Kelas Sosial, Ekonomi Politik Seksualitas Pada Budaya Batak – Dayak – Jawa 2008 – 2017 Pontianak

Selama saya di Pontianak, apa yang dipelajari pada kehidupan sosial, dan kelas sosial para suku, Jawa , Dayak – Batak di Kalimantan Barat, termasuk Tionghoa (khek – Tiochu) dan Batak. 

Hal ini mampu dijawab pada pembangunan gereja keuskupan Agung Pontianak bahkan dari hulu dan hilir, sampai prilaku dan karakteristik orang disini Pontianak – Hulu Kalimantan Barat, bahkan mengetahui hasil genetika dalam tata cara keluarga, kepada kepentingan ekonomi politik.

Apa yang mempesona mengenai perjuangan kelas sosial?, dan selaku brutalnya orang Batak dan Tionghoa disini teruatama pada kepentingan ekonomi urbansiasi perkotaan, dan tinggal pada hasil seksualitas, serta politik.

Pekerjaan mereka sehari-hari dari kedua orang tua pun saya pelajari, mereka sebagai perompak kapal (makan orang), dan dengan kebudayaan Jawa tutur kata yang begitu garang Marpaung telah itu terang terjadi dinamika yang perlu dikaji secara individu, itu saja. balasannya diperoleh darimana, sengaja atau tidak.

Perjuangan kelas sosial, selaku budaya dan agama selama Gubernur Kalimantan Barat, menjadi baik ketika peran seksualitas menjadi politik periode 2008 – 2017 begitu menjijikan dihadapan Negara, selama beliau memimpin.

Hal ini disampaikan dikala aneka macam suku, etnik tidak mampu menonjolkan apa dalam kebudayaan daerah maka, seksualitas menjadi komoditi, yaitu peler dan pepek dalam kelas sosial mereka, bagi saya tidak menyenagkan, bila diukur untuk kriteria kesehatannya. Termasuk kebiadaban orang Tionghoa Hulu di RT 003, selama tinggal di pontianak rumah militer.

Suatu kesadaran dalam kelas sosial, menerangkan dalam hal ini baik dalam kebudayaan lokal di Kalimantan Barat, secara baik sesuai dengan karakteristik mereka, selama hidup dan berkesempatan hidup sebagai manusia atau hewan.

Tionghoa dalam hal ini pada aspek pendidikan dan moralitas mereka sebagai metode ekonomi, sosial dan politik menjelaskan kebiadaban mereka orang Batak dan Tionghoa pada suatu kebudayaan tetap dipahami sebagai orang yang mempunyai kelas sosial yang rendah, pada kelas pekerja dan upah 2000 – 2009.

Ketika hal ini, menjadi penting dalam keperluan seksualitas dan pendidikan, mereka tidak melu terhadap kitab dan mereka untuk hidup sesuai dengan kondisi ekonomi, politik dan budaya mereka selaku insan dan hewan hasil dari buah seksualitas Pontianak, Kalimantann Barat.

Hal ini di catatan dalam suatu perubahan moralitas mereka selaku insan, hidup berpindah pindah dengan pendidikan yang minim, serta wawasan budaya setempat, yang buruk, dan stastus sosial, kelas sosial. 

Dan mata pencaharian yang menyimpang (pendidik, dokter, makan orang, dan pedagang), hasil usaha kelas, dan problem kelas sosial mereka selama hidup berbudaya dan agama secara setempat, Indonesia dengan disengaja. Kaget aku…..begitu brutal sekali suku lokal ini.

Kehidupan yang ingin mengikuti kebudayaan Barat, padahal orang lokal Indonesia sudah menjelaskan bagaimana mereka hidup pada abad pemerintahan, dan petugas partai PDI Perjuangan. 

Ketika mereka kehilangan logika sehat dalam sebuah Negara, maka pembangunan gereja dan peletakan tempat suci menjadi penting dalam melihat kebiadaban mereka di abad lalu orang Dayak – Tionghoa – Batak di Kalimantan Barat 2017.

Di tambah lagi dengan dilema pertentangan sosial, dan eksistensi mereka sesudah menyadari perbuatan mereka, maka hasil seksualitas menjadi taktik mereka untuk hidup di Pontianak, walaupun cuma pacaran, itu wangsit siapa, pastinya siapa orang renta mereka oh Sihombing (perompak kapal itu). Kehilangan nalar dan kemaluaan guna meraih kelas sosial di lokal, Pontianak.