close

Kemana Perginya Kucing-kucing | Cerpen Erwin Setia

Saya tak tahu ke mana perginya kucing-kucing saya. Malam tadi empat ekor kucing jantan itu masih di sangkar. Saya sendiri yg menaruhnya sesudah menenteng mereka pulang dr sudut-sudut perumahan. Saya masih muda. Ingatan saya masih tajam betul. Del Piero, Trezeguet, Di Baggio, & Nedved saya taruh di kandang. Tak salah lagi. Demikian adanya. Andai sangkar kayu selebar satu setengah meter itu mampu bicara saya percaya ia akan bersaksi bahwa kucing-kucing hitam itu sudah saya masukkan ke dalamnya. Entahlah kenapa subuh ini datang-datang sangkar menjadi kosong. Tak pula ada semacam jejak pencurian atau tanda bahwa kucing-kucing itu melarikan diri. Pintu kandang masih terkunci rapat seperti terakhir saya lihat tadi malam.

Saya mesti mengajukan pertanyaan pada ibu. Tapi, ia tak ada di mana-mana. Kamar ibu, kamar mandi, dapur, & ruang keluarga kosong. Biasanya pagi-pagi begini ibu menonton pengajian di televisi. Sandal maupun sepatu hak milik ibu pula masih teronggok di rak. Artinya ibu memang tak ke mana-mana. Tidak mungkin pula ibu berlangsung-jalan pagi dgn kaki telanjang. Ibu tak sedang hamil atau punya riwayat penyakit tertentu. Ibu pula pernah bilang syok jalan tanpa bantalan kaki. Sebabnya ia pernah tertusuk paku ketika ospek dulu. Sejak itu ia benci nyeker dan penatar ospek. Namun itu tak penting. Lalu dimana ibu?

Ayah, ya saya terpaksa mesti mengajukan pertanyaan pada ayah. Padahal saya malas sekali berbincang dgn dia. Pertama, sebab ayah sudah tak bisa melihat. Kedua, tatkala penglihatannya masih normal ia pula sering menghiraukan kata-kata saya & selalu memerintahkan saya bicara pada ibu. Ini saya kerjakan semata-mata karena terpaksa. Tak ada lagi jalan lain. Di rumah cuma ada saya, ibu, ayah, & kucing-kucing.

  Tikus dan Manusia | Cerpen Jakob Sumardjo

Saya mengetuk pintu kamar ayah & minta izin masuk. Saya ketuk tiga kali sesuai aturan yg berlaku. Tiap-tiap ketukan berjarak kurang lebih dua puluh detik. Namun selama semenit itu tak ada sahutan dr dalam. Saya coba tempelkan pendengaran kanan ke pintu untuk meraba-raba bunyi dr dalam. Tetap hening. Saya berpikir untuk memutar kenop pintu & membukanya sendiri. Ayah pernah melarang membuka pintu kamarnya kecuali seizin dia. Namun alasannya terpaksa saya terabas larangan itu. Maafkan saya ayah.

Kosong. Ayah tak ada di kamar. Hanya selimut yg terlipat rapi, bantal-bantal tersusun, laptop & sebuah buku tebal di atas meja baca. Tidak ada ayah. Ini pula di luar kebiasaan. Ayah tak pernah keluar kamar sebelum jam delapan pagi. Kecuali mungkin untuk buang air. Tapi di kamar mandi tak ada siapa-siapa. Soal kenapa ayah tak pernah keluar dr kamar sebelum jam delapan saya pernah tanyakan pada ibu. Namun ia menyuruh saya bertanya pribadi pada ayah. Saat saya bertanya pada ayah ia diam saja seperti umumnya ia mengacuhkan kata-kata saya. Lagi pula itu tak penting. Lalu dimana ayah?

Hampir frustasi, saya kembali menyelidiki sangkar di halaman rumah dgn impian bahwa tadi persepsi saya keliru. Bahwa bergotong-royong kucing-kucing itu masih di sangkar. Menggelung tidur & sedang mimpi indah—apakah kucing mampu bermimpi?— ah, itu tak penting. Namun sangkar tetap kosong. Saya usap-usap mata & sangkar tetap kosong. Saya buka pintu kandang dgn kunci yg semenjak tadi di saku & kandang tetap kosong. Bahkan tak ada sehelai bulu kucing atau kotoran yg mengering. Seakan-akan tak pernah ada yg menempati sangkar ini. Lalu dimana kucing-kucing saya?

