keluar rumah. Rasanya asyik saja sehabis Subuh jalan-jalan tak tentu arah. Mereka yg sudah mengenal asmara tentu lebih menikmati kesempatan itu. Setelahnya kami meringkuk tidur & berdiri di siang hari. Laki-laki berkumpul di pos ronda, anak gadis lazimnya berkumpul di rumah sobat perempuannya dgn muka penuh bedak beras.
Siang hari di bulan mulia kampung terasa sunyi-senyap. Tapi begitu sore menjelang, suasana menjadi ramai. Orang-orang sibuk mencari bahan untuk berbuka, pasar kecamatan penuh, jalanan ramai, dapur & meja makan tak kalah ramai. Jam-jam menjelang berbuka yaitu ketika yg sibuk bagi semua orang. Kau tak akan menemukan sore semacam itu di waktu yg lain. Begitu adzan Magrib berkumandang, malam memperlihatkan dongeng yg lebih manis & mendebarkan. Anak-anak memperabukan lilin, main kembang api & mercon. Remaja lelaki membisikkan planning di kedai kopi, anak gadis merasa bebas menentukan mitra.
Menjelang Ramadhan rampung, masjid-masjid di sekeliling menyelenggarakan jadwal lelang kudapan manis untuk menghimpun dana pembangunan masjid. Para gadis yg didaulat memegang singgang (opor) ayam atau kue bolu (kali menyebutnya roda oto) pastilah merasa menjadi ratu. Tidak semua gadis yg menerima kesempatan untuk memegang kue atau singgang, karena harga dipengaruhi oleh gadis mana yg berdiri di samping MC.
Takbiran ialah malam yg ditunggu-tunggu. Kami, anak laki-laki ah, lelaki senantiasa lebih mujur dibandingkan dengan wanita berebutan naik truk yg disediakan untuk takbir keliling. Sehabis buka, kami akan melompat & berdesakan di dlm kolam, berebut mencari tempat yg nyaman. Pilihan yg pertama-tama pastinya bagian kepala truk.
Sepanjang jalan kami akan berpapasan dgn banyak mobil yg sama-sama takbir keliling. Kami menyiapkan pistol air yg diisi dgn pewarna. Tak jarang pula ada yg melempar watu yg kadangkala memicu perkelahian antar cowok di malam baik itu.
Ketika gue beringsut remaja, permasalahan kami bukan lagi sekedar menyembunyikan sandal para jamaah, main petasan & kerak lilin. Seiring usia, gue mendapatkan Ramadhan dgn ciri yg lebih manis & berkelas. Aku mulai mencari-cari celah untuk mendekati kawan wanita. Sebelum taraweh kami berkemas-kemas di luar masjid menunggu para dara masuk masjid & duduk rapi untuk mengaji. Suara mereka yg lembut & hening mengalun dr toa, tersebar di sepanjang kampung.
Kami punya cara-cara sendiri untuk menarik perhatian, merayu bagai pejantan yg ingin kawin. Keberhasilan yg paling luar biasa pastinya jika salah satu dr kami mampu menitipkan buku Catatan Agenda Ramadhan pada gadis pujaan.
Hari istimewa lainnya tentulah saat hari raya datang.
Lebaran sudah menyelamatkan kami dr hal-hal sederhana. Kami mendapat jatah baju baru, lemari rumah sarat dgn kue, ada sirup segala di meja makan. Kampung terasa lebih ramai, apalagi orang rantau banyak yg pulang.
Lalu hari raya memiliki kesan yg lebih berlainan tatkala gue remaja. Kami bermain di keramaian yg terletak di tengah desa. Kami mulai menggoda anak dara yg pula berkelompok sambil terkikik malu-malu. Sebagian yg lain tentu mulai mempunyai pasangan. Sepanjang tahun kami mulai kehilangan satu-dua kawan. Mereka yg sudah mempunyai pasangan punya cara berlebaran yg sedikit berlawanan. Tak senantiasa mampu tolong-menolong. Saat itu kukira mereka sudah memperoleh makna Lebaran yg lain pula.
Tak ada yg mampu merasa gerak waktu. Aku & mitra-mitra berebut besar. Sebagian meneruskan sekolah hingga SMA, sebagian yg lain menghabiskan waktu di bahari & muara. Sebagian menghilang ke tanah lain. Namun kami masih merasa debar yg sama tatkala Ramadhan mulai berkunjung. Tapi itu tak usang, kami tak lagi mendapat jatah baju gres, tak lagi mengantongi pistol air & bedil-bedilan. Di pundak kami mulai dikalungkan beban hidup & tanggung jawab menjadi orang dewasa.
Kemudian saya, & beberapa kawan yg lain, sesudah Lebaran itu, bersama orang-orang cukup umur yang lain memilih pergi dr kampung. Rantau yg menjadi opsi tentu tanah seberang.
“Aku tak mampu pulang Lebaran ini,” kata-kata itu akan mulai terdengar dr mulut para perantau. Sekali, dua kali & mampu jadi lebih dr tiga Lebaran kami tak pulang. Usia cukup umur sudah melumat hal-hal paling manis dlm hidup. Kenangan manis yg cuma bisa dinikmati di hari Lebaran.
Di hari Lebaran ini gue mengingat mereka semua; orang-orang yg pernah masuk dlm hidupku. Kami tak selalu bisa bertemu meski di hari-hari besar seperti ini. Aku merindukan lagi masa kanak yg berdebar menunggu baju gres.
Aku merindukan masa remaja yg berdebar bareng dara pujaan di pesta pantai yg berkala diadakan sehabis lebaran.
“Aku tak cukup biaya untuk pulang, Bu,” kataku pada ibu tatkala meneleponnya di hari terakhir Ramadhan.
Di seberang ibu cuma menangis.
Aku cuma bisa mengenang ibu yg terlihat selalu muda di hari raya, bapak yg beberapa hari akan tetap tinggal di rumah, kawan-kawan dgn seragam warna-warni, ruang tamu yg penuh kue & makanan.
Aku mengenang itu semua. Hanya mampu mengingat.