Berbagai problem sosial penduduk Tionghoa, dan Batak dimulai dari profesi mereka selaku pendidik, dokter, dan pekerja, jelas bagaimana mereka hidup sesuai dengan karakteristik mereka di penduduk , dengan adanya metode budaya, dan pekerjaan mereka di era kemudian, terperinci pada masa kolonial Belanda, hingga ketika ini kurun revolusi mental, dan Industri Belanda – 1945 – 21.
Asimilasi budaya, yang mereka buat sesuai standar kota Pontianak – Desa, jelas bagaimana mereka hidup pada sistem politik seksualitas mereka ciptakan menurut faktor kehidupan pinggiran, dengan adanya tata cara politik pada era masa petugas partai PDI Perjuangan Gubernur Kalimantan Barat tersebut.
Catatan dalam hal ini, dengan banyak sekali budaya Timur tentunya adanya budaya lokal, guna mendapatkan tata cara seksualitas mereka kepada berbagai hal terkait insan itu, dikala migrasi (Tionghoa – Dayak), kehidupan mirip itu layaknya direncanakan oleh mereka dengan aneka macam konflik sosial, konflik pada metode politik, dan organisasi keagamaan yang mereka persiapkan dengan tidak mengurang rasa hormat dan dilema sosial mereka di kala lalu.
Berbagai hal terkait itu, tentunya agresif atau tidak ialah karakteristik mereka, dikarenakan mata pencaharian atau ekonomi mereka seperti petani, pekerja, khususnya di Kalimantan Barat, dan buruh pelabuhan.
Proses usaha kelas sosial, mereka sebut dengan aneka macam orang yang datang dengan adanya budaya – agama dan moralitas mereka sendiri atau kehilangan kesadaran diri mereka kepada faktor kehidupan budaya mereka, Sihombing, Pontianak.
Hal ini jelas bagaimana mereka hidup pada tata cara budaya Jawa – Batak mereka, bagaimana mereka hidup dan tinggal dengan metode kelas sosial mereka yang dihasilkan dari perjuangan kelas pekerja. Berbagai ilmu pengetahuan yang minim tentunya ada, tergolong pada susukan kehidupan budaya sosial yang ada di masyarakat secara umum.
Untuk menyadari banyak sekali dilema sosial dan pertentangan sosial mereka, hendaknya diikuti dari aneka macam suku, yang memang mempunyai hasil kecurangan bagaimana mereka hidup dalam berprofesi dan berbudaya selaku suku.
Kehidupan mirip itu, terlihat bagaimana mereka hidup dengan moralitas pendidikan mereka, guna masuk pada metode kelas sosial. Hal ini menjadi salah satu budaya atau perayaan bagi Jawa – Dayak – Batak tentang keadaan perkampungan mereka secara lazim. Hal ini berbeda dengan budaya yang lain, terang bagaimana mereka hidup usaha kelas sosial, secara khusus.
Ketika hal ini menjadi bagian dari setiap aktivitas, Sihombing – Marpaung – Siregar – Malau (pendidikan) memang mempunyai cara licik saat setiap momen politik seskualitas mereka, di Kalimantan Barat, dan bagaimana mereka untuk mampu bertahan hidup, untuk menciptakan kondisi seksualitas, dan pertentangan sosial, seksualitas antar suku, dan agama.
Sistem pendidikan yang diciptakan, pastinya masih jauh dengan kebudayaan lainnya, jelas bagaimana mereka hidup dengan pendidikan dan kesehatan yang mengkhwatirkan ialah saat “orang” alasannya adalah mampu berpura-pura baik, dan berlindung pada tembok agama Kristen – Protestan – Islam, dan lembaga pendidikan Katolik, pada Orang ( Sihombing – Siregar 2008 – 2017), Pontianak Indonesia, sebelumnya telah terjadi.