Kebusukan | Cerpen Benny Arnas

Kepalanya lengkung pisang tanduk, kedua bola matanya berwarna magenta, telinganya yakni daun sirih yg sudah tua, mulutnya yg berlumur darah akan menampakkan taring yg menyerupai belalai gajah yg gres berkembang.

Anak itu melihat hantu.

Katanya, jumlah hantunya aneka macam. Herannya ia menyaksikan hantu-hantu itu justru bukan di rumah kosong, gedung yg tak terawat, atau di pemakaman lazim. Ia melihatnya di Hotel Permata, hotel bintang lima di kota kami. Akulah yg mengajaknya ke sana. Aku pun tak tahu jikalau sebenarnya anak itu memiliki kelebihan.

“Dia bukan anak indigo. ia cuma diberi Tuhan untuk mengungkapkan kebusukan,” ujar Maliki, ayahnya tatkala mendengar simpulanku wacana kesanggupan anaknya. “Dia bahkan tak bisa menyaksikan hantu!” lanjutnya.

Ah, jawab pria yg sehari-harinya berprofesi sebagai kontraktor itu terdengar ngawur, menurutku.

Aku mendatangi rumah Maliki untuk sama-sama pergi ke konferensi para anggota DPRD kota kami. Kami sendiri bukan anggota DPRD. Tapi kami tertarik untuk mencoba mencalonkan diri alasannya beberapa teman yg sudah menduduki jabatan itu mengalami pergantian hidup, khususnya di bidang ekonomi, yg grafiknya berkembangtajam. Andre yg dulunya seorang aktivis LSM yg masih numpang dgn mertua, sekarang sudah punya suatu rumah mewah dgn Alphard dan Grand Livina yg menghuni garasinya; Maria, anak pengusaha sawit di kabupaten yg sering kami juluki otak udang tatkala Sekolah Menengan Atas dulu, justru kerap diundang ke sana-sini menjadi narasumber dlm seminar wacana perempuan—tentu sebab ia ialah satu dr segelintir perempuan yg jadi anggota DPRD; Agung yg dulunya cuma pelukis yg sempat membuka penyewaan tenda, sekarang senantiasa wara-wiri dgn beberapa asisten yg selalu mengawal—ia betul-betul tak lagi tampak selaku seorang pelukis pinggiran; kemudian Nui, Aliakib, & Arwin….

  Tangisan dari Bawah Tanah | Cerpen Saleojung

Mengapa orang-orang yg sungguh kukenal -beberapa bahkan teman SMA- justru yg menjadi orang berhasil. Wakil rakyat. Ah, sungguh jabatan yg bersahaja dgn konsekuensi yg glamor. Adakah yg lebih membanggakan sekaligus membahagiakan selain menjadi wakil rakyat?

Ah, gue & Maliki tentu punya tujuan yg berlainan. Maklum ia tergolong orang berada, sementara gue hanya pengajar honorer di beberapa sekolah swasta sambil sesekali nulis di koran setempat.

O ya, gue kembali lagi pada ceritaku tadi.

Ketika gue gres saja hendak memencet bel rumah Maliki, anaknya yg kutaksir berusia tujuh tahun merengek-rengek kepadaku. Ia minta diajak ke Hotel Permata. Ternyata Maliki sudah pergi ke hotel itu tanpa menungguku (atau gue yg terlambat tiba?) dgn meninggalkan putra semata wayangnya yg sungguh ingin ikut. Anaknya menangis, betul-betul menangis. Sesekali histeris. Sesekali sesenggukan. Aku tak tega. Meskipun tidak boleh pembantu, gue berkeras menjinjing anak itu masuk ke mobilku. Tentu saja pembantunya tak perlu curiga karena tentu ia mengenalku sebagai kolumnis di surat kabar setempat. Lagi pula gue pernah dua kali bertandang ke rumah Maliki tatkala anaknya sedang tak ada.

“Nanti ia malah menciptakan gaduh, Pak,” ujar pembantunya dgn nada cemas.

Insya Allah jika sudah ketemu papanya, ia akan tenang,” ujarku sok tahu.

*****


Sang anak masih belum sadarkan diri tatkala dibawa ke rumahnya. Tapi syukurlah ia sudah sempat meneguk setengah gelas air putih tatkala sempat siuman sebentar dlm perjalanan tadi.

“Aku minta maaf sudah lancang mengajak anakmu ke hotel tadi, Lik,” ujarku sembari memijit-mijit kaki kanan putranya. “Aku memang tak tegaan melihat belum dewasa menangis. Apalagi nangisnya keras banget. Maaf, istrimu ke mana ya, Lik?”

