Keadaan Dan Jenis Naskah Jawa

Keadaan Dan Jenis Naskah Jawa 
Naskah atau manuskrip Jawa yaitu ‘karangan goresan pena tangan, baik yang orisinil ataupun salinannya’ (Poerwadarminta, 1954 : 447; Onions, 1974 : 554), yang memakai bahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun Jawa Baru, yang ditulis dengan aksara Jawa, Arab Pegon atau Arab Gondil, Latin, dan lain-lain, pada bahantulis lontar, daluwang, dan kertas pada umumnya.
Titik pangkal penciptaan karya tulis naskah Jawa telah berawal pada abad ke-9 (Zoetmulder, 1983 : 21). Berapa jumlah naskah Jawa sampai pada waktu sekarang ini tak terbilang banyaknya; betapa aneka ragam isinya pun tak terhingga macamnya. Pendek kata jumlah naskah melimpah, dan isi naskah mencakup lingkupan luas, merupakan curahan fikiran dan perasaan nenek moyang yang mampu menunjukkan citra tentang hal-tentang penduduk jamannya (Haryati Soebadio, 1975). Oleh alasannya adalah itu dengan mempelajari naskah dapat membantu pemahaman kebudayaan bangsa pada umumnya.
Makalah ini menyajikan uraian wacana kondisi dan jenis naskah Jawa, bertujuan mendapatkan citra mengenai dunia pernaskahan Jawa pada umumnya. Dengan demikian diharapkan dapat memperkuat pemahaman dan kesadaran akan warisan budaya bangsa yang berharga lagi memiliki kegunaan bagi kepentingan nasional (Harsya W. Bachtiar, 1973).
I. KEADAAN NASKAH JAWA
Dalam membahas kondisi naskah Jawa ini akan lebih memusatkan perhatian kepada dua hal, ialah penyimpanan naskah dan penanganan naskah. Dua hal itu kiranya cukup mampu menunjukkan citra keadaan naskah Jawa secara menyeluruh, kendatipun hanya sekilas.
1. Penyimpanan Naskah
Berapa jumlah naskah-naskah Jawa sampai kini belum dapat dimengerti dengan niscaya. Sebagian besar di antaranya telah dihimpun dalam koleksi naskah lembaga-forum ilmiah baik milik pemerintah maupun yayasan swasta, baik di Indonesia sendiri ataupun di luarnya. Sebagian naskah yang lain lagi tersimpan dalam koleksi eksklusif yang masih tersebar luas di seluruh lapisan penduduk . Tempat menyimpan sebagian besar naskah-naskah Jawa dapat dimengerti dari banyak sekali kata logus atau daftar naskah, tersebar di antara 21 negara. Kecuali di Indonesia, Austria, Belgia, Britania Raya, Cekoslovakia, Denemarken, Hongaria, Irlandia, Italia, Malaysia, Nederland, Norwegia, Perancis, Republik Demokrasi Jerman, Republik Federasi Jerman, Republik Persatuan Sosialis Uni Soviet, Selandia Baru, Swedia, Switzerland (Hooykaas, 1950 : 193-209; Willem van der Molen, 1984 : 12-49).
Di antara kawasan-tempat yang dimengerti banyak menyimpan naskah Jawa pada ketika ini yaitu : Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta (lihat Poerbatjaraka, 1933, 1940, 1950), Gedong Kirtya Singaraja khusus naskah Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan (lihat Goris, 1935, 1937), Bagian Naskah Perpustakaan Universitas Leiden Nederland (lihat Pigeaud, 1968, 1970, 1980), dan beberapa perpustakaan di Britania Raya (lihat Ricklefs & Voorhoeve, 1977, 1982).
Naskah-naskah Jawa di sentra kebudayaan Jawa banyak tersimpan pula di Tepas Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan Yogyakarta (lihat Mudjanattistomo, 1971), perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, Museum Sanabudaya Yogyakarta, Sanapustaka Karaton Surakarta, Reksapustaka Pura Mangkuneagaran Surakarta, dan Museum Radyapustaka Surakarta (lihat Girardet, 1983). Namun, belum seluruh naskah yang menjadi koleksi kawasan penyimpanan, naskah-naskah tersebut dimasukkan dalam katalogus. Sebagai acuan contohnya di Museum Sanabudaya Yogyakarta masih terdapat beberapa puluh naskah dalam almari yang belum terjamah (Darusuprapta, 1982, 1983, 1984).
