Seringkali dikala mengerti perkotaan akan berpikir perihal ekonomi, dan sosial yang berarti pada kehidupan sosial, serta imbas dari ekonomi itu sendiri. Persoalan sosial akan mempunyai tugas serta kepada budaya, dan kelakukan mereka di masyarakat serta budaya sosial mereka yang begitu jail pada masyarakat pedesaan yang tinggal di perkotaan.
Hal ini diketahui selaku urbansiasi ekonomi politik yang memiliki pengaruh pada aspek kehidupan sosial yang berasal dari hasil seksualitas yang dibentuk, direncanakan, dan menjadi permulaan dari kehidupan sosial, biasanya untuk pekerjaan, rencana kejahatan ekonomi Kota Pontianak (Tionghoa – Batak) dan lainya. Itu ialah orang seperti PDI Perjuangan dan dosen (oknum) Arizona – dapil kota Pontianak, dan provinsi, lazimnya mencari panggung.
Penjelasannya, tentang siapa mereka di masyarakat yang cuma sebagai petugas partai politik, bermodal seksualitas. Itu yakni orang Batak – Jawa, – Tionghoa hasil asimilasi budaya, dan ketidakmaluan mereka terhadap sistem ekonomi yang mereka terima dari Jakarta – Pontianak, dan pedesaan.
Maka, mampu diterangkan dengan baik budaya makan orang mereka di Kalimantan Barat, dan Pontianak pada Orang Batak itu menjelaskan dan planning kejahatan kala sekarang di Pontianak. Orang pribumi di sini seperti Dayak, yang hidup pedesaan dengan pengetahuan yang rendah menjelaskan dengan lantang, dan begitu yakin diri untuk mengatakan mengenai sistekm pertanian.
Dayak Kabupaten Landak, memang orang Dayak dikala ini jika buat konflik sosial, etnik, dan wawasan dikala ini berasal dari kehidupan budaya dan spritualitas yang tidak mempunyai nilai dna moralitas dihadapan pemuka agama, dan hidup pada tembok agama Kristen dan Protestan di Indonesia.
Apa bedanya dengan Islam dalam hal ini, biasanya orang tersebut mencari panggung, mengenal dan sebagainya, sebagai identitas diri mereka di penduduk dikala ini ?
Pada kala pemerintahan Cornelis MH – Sutarmidji diulangi kembali sejarah tersebut. Itu yakni pembangunan insan dan sumber daya manusia yang begitu bobrok, dan ingin memaksa seksualitas Sihombing, tanpa memahami identitas diri dan bagaimana mereka berekonomi sosial di kehidupan sosial politik mereka guna bertahan hidup.
Orang Tionghoa, dipelajari teruatam pada kelas sosial menagah kebawah dan hanya selaku buruh kapal, menjelaskan identitas diri mereka secara apik, dan rasional. Apa yang dihasilkan dalam hal ini selaku kalangan umumyang tidak mempunyai moralitas, dan adat dalam pendidikan, dan seksualitas di penduduk Marpaung.
Itu ialah citra hasil Kalimantan barat Tionghoa – Batak – Dayak, alasannya bukan siapa – siapa, maka secara kolektifitas menyerang RT 003 Siregar, Orang Melayu Pontianak, Keuskupan Agung Pontianak, di Paroki MRPD itu, dan ketidakjujuran dalam bekerja terlihat dalam lingkungan rumah tangga, dan kelas sosial.
Kehiduapn sosial yang mampu dipahami dari hasil kecurangan hidup, dan kebrutalan mereka secara psikologis menerangkan bagaimana mereka hidup di masyarakat umum, agama, dan budaya mereka hingga saat ini di Lokal, Indonesia, sudah menjadi catatan kehidupan sosial mereka secara agama di penduduk lazim, dari hasil pekerjaan kotor 1967 – 2008, Pontianak – Kalimantan Barat.