Kartini Santri Mbah Sholeh Darat

Tanggal 21 April merupakan hari bersajarah bagi kaum wanita. Hari inilah diperingati selaku hari Kartini, yang menjadi ikon perjuangan emansipasi bagi kaum perempuan. Sosok Kartini memastikan bahwa perempuan mampu sejajar dengan kaum laki-laki baik dari segi wawasan maupun potensi untuk maju.
Dari berbagai literatur, R.A. Kartini lahir di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah pada 21 Januari 1879. Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas ningrat Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini mampu dilacak sampai Hamengkubuwana VI.

Raden Ajeng Kartini Santri Kiyai Soleh Darat

Takdir menggerakkan Raden Adjeng Kartini berjumpa dengan Kyai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya. Kemudian saat silaturrahim ke tempat tinggal pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini sekaligus mengikuti pengajian yag disampaikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat kesengsem dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat memperlihatkan ilmu wacana tafsir Al-Fatihah. Kartini terpana. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang dihaturkan.

Ini mampu diketahui alasannya selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.


Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut obrolan Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan aku bertanya bagaimana hukumnya kalau seorang cendekia menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
“Mengapa Raden Ajeng mengajukan pertanyaan demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini saya berkesempatan mengerti makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” hatur Kartini.
Kartini melanjutkan; “Bukan bikinan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran ialah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Kyai Sholeh mengucap subhanallah. Kartini sudah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melaksanakan pekerjaan besar yakni menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Sumber Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta semoga Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak dimengerti artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam karakter “arab botak” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada ketika dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan menyampaikan:

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi aku. Saya tak memahami sedikitpun maknanya. Tetapi semenjak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai terhadap makna tersiratnya, karena Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang aku pahami.”

(Inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat dia,.. sejarah sudah di simpangkan..
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menjamah nuraninya adalah:
الله ولي الذين آمنوا يخرجهم من الظلمات الى النور
Artinya : “Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya”, (Q.S. Al-Baqoroh: 257).


Sumber : mediasantrinu.com
dengan judul Kartini Adalah Santri