Naskah-naskah Jawa koleksi beberapa forum lainnya lagi seperti : Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta , Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional di Yogyakarta, Kirti Griya Dewantara, dan Proyek Javanologi, baru dalam tingkat terdaftar. Demikian pula halnya naskah-naskah koleksi perpustakaan Fakultas Sastra UI, UGM, UNS, dan beberapa pemerintah tempat, misalnya Banyuwangi dan Sumerep. Bahkan naskah-naskah koleksipribadi, milik individual yang tersebar luas tercatat pun tidak. Naskah-naskah yang sudah terhimpun itu berasal dari aneka macam tempat lapisan masyarakat serta menampung isi yang bermacam ragam.
Dengan demikian guna mengetahui jumlah dan jenis naskah-naskah Jawa semuanya masih diharapkan tindakan pendataan, dengan observasi dan pencatatan lebih lanjut. Hasil yang diraih lalu dapat dikembangkan sehingga ialah himpunan data naskah, selaku sumber keterangan ihwal dunia pernaskahan Jawa (Cf. Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1980/1981 : 99-104).
2. Penanganan Naskah
Banyak forum, baik di pusat maupun di daerah, baik pemerintah maupun swasta, yang mempunyai aktivitas menanggulangi naskah. Hal itu menunjukkan bahwa persoalan naskah dipandang penting (Cf. Achadiati Ikram, 1980/1981: 74-79; Mastini Hardjoprakoso, 1980/1981: 84-91).
Penanganan naskah pertama-tama dengan mengadakan penyelamatan. Kegiatan dilaksanakan dengan berbelanja naskah milik perorangan untuk dikumpulkan, menyediakan kawasan untuk menyimpan naskah-naskah yang sudah terkumpul, menyusunnya dalam daftar inventaris dan katalogus, mengadakan perbaikan naskah dengan reparasi dan penjilidan baru,menyelenggarakan perawatan naskah dengan memelihara kebersihannya dari kotoran bubuk dan menjaga keutuhannya dari serangan serangga, mengusahakan pengawetan naskah dengan pengaturan suhu udara di kawasan penyimpanannya.
Guna mengadakan evakuasi naskah tersebut jelas memerlukan persediaan dana banyak. Di samping itu juga memerlukan tenaga yang mempunyai pengetahuan dalam perawatan dan pengawetan naskah, serta yang memiliki rasa kasih sayang terhadap naskah. Kenyataan membuktikan bahwa belum semua lembaga yang memiliki aktivitas menanggulangi naskah itu mampu menyelenggarakan penyelamatan naskah dengan seharusnya.
Penanganan naskah yang kedua adalah dengan menyelenggarakan pelestarian. Kegiatan dikerjakan dengan menciptakan salinan atau turunan naskah, baik dengan transkripsi, dari dan ke karakter yang serupa, maupun dengan transliterasi, dari dan ke huruf lainnya; dengan membuat reproduksi fotografi, baik dengan mikrofilm, ataupun dengan mikrofis; serta menciptakan suntingan naskah dengan menerapkan tata cara kritik teks sesuai dengan sifat tiap-tiap naskah.
Kegiatan dengan pelestarian naskah tersebut beberapa di antaranya sudah dilaksanakan, baik oleh individual secara eksklusif ataupun oleh sebab mengemban peran instansi. Misalnya penyalinan naskah dengan transliterasi di Museum Radyapustaka dan Pura Mangkunegaran atas kolaborasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan di Museum Sanabudaya. Hasil yang diraih tidak atau kurang menyenangkan. Banyak kesalahan ditemukan di dalamnya, misalnya : salah pengertian yang berakibat salah dalam penyalinan, salah baca yang berakibat salah dalam pemutusan kata, salah ejaan, dan salah dalam pengetikan.