  Cerpen: Yang Dipersembahkan Kepada Tuhan

“Kebetulan final-akhir ini istriku sibuk penyuluhan antinarkoba ke beberapa pusat rehabilitasi di luar kota. ia dikontrak sebuah perusahaan produk kesehatan untuk tugas itu. Sudah ku-BBM. Kebetulan ia baru landing tadi. ia pribadi ke sini. Mungkin dalam waktu dekat tiba,” jawab Maliki. Aku tak menyaksikan ada raut ketegangan di wajahnya alasannya adalah peristiwa memalukan di hotel siang tadi: putranya menceracau alasannya melihat banyak hantu dlm ruangan hotel, sebelum kemudian pingsan.

“Sekali lagi anakku bukan indigo,” ungkapnya.

Memangnya indigo itu selaku keburukan, pikirku.

“Dia paling takut bila ke tempat ibadah. Aku kan Islam & istriku Katolik. Katanya di masjid & gereja banyak orang nyunggi.”

“Maksudnya?” gue penasaran.

Banyak imam masjid, pendeta, & para jamaah yg membawa macam-macam makhluk & benda di atas kepala mereka. Istilahnya nyunggi. Ada yg nyunggi artis perempuan tel*njang, uang segepok, mobil mewah, bahkan dua ekor ayam yg tengah disabung.

Aku terenyak. “Makara, jangan-jangan tadi…?”

“Ayooo, ananda mulai berprasangka jelek sama mitra-kawan kita di hotel tadi,” potong Maliki sembari tersenyum ganjil.

“Ya, jangan-jangan tadi ia menyaksikan hal serupa di kepala sahabat-teman kita yg anggota DPRD itu, Lik.” Entah mengapa, gue mengutarakan hal itu dgn sedikit gembira.

“Tidak, sepertinya tak mirip itu,” kilah Maliki. “Tidakkah kaudengar bila ia melihat banyak hantu tadi?”

Aku manggut-manggut sambil berpikir.

“Anakku tadi menceracau bila banyak hantu berkepala kayak pisang, bermata merah, indera pendengaran kayak daun, & ekspresi bertaring & sarat darah.”

Aku bergidik. “Menyeramkan ya, Lik? Apa mungkin sobat-sahabat kita yg sukses itu sebejat itu, ya? Penglihatan bawah umur kan masih bersih.”

Seorang wanita memasuki kamar dgn langkah tergesa. Aku kenal wanita cantik dgn stiletto, blazer, & rok selutut itu. Walau lupa namanya—sebagaimana gue yg pula lupa nama anaknya, namun gue masih ingat kalau ia yakni istri Maliki. ia mencium berkali-kali kening putranya yg masih terbaring.

  Menanti Kematian | Cerpen Jujur Prananto

“Besok-besok Bibi harus bener-bener dibilangin. Anak kita mesti benar-benar dijaga,’’ ujarnya tanpa menoleh.

Maliki melirikku yg merasa tak lezat hati. “Tadi memang salah Papa. Papa yg minta teman Papa jemput dia. Papa kasihan saja sehabis dapat telepon dr Bibi bila ia nangisnya keras banget.” Ah, Maliki rela pasang tubuh untuk temannya.

Alhamdulillah!” seru perempuan itu—seolah tak memedulikan penjelasan suaminya—begitu mendapati putranya perlahan-lahan membuka matanya.

Setelah minum air hangat, paras anak itu kembali mirip tak terjadi apa-apa.

“Apa yg ananda lihat tadi cuma perasaanmu, Sayang,” ujar perempuan itu mirip sudah hapal tabiat anaknya yg mempunyai kemampuan lebih.

“Tidak, Ma. Aku kan sering melihat hantu-hantu mirip yg ada di hotel tadi.”

“O ya?” seru perempuan itu sembari menatap Maliki. “Di mana itu, Nak?” Ia kembali memutar leher ke arah anaknya.

“Di rumah.”

“Kaprikornus, di rumah kita banyak hantunya?” tanya mamanya.

“Di sini pula ada, Ma,” jawab putranya. “Kepala Mama kayak pisang, gigi Mama bertaring, telinga Mama lebar, mata Mama ungu, hidung Mama tajam, Mama abis ngisap darah ya? Papa juga. Sama kayak Mama. Aneh-gila sekali….”

Maliki & istrinya bersipandang. Ada raut kecemasan yg mengerubungi paras mereka.

Tiba-tiba putranya menoleh ke arahku.

Aku ingin berlari keluar namun kedua kakiku seperti dipaku. Kini anak itu mengangkat sebelah tangannya, menunjuk ke arahku. Aku serta merta merasa menjadi insan penuh dosa. (*)