close

Kartu Kredit dan Harga Diri Penulis | Catatan Beny Arnas

Sungguh, saya belum pernah melakoni percakapan dgn orang aneh seprosaik ini, semenggelitik ini, sehingga saya ‘hancur & lebur’ di tamat ceritanya.

*****

Sekitar pukul 3 petang, saya menerima telepon dr administrasi Ibis Hotel pusat. Suara perempuan. Ya untuk problem beginian pasti (suara) wanita yg ‘diutus’. Manajemen hotel hendak memberikan beberapa paket promo liburan tamat tahun.

Ketika saya bertanya bagaimana mereka menerima nomor ponsel saya, jawabannya masuk logika: alasannya tahun ini cukup sering saya bermalam di (cabang) hotel tersebut.

Saya pun baru menyadari jika sponsor (catet: sponsor, bukan duit ndiri!) kerap menyodorkan fasilitas akomodasi di (jejaring) hotel Ibis tatkala saya melaksanakan sejumlah perjalanan terkait pekerjaan (baca: menulis & berkesenian).

Simbak (saya izin menyebut si penelepon “simbak” ya, gais) minta izin untuk mengajukan empat pertanyaan singkat sebelum menyampaikan paket promo yg cocok buat saya.

“Beneran singkat ya, Mbak?” saya menegaskan. “Beneran cuma 4 pertanyaan, ‘kan?” saya agak bawel memang.

Dijawab cepat & meyakinkan oleh simbak, “Ya, Pak. Sangat singkat & cuma 4 pertanyaan.”

Baik.

Pertanyaan pertama: “Apakah kartu kredit Bapak klasifikasi premium atau Gold?”

“Wah, saya gak punya kartu kredit, Mbak.”

“Kalau istri?”

“Kalau istri saya punya! Anak saya tiga malah!” Saya refleks jawab begitu.

“Bukan itu, Pak,” Simbak tertawa kecil di seberang—walau ia seperti berusaha menyembunyikannya. “Istri Bapak punya kartu atau tidak, maksud saya.”

Saya manggut-manggut. Antara malu & malu banget.

“Pak …”

“Eh iya, Mbak?”

“Istrinya punya …?”

“Iya, Mbak,” potong saya cepat. Saya masih belum fokus.

“Punya kartu kredit?”

“Wah maaf, Mbak. Saya gak fokues ini,” pasti simbak berpikir saya sedang mempermainkannya. “Kami berdua sama-sama gak punya kartu kredit.”

  Ketika Mas Gagah Pergi | Cerpen Helvy Tiana Rosa

“Oohhh, baik, Pak. Apakah pernah punya?”

“Kayaknya nggak. Nggak pernah punya kartu kredit. Lebih tepatnya, memilih tidak punya kartu kredit.”

Hening sejenak.

Setelah menerima “rekomendasi” dr sahabat—bahwa tinggal di Eropa tanpa Google Maps & kartu kredit itu akan sungguh menyulitkan, saya membuat kartu kredit satu tahun kemudian. Meskipun sepulang dr Ceko, kartu kredit itu tak lagi dipakai sampai hari ini.

“Tapi Bapak benar pernah bermalam di Ibis di …? “ Ia menyebut beberapa kota yg pernah saya singgahi.

“Lha Mbak, ‘kan, mampu nomer hape saya dr metode data Ibis, kok malah nanya saya?”

“Maaf, Pak. Maksud saya, kami ingin memastikan metode pembayaran yg Bapak gunakan. Bapak membayar semuanya dgn cara tunai?”

“Emang bisa dicicil, Mbak?” Saya mulai kesal.

“Hmm, begini maksud saya, Pak,” suaranya mulai kurang terstruktur. “Bukankah …?”

“Jadi cuma yg punya kartu kredit yg bisa nginap di Ibis?” Saya gak murka tatkala mengutarakan pertanyaan balik ini kok, suer! Nada suara saya pun flat. Biasa saja. Saya cuma merasa mulai menikmati ‘permainan’ ini.

“Baik, Bapak,” si penelepon berupaya keras menenangkan dirinya sendiri. “Jadi semua dibayar tunai ya, Pak?”