Kesalahan-kesalahan tersebut kebanyakan disebabkan sebab tenaga-tenaga yang mengerjakan tidak terdidik atau kurang berpengalaman dalam duduk perkara transliterasi. Memang benar mereka memiliki kemampuan membaca abjad naskah, tetapi mereka tidak menguasai ejaan bahasa Jawa dengan abjad Latin yang disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Ada kalanya terasa mereka tidak mengetahui arti kata yang digunakan dalam teks, dan mereka tidak mengenali pula teknik perbaikan teks dalam transliterasi. Bahkan kesalahan itu mungkin saja bertambah atau terjadi akibat pengetikan yang tidak teliti.
Hasil-hasil transliterasi yang demikian itu sebelum dihidangkan terhadap lazim sebaiknya telah diperiksa oleh tim yang bertanggungjawab. Berdasarkan pengalaman itu berikutnya lalu tenaga-tenaga yang mau melaksanakan transliterasi seyogyanya telah memiliki atau mendapat bekal dasar-dasar wawasan tentang transliterasi yang cukup mencukupi. Dengan demikian hasil kerjanya dapat diperlukan lebih membuat puas, kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak terjadi mampu dikesampingkan.
Kegiatan pelestarian dengan transkripsi remaja ini rupa-rupanya kurang mendapat perhatian. Padahal penting demi untuk mendapatkan wujud naskah dalam bentuk yang serupa semula, dan demi untuk meneruskan tradisi salin-menyalin naskah yang telah berjalan selama ini. Di samping itu juga selagi pada masa kini ini masih ditemukan tenaga-tenaga yang memiliki kemahiran dalam salin-menyalin naskah sesuai dengan bentuk tulisan aslinya.
Penanganan naskah yang ketiga yakni dengan penelitian. Kegiatan penelitian naskah mampu dilakukan dari segi sastra, baik dengan analisis dan interpretasi yang terlepas dari hal-hal di luarnya, maupun dalam kaitannya dengan lingkungan yang melatarbelakangi di sekitarnya. Di samping itu observasi naskah mampu dikerjakan dalam segi bahasa, baik dengan analisis ketatabahasaan naskah, ataupun masalah umum segala komponen kebahasaan yang dapat memperlihatkan citra latar belakang penulisannya. Sebagai acuan misalnya penulisan karya ilmiah dalam jenjang pendidikan tertentu menurut naskah, seperti : paper, skripsi, tesis, dan desertasi.
Kegiatan observasi naskah Jawa di luar jenjang pendidikan sampai sekarang ini terasa kian agak baik. Hal itu dapat dibuktikan dengan usulan dan dana yang ditawarkan oleh beberapa lembaga observasi, seperti Balai Penelitian Bahasa, dan juga Proyek Javanologi. Meski jumlah masih terbatas, tak sebanding dengan banyaknya naskah, kiranya cukup menggembirakan, asal setiap tahun budget senantiasa tersedia.
Pada segi lain sebaiknya minat dan perhatian peneliti berkembang meningkat , tetapi kenyataannya tidak banyak yang kasar melaksanakan. Harus diakui bahwa jumlah peneliti naskah memang kecil, dan jumlah peminat calon peneliti naskah pun sedikit. Barangkali hal itu disebabkan alasannya kurang adanya kesadaran dalam masyarakat, bahwa penelitian naskah sangat diharapkan guna menggali dan mengungkapkan warisan budaya bangsa, baik sebagai sumber ide ataupun sebagai fasilitas evaluasi dalam pembentukan kebudayaan nasional.
Penanganan naskah yang keempat adalah pendayagunaan naskah. Adakah faedah naskah pada waktu sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diuraikan lebih dahulu tentang isi naskah, kendatipun secara ringkas.
