“Ketahuilah tentang hal-hal yang disunahkan ketika berhubungan intim, (ialah) di daerah yang kondusif dari orang yang mendengarnya. Suaranya juga (jangan) sampai terdengar, wahai kawan, dan di daerah itu tak ada orang lain meskipun anak anda.”
Pengarang kitab Al Madkhal berkata, “Orang yang hendak berhubungan intim bareng istrinya hendaknya mengikuti tuntunan (aturan-aturan) berhubungan intim yang sudah dijelaskan dalam blog ini. Yakni, dijalankan didalam rumah yang tidak ada orang lain, kecuali istri dan hamba sahayanya sendiri, karena senggama tergolong aurat, sedangkan aurat wajib ditutupi.”
Ibnu Burhan berkata dalam menjawab banyak sekali pertanyaan yang diajukan kepadanya, antara lain: “Suami jangan hingga berhubungan intim istrinya di dalam rumah yang ada orang lain disitu. meskipun anak kecil yang telah tamyiz. Juga jangan sampai berhubungan intim di bersahabat pembantu yang sedang tidur nyenyak, walaupun dirasa aman. Karena dikhawatirkan ia akan terbangun pada saat-ketika senggama telah mulai menginjak detik-detik menggetarkan seluruh badan. Kalau hingga terjadi, maka semuanya akan buyar, hati diliputi kekecewaan, dan timbullah mala petaka akhir senggama. Dalam hal ini orang-orang desa sama aja dengan orang-orang kota. Oleh alasannya itu jangan berhubungan intim jikalau didalam rumah itu masih ada orang.
Pendapat tersebut sama dengan usulan yang termaktub dalam kitab At Taudhih dan Asy Syamil. Jelasnya pendapat tersebut condong memberi hukum haram. Sebab, senggama yang dilaksanakan dalam kondisi tersebut akan mendatangkan kekecewaan, rasa aib, dan penyesalan, yang kesudahannya mampu mengakibatkan mala bencana alam diantara suami istri.
Oleh alasannya adalah itu, Imam Khattab dari Imam Jazuli berkata “Tidak akan berhasil bersenggama di kawasan yang ada orang yang lain.” Akn tetapi, Abu Abdillah Al Fakhkhar menerangkan, bahwa larangan berhubungan intim dalam keadaan mirip itu hanyalah sebatas makruh, karena hukum asal senggama yaitu mubah. Dihukumi makruh sebab sifat (rasa) malu termasuk tuntunan dalam agama. Hal itu sebagaimana dituturkan dalam kitab An Anwadir, bahwa Imam Malik menghukumi makruh persoalan-persoalan senggama mirip tersebut di atas.
Ketetapan hukum makruh ini dipandang dari segi kemungkinan suami mampu memerintahkan keluar orang yang ada di rumah itu. Apabila mustahil, misalnya dengan menyuruhnya keluar akan menjadikan sakit hati, alasannya adalah mereka berada dalam satu rumah, maka hendaklah sang suami menciptakan semacam pembatas yang mampu memisahkan (menutup) antara ia dan istrinya dengan mereka. Pembatas tersebut dibentuk sedemikian rupa, semoga dapat menyebabkan rasa kondusif dalam melakukan senggama. Di samping itu, perlu diingat, orang yang berhubungan intim utamanya saat menjelang ejakulasi biasanya bunyi rintihannya terdengar nyaring tanpa sengaja, sebab kebesaran nikmat yang diberikan Allah SWT. Dalam hal ini Syekh pe-nazham mengingatkan sebagai berikut :
“Boleh berhubungan intim dengan memakai pembatas yang tebal, hai cowok, bagi orang yang tinggal serumah bareng mereka.”
Syekh Ibnu Arafah berkata,”Jangan bersenggama, sementara di dalam rumah ada orang lain yang sedang tidur, selain tamu dan mitra kecuali bagi orang-orang yang berkecukupan. “Syekh Zahudi menyampaikan, bahwa larangan itu sangat beralasan bagi kebanyakan orang yang memiliki anak. Jika senggama terpaksa harus dikerjakan, datang-datang ketika ejakulasi akan berjalan sebagaimana mestinya si kecil terbangun, maka sang istri akan dan harus menghadapi melakukan ejakulasi secara serempak dengan sang suami dan kewajiban meredakan tangis si kecil.