Saya diam. Saya tak menjawab. Sebenarnya mampu saya jawab jika saya gak paham semua cara pembayaran itu. Wong saya tinggal masuk & rebahan di kasur.

“Halo, Pak? Halo?”

“Iya, Mbak,” jawab saya agak tergeragap. Saya secara tiba-tiba gak tegaan mendiamkannya lebih lama lagi. Pasti ia tambah resah. Kan ia cuma melaksanakan tugasnya #mendadakbijak

“Maaf, Pak, pekerjaan Bapak apa, bila kami boleh tahu?”

“Penulis.”

“Ohhh.”

“Oh ya, Mbak, bisa dipercepat, gak?”

  Kemarau dan Emas Merah | Cerpen Bahagia

“Iya, ini sudah sesuai mekanisme pertanyaan-pertanyaan saya, Pak.”

“Sesuai mekanisme bagaimana, wong Mbak sudah mengkhianati (yaelah “mengkhianati”) janji kita.”

“Mengkhianati? Kesepakatan kita? Kesepakatan apa?” Nada suaranya kentara sekali hasil gabungan resah & perasaan-bersalah. #BeuhBerasaNgomongSamaMantan

“Katanya cuma 4 pertanyaan, ini udah aneka macam pertanyaannya.”

“Ohhhh,” Mungkin simbak di seberang tertawa dlm hati. Kesepakatan? Itu saja kok namanya kesepakatan. Pengkhianatan? Beraaat!

“Saya minta maaf, Pak,” lanjutnya kemudian. “Itu cuma pertanyaan-pertanyaan lanjutan yg tak terprediksi dr pertanyaan pertama, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf jikalau sudah mengusik waktu, Bapak.”

“Oke, jadi apa nih paket promo yg cocok buat saya & keluarga?” Saya mulai tak sabaran.

“Baik, Pak. Terima kasih atas waktunya.”

“Lho kok main ‘terima kasih’ aja? Mbak sudah mengkhianati …”

“Maaf, Pak, saya gak bermaksud mengkhianati, ehmm, maksud saya, saya gak berencana, aduh kok saya jadi gundah gini. Maaf, Pak.”

“Ya, Mbak. Coba tenang dulu. Saya tunggu kok,” saya datang-datang merasa kasihan pada simbak. Perasaan kasihan yg lain. Yang ah …

“Begini, Pak …”

“Ya, Mbak.”

“Kalau Bapak atau Ibu tak memiliki kartu kredit, 3 pertanyaan lain tak jadi kami ajukan, Pak.”

“Ohhh jadi paket promo ini cuma untuk pemilik kartu kredit ya, Mbak. Begitu?” Saya kok gres ngeh ya.

“Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih atas waktunya. Mohon maaf jika sudah mengusik waktunya. Selamat sore.”

“Ohhh …” Tiba-datang saya mencicipi perasaan hampa yg tak terjelaskan. Ingin sekali saya memohon agar simbak membocorkan tiga pertanyaan itu biar durasi bicaranya bertambah barang beberapa menit, tetapi … oh sambungan sudah terputus, & itu artinya simbak sudah ‘membuang’ saya sebegininya. Bahkan, menanti saya menjawab salamnya pun ia tak sudi. Oh, apakah kudu punya kartu kredit supaya simbak-bersuara-merdu mau ngobrol usang-lama, eh maksud saya, supaya saya bisa mampu paket promo piknik dr Ibis?!

  Rembulan dalam Cappuccino | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Ohhh.

Ternyata benar, uang mampu membuat siapa saja mendekat & betah merapat. Saya gres saja mengalaminya! Ketiadaan kartu kredit menciptakan saya datang-datang jadi remah-remah rempeyek di hadapan simbak yg menyusup melalui pelantang suara ponsel saya jelang ashar itu.

Belum pernah saya didera perasaan tercampakkan seabsurd ini. Di mata orang abnormal yg yang dibuat dr jaringan GSM pula! Tetiba saya ingin tau, mirip apa nian rupa simbak, eh maksud saya, seperti apa nian rupa kartu kredit itu. Pasti tak sama-sama amat dgn kartu ATM, ye, kan! Kartu kredit itu, ingin sekali saya raba teksturnya & baui aromanya.(*)