Naskah-naskah Jawa mengandung isi yang bermacam-macam. Ada naskah yang mengandung komponen peristiwa-kejadian pentng dalam sejarah, sikap, dan pikiran serta perasaan penduduk yang menjalani serta mendukung kejadian, pandangan baru kepahlawanan, perilaku bawahan terhadap atasan dan sebaliknya. Ada naskah yang melukiskan pentas pertunjukkan diikuti peralatannya, dan lain-lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa naskah cukup berguna, dapat ialah sumber bagi pemahaman terhadapberbagai segi kehidupan dan kebudayaan. Isi naskah tersebut tidak akan dimengerti masyarakat bila naskah itu tidak diteliti, tidak diungkapkan isinya. Naskah-naskah yang mengandung isi nilai-nilai, harapan, hukum-aturan, pegangan dan anutan hidup, yang dipandang sebaiknya dipakai dalam kehidupan masyarakat, wajib diteliti dan diungkapkan. Hal itu memiliki kegunaan untuk menunjang usaha-usaha pembinaan jiwa dan pengembangan kepribadian.
Kegiatan pendayagunaan naskah ini dikerjakan antara lain dengan macapatan, dengan membaca naskah dibarengi pembahasan pada peluang tertentu, mengangkat isi naskah untuk digubah dalam pertunjukan pertunjukkan, mengangkat isi naskah untuk dibahas dalam ceramah dan sarasehan, membuat terjemahan sehingga mampu dibaca dan diketahui oleh mereka yang tidak mengenal bahasa naskah. Selain terjemahan mampu pula digarap dengan bentuk saduran, ataupun ringkasan.
Penanganan naskah yang kelima ialah penyebarluasan. Penyebarluasan yang dimaksud yakni dengan mengadakan penerbitan segala hasil acara, terutama yang berbentuksuntingan naskah dengan terjemahan serta pembahasan, demikian pula hasil-hasil observasi yang lain yang menurut naskah.
Penyebarluasan penerbitan naskah sampaumur ini telah banyak dilakukan oleh badan pemerintah, mirip Balai Pustaka dan yang lain. Hal itu cukup mengasyikkan, namun layak disayangkan dengan banyaknya terdapat salah cetak di dalamnya, dan terbatasnya jangkauan penyebarannya.
II. PENJENISAN NASKAH JAWA
Penjenisan naskah mampu dipandang selaku sesuatu yang membatasi pada dan dibatasi oleh peneliti naskah. Secara teori, penjenisan menurut azas ketertiban : menggolong-golongkan atau mengelompok-kelompokkan sesuatu dalam hal ini naskah berdasarkan tipologi tertentu, bukan menurut waktu dan kawasan. Kaprikornus, terlepas dari dilema kapan dan di mana naskah ditulis. 
Penjenisan naskah adalah pengelompokkan naskah menurut ragam-ragam tertentu yang menjadi ciri khas sehingga berlawanan dengan yang lain. Namun harus dimaklumi, kadang kala tidak mudah menentukan suatu naskaah tergolong jenis mana, sebab banyak sekali ragam yang dikandungnya.
Dengan bertambahnya naskah, kategorinya pun mungkin saja berubah. Kerangka penjenisan dapat dikembangkan lebih lanjut, dan dapat diringkas lebih sederhana, bahkan mampu pula diciptakan bentuk lain.
Sebagai pola di bawah ini diuraikan secara ringkas penyuguhan yang telah dilaksanakan oleh beberapa penyusun katalogus naskah dengan azas dasarnya masing-masing. Dengan demikian dibutuhkan dapat memperlihatkan citra tentang penjenisan naskah Jawa sampai kini.
1. Katalogus Naskah Vreede
Vreede, guru besar Jawa di Universitas Leiden, pengganti Roorda. Ia sudah menyusun katalogus naskah Jawa bersama naskah Madura koleksi perpustakaan Universitas Leiden, di Nederland (Vreede, 1892).
Dalam katalogus itu Vreede menggolongkan naskah-naskah Jawa koleksi perpustakaan Universitas Leiden tersebut dalam sembilan jenis, yakni :
1) Puisi Epis
2) Mitologi dan Sejarah Legendaris
3) Babad atau Kronik
4) Cerita Sejarah atau Roman
5) Karya-karya Dramatis, Wayang, Lakon
6) Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan
7) Karya-karya Hukum, Kitab-kitab, Undang-undang
8) Ilmu dan Pelajaran : Tatabahasa, Perkamusan; Pawukon (Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan.