  Cahaya di Malam Seribu Bulan | Cerpen La Birruni

Langit masih agak gelap. Fajar belum rekah. Bingung dgn suasana yg tak lumrah & aneh mirip ini saya punya inspirasi untuk kembali ke kamar & tidur. Saya rasa tidur yaitu solusi terbaik untuk menanggulangi suasana seperti ini.

Namun saya tak mengantuk. Saya justru mengambil ponsel dr saku celana untuk menelepon ibu & ayah. Mungkin mereka sedang pergi & sengaja tak menginformasikan saya. Saya menekan-nekan layar ponsel tetapi tak bisa. Ponsel saya mati. Saya tekan tombol di segi ponsel pula sama. Ponsel saya tak bisa diaktifkan. Saya ulangi berkali-kali & hasilnya sama saja. Ini menjengkelkan. Kalau saya tak mempertimbangkan harganya sudah saya banting benda logam balok itu.

Betul-betul pagi yg tenang & menjengkelkan. Tunggu dahulu, saya mirip mendengar samar-samar bunyi. Dari manakah? Oh, rasanya suara itu berasal dr dlm rumah. Tetapi bukankah di dlm tak ada siapa-siapa? Persetan. Kali ini saya mesti lebih mematuhi telinga dibandingkan dengan mata saya.

Saya masuk ke rumah & mencari-cari arah hadirnya bunyi samar tersebut. Semakin akrab suara itu makin jelas. Awalnya saya mengira itu suara keributan, derai tawa, atau orang-orang mengobrol. Tetapi dugaan saya salah. Suara itu terdengar sedu. Seperti bunyi isak tangis atau memang begitu. Saya tak tahu. Semakin saya mendekati sumber bunyi itu kian saya mendekati kamar saya sendiri. Apakah itu bunyi timbul dr kamar saya?

Kini saya berada persis di depan pintu kamar. Kamar yg tiap hari saya masuki & tidur & melakukan acara apapun di dalamnya. Dan bunyi itu makin jelas. Malah bukan cuma isak tangis, saya kini mendengar bunyi kucing-kucing mengeong. Suaranya ibarat ngeongan kucing-kucing saya atau memang semua kucing mengeong seperti itu. Saya tak tahu. Hanya saja, dada saya datang-datang merasa sesak & persepsi saya berkunang-kunang.

  Pedagang Senja | Cerpen Sungging Raga

Tangan saya bergemetar. Kaki terasa berat sekali dilangkahkan. Saya ingin membuka pintu namun mirip ada tangan gaib menahan saya. Membuat badan saya kaku & diri saya ragu. Sementara bunyi-bunyi dr dlm kamar semakin menyanggupi pendengaran. Saya ingin berhenti mendengar suara-suara tersebut. Suara-suara yg begitu menyiksa & mencabik-cabik rongga dada. Saya belum pernah mendengar bunyi seperti ini sebelumnya.

Dengan gerak-gerak serupa robot alhasil tangan saya sukses menggapai pegangan pintu. Lalu dgn berat menarik & membukanya. Pintu terkuak. Di dlm kamar saya ramai sekali. Ada banyak orang. Saya tak kenal betul siapa mereka. Bukan hanya orang, ada pula kucing-kucing berwarna hitam. Orang-orang itu mengerumuni daerah tidur saya. Apa yg sebetulnya mereka kerjakan di sini?

Saya menyibak kerumunan. Di tepi daerah tidur saya ayah bangkit tegak dgn tatapan kosong. Di sampingnya ibu membungkuk. Sambil menangis ia mengusap-usap kepala sesosok tubuh di daerah tidur. Oh, saya sangat mengenal sosok yg terbujur kaku di daerah tidur itu. Ia menyerupai sekali dgn saya atau jangan-jangan ia yakni saya. Saya tak tahu. (*)