9) Serba-serbi
2. Katalogus Naskah Juynboll
Katalogus Juynboll menampung tambahan-pemanis yang melengkapi katalogus Vreede. Katalogus Juynboll ini terdiri atas dua jilid (Juynboll, 1907, 1911).
Isinya selain memperbesar naskah-naskah Madura, sebagian besar lagi memuat naskah-naskah Jawa. Pengelompokkannya berlawanan dengan katalogus Vreede, terbagi dalam enam jenis dengan perincian sebagai berikut :
1) Prasasti-prasasti dan Turunan-turunannya
2) Syair Jawa Kuna (Kakawin)
3) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Tengahan
4) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Macapat
5) Syair Jawa Baru dengan Metrum Macapat
6) Prosa :
(1) Jawa Kuna
(2) Jawa Pertengahan
(3) Jawa Baru
Penggolongan di atas jelas merefleksikan landasan bentuk gubahan dan jenis bahasa yang digunakan dalam naskah.
3. Katalogus Brandes
Brandes (1857-1905), yakni murid Vreede dan Kern. Ia bekerja di Jakarta sebagaipegawai bahasa dari tahun 1884 sampai meninggal tahun 1905. pada tahun 1885 Brandes mencar ilmu kepada Ven der Tuuk di Singaraja. Setelah Van der Tuuk meninggal dnia pada tahun 1894, Brandes ditugaskan menyusun bahan-materi hasil penelitian yang sudah dilaksanakan oleh Van der Tuuk. Di antara bahan yang telah terkumpul itu yaitu bahan-bahan katalogus Jawa, Bali, dan Sasak.
Katalogus tersebut terbit dalam empat jilid (Brandes, 1901,1903, 1904, 1916). Penyajiannya tidak dengan digolong-golongkan, tetapi dengan disusun berurutan mengikuti huruf naskah. Jelasnya selaku berikut :
Jilid I (1901) : Adigama hingga Ender.
Jilid II (1903) : Gatotkacarana sampai dengan Putrupasadji.
Jilid III (1904) : Rabut Sakti hingga dengan Yusup.
Jilid IV (1916) : Naskah-naskah tak berjudul.
4. Katalogus/Daftar Naskah Poerbatjaraka
Poerbatjaraka (1884-1964), yang lama melakukan pekerjaan selaku konservator di Museum Nasional Jakarta, sudah menyusun daftar naskah-naskah Jawa koleksi forum tersebut. Daftar naskah itu termuat dalam Jaarboek Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1933.
Sebagai daftar maka disusun berdasarkan urutan huruf naskah, dari Aanteekeningen (‘Catatan’) Bratajoeda hingga dengan Zon en Maan (‘Matahari dan Bulan’). Kaprikornus metode penyusunannya seperti dalam katalogus Brandes, tanpa dengan dikelompok-kelompokkan.
Di samping itu sebetulnya secara terpisah Poerbatjaraka menciptakan uraian yang khusus berdasarkan naskah-naskah Jawa, yakni tentang naskah-naskah Panji (Poerbatjaraka, 1940), naskah-naskah Menak (Poerbatjaraka, 1940), dan naskah-naskah Rengganis-Ambiya-Sastra Pesantren-Suluk dan Primbon (Poerbatjaraka dkk, 1950).
Penggolongan selanjutnya yang direncanakan tetapi tidak terwujud sampai kini, antara lain yakni : Kakawin, Parwa, Babad, dan Kitab Undang-Undang.
5. Katalogus Pigeaud
Pigeaud, yang sampai renta tua sekarang masih selalu menggeluti naskah-naskah Jawa koleksi perpustakaan Universitas Leiden, sudah sukses menciptakan katalogus naskah Jawa yang tersimpan dalam Perpustakaan lembaga tersebut, dan beberapa lembaga lain di Eropa serta di Indonesia. Katalogus Pigeaud itu terdiri atas empat jilid (Pigeaud, 1968, 1970, 1980), dengan sistematika pembagian naskah secara garis besar dalam empat jenis, sebagai berikut :
1) Agama dan Etika
2) Sejarah dan Mitologi
3) Sastra Indah
4) Ilmu Pengetahuan, Kesenian, Ilmu Sastra, Hukum, Folklore, Adat-istiadat, Serbe-serbi.
Pembagian di atas dipandang mencerminkan empat hal yang berhubungan bersahabat dengan rancangan dasar alam fikiran Jawa. Demikianlah naskah jenis 1) ialah golongan yang dipandang cukup penting dan mendasar, kemudian jenis 2) keduanya saling berjalinan, bahkan ada kalanya berkaitan dengan jenis 1). Naskah jenis 3) banyal pula yang mengandung bagian-bagian jenis 1), 2), dan bahkan 4) yang memancarkan rancangan dasar kebudayaan Jawa dalam segala sisi kehidupan. Sebaliknya naskah jenis 4) mengandung juga komponen jenis 1), 2), dan 3).
Demikianlah ragam naskah sering beraneka ragam, sehingga kadang kala tidak gampang dimasukkan dalam satu jenis. Sebagai acuan contohnya Serat Centhini.
6. Katalogus Ricklefs-Voorhoeve
Ricklefs, yang bantu-membantu seorang sejarawan, bersama dengan Voorhoeve, sudah menyusun katalogus naskah-naskah dari Indonesia—di antaranya naskah-naskah Jawa—yang terdapat di Britania Raya (Ricklefs dan Voorhoeve, 1977, 1982). Naskah-naskah tersebut tersimpan dalam koleksi perpustakaan lembaga-forum ilmiah yang tersebar di beberapa kawasan di seluruh Britania Raya.
Dalam menyelenggarakan penggolongan naskah-naskah Jawa didasarkan atas bahasa yang dipakai secara kronologis (?) atau dialektologis (?), sehingga terdapat penjenisan selaku berikut:
1) Naskah-naskah Jawa Baru
2) Naskah-naskah Jawa Pertengahan
3) Naskah-naskah Jawa Kuna
Kemudian dibandingkan dengan itu dikelompokkan terang menurut kawasan-tempat penyimpanannya. Tempat-daerah penyimpanan naskah Jawa yang disebutkan antara lain ialah di : Bodleian Library, British Library, British Museum, India Office Library, Royal Asiatic Society, dan di School of Oriental and African Studies. 
7. Katalogus Girardet-Soetanto
Girardet yang insinyur itu, ternyata cukup besar perhatiannya dalam dunia pernaskahan Jawa. Ia dengan sumbangan Soetanto telah sukses menyusun katalogus naskah Jawa dan juga yang telah tercetak yang terdapat di Surakarta dan Yogyakarta. Naskah-naskah Jawa tersebut utamanya yang tersimpan dalam koleksi perpustakaan-perpustakaan : Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, dan Museum Sanabudaya (Girardet-Soetanto, 1983). Kendati belum seluruh naskah terjamah dan tertuang di dalamnya, tetapi katalogus tersebut besar artinya bagi studi pernaskahan kebanyakan, Jawa terutama. Kekurangan-kelemahan dapat disusulkan pada waktu yang mau tiba.
Girardet dan Soetanto menyelenggarakan penggolongan mula-mula dengan mengelompokkan tempatnya—mirip Ricklefs dan Voorhoeve yakni di perpustakaan : Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, dan Museum Sanabudaya.
Berbeda dengan Ricklefs dan Voorhoeve, kemudian Girardet dan Soetanto menggolongkan jenis naskah pada tiap-tiap penyimpanan tersebut sebagai berikut :
1) Kronik, Legende, dan Mite
Di dalamnya termasuk naskah-naskah : babad, pakem, wayang purwa, Menak, Panji, Pustakaraja, dan Silsilah.
2) Agama, Filsafat, dan Etika
Di dalamnya tergolong naskah-naskah yang mengandung komponen-komponen ; Hinduisme-Budhisme, Islam, Mistik Jawa, Katolik, Magi, dan Ramalan, sastra wulang.
3) Peristiwa Kraton, Hukum, Risalah, Peraturan-peraturan.
4) Buku Teks dan Penuntun, Kamus dan Ensiklopedi Tentang :