Terik mengkremasi kota. Beberapa gumpalan awan debu-abu bau tanah tampak di langit. Perlahan bergerak, bagaikan orang bau tanah bongkok yg memikul beban berat di punggungnya. Angin terhalang berembus. Jalan kota macet. Udara pengap. Saya sudah membuka semua jendela semoga angin yg malas berlari mampu lebih cepat mengusap kulit yg lembap oleh keringat.
“Nenek, mau ke mana? Sudah rapi. Panas begini mau pergi juga?”
“Sekarang kan Kamis.”
“Besok Jumat kan?” sahutku seenaknya.
“Kemarin Rabu,” Nenek menimpali sambil tertawa. Kami sering bercanda.
Nenek saya sudah rapi dgn kaos hitam. Mondar-mandir ke dapur, kamar tidur, & kamar mandi. Saya memperhatikannya sambil membolak-balik majalah perempuan. Sesekali saya mengamatinya melalui lirikan.
“Nek, panas begini jangan pakai kaos hitam. Mengisap panas. Mau enggak saya kasih baju kaos putih atau pink bermerek keren. Bisa menolak panas & mengisap keringat. Katun 100%. Mau Nek? Kemarin saya baru membelinya.” Tidak terdengar suara Nenek. Mataku mencarinya. Tidak tampak. Saya termangu sambil lanjut membaca majalah yg memperlihatkan banyak produk bergengsi buat ABG. Ada pula beberapa kisah menarik. Sesekali mengambil ampiang manis & renyah dr toples, yg dibawa nenek tiga hari lalu dr kampung.
Nenek hanya sesekali datang menengok kami. Ibu saya ialah putri satu-satunya, anak perempuan tunggal Nenek. Kalau Nenek tiba, ia senantiasa saja punya acara, berkunjung ke teman-temannya atau ikut seminar entah apa. Saya sibuk sendiri, sehingga tidak ingin tahu lebih jauh tentang aktivitas Nenek. Ibu saya seorang guru. Berangkat pagi pulang sore. Apalagi Bapak saya, seorang eksekutif yg mengontrol perusahaannya, meski sedang buang hajat di kamar mandi. Kami mirip punya kerajaan masing-masing, tak saling mengusik & menghormati satu sama lain.
Ibu & Bapak saya bahwasanya patut menjadi presiden & wakilnya, alasannya mereka sungguh demokratis. Saya tak pernah mendengar kata tak dr mulut mereka. Mereka cuma menekankan pada tanggung jawab, yg sesekali saja menegur saya jika mereka sudah mewaspadai kebenaran langkah-langkah saya. Saya senantiasa berkeringat, menyampaikan jawaban atas pertanyaannya: Mengapa? Saya mesti menerangkan perbuatan saya bahkan sering beradu argumen untuk menghentikan irisan-irisan tajam dr kelanjutan kata kenapa itu. Saya tak tahu dr mana Ibu & Bapak menemukan sistem interogasi, yg bagaikan pisau komando pasukan khusus itu.
Kadang-kadang kami tegang tak saling menyapa selama beberapa hari. Tetapi dgn cara mendidik mirip itu, saya merasa kondusif & selalu mempersiapkan pertanggungjawaban. Kami sering makan ke kedai makanan yg sederhana untuk mencampakkan kepenatan. Terutama jikalau Nenek sedang mengunjungi kami. Saya sering merasa kehilangan jikalau Bapak pergi ke luar kota lebih dr tiga hari. Soal Ibu, saya tak mau berkomentar, khawatir jika kalian akan bilang kepadanya, bahwa saya sering berlainan pertimbangan & sering tak menyukainya. Saya suka Nenek yg lembut namun misterius.
Nenek meninggalkan rumah sehabis dijemput oleh seorang laki-laki setengah baya & seorang perempuan yg rambutnya sudah disulam oleh benang-benang perak.
“Ora, Nenek pergi ya. Tunggu rumah!” Nama saya Aura, tetapi dipanggil Ora.
“Nenek pulang jam berapa?”
“Biasa, mungkin jam enam. Kita kan punya kesepakatan ke mall.”
Nenek tak mau mengubah baju kaos hitamnya dgn baju kaos putih atau pink yg saya tawarkan. Nenek pula menjinjing payung, mirip kedua orang yg menjemputnya. Mungkin untuk menyingkir dari sengatan terik matahari, atau mungkin hujan yg turun mendadak.
Sampai jam enam sore Nenek belum pulang. Ibu baru saja hingga. Kami berencana akan ke mall jam tujuh malam, atau lebih malam sedikit. Tetapi saya sudah lapar. Saya suka makan shabu-shabu dgn kuah tomyam. Ini pula kesenangan Nenek, & ia menyebutnya sop Thailand.
“Handphone Nenek tak bisa dihubungi,” kata Ibu pada Bapak yg baru datang, sambil mondar-mandir ke kamar mandi & dapur entah merencanakan apa. Ibu terlihat bingung. Saya sudah siap menggunakan baju pink. Tetapi Ibu bilang, kenapa baju itu tak diberikan pada Nenek. Saya bilang, Nenek tak mau. Nenek pergi dgn kaos hitam, topi hitam, celana komprang hitam, pula payung hitam.”
“Seperti anak muda, Bu. Nenek sarat semangat. Ke mana sih?”
“Kenapa Ora tak mengajukan pertanyaan pada Nenek?”
“Sudah Ora tanya, namun jawaban Nenek tak terperinci. Seperti hal yg sungguh eksklusif. Ya, Ora enggak mau mengganggunya. Apalagi sudah dijemput temannya, yg pula berpakaian hitam-hitam.”
“Itulah dunia Nenek,” jawab Ibu mirip tak serius. Saya merasa ada yg misterius, namun saya memang tak ingin mengetahuinya. Sudah cukup banyak duduk perkara yg harus saya selesaikan, baik dr meja kuliah maupun urusan pribadi saya. Pikir saya, biarlah Nenek mengerjakan apa yg berdasarkan Nenek baik, membuat kebahagiaan. Lagi pula, Nenek sendiri tak pernah mau menceritakannya. Ibu pula begitu, apalagi Bapak. Sepertinya mereka happy-happy saja, seperti saya juga.
Telpon Ibu berdering. Saya melihat Ibu yg dgn terampil & buru-buru mendengarkannya.
“Kaprikornus Nenek kini di UGD?” Ibu memanggil ibunya sendiri, mirip saya, dgn sebutan Nenek. Semua orang di rumah memanggilnya dgn istilah Nenek.
Ibu serius mendengarkan bunyi dr seberang. “Nenek tak apa-apa?”
Saya terdiam, memandang Ibu. Ia menawan napas panjang.
“Ya, ya tentu saja boleh. Bertiga. Nenek naik taksi saja bertiga, kita ketemu di rumah makan itu. Nenek masih ingat?”
Ternyata Nenek & kedua temannya sudah hingga lebih dulu. Seorang Kakek dgn rambut putih, topi hitamnya ditaruh di atas meja di depannya, baju tangan panjang hitam. Celananya biru tua. Perempuan sebaya Nenek duduk di sebelah kakek itu, menggunakan tutup kepala selendang hitam, seperti selendang orang kampung, ujungnya berjuntai menutup kebaya hitamnya.
“Nenek dr mana tadi?” gue menggelayut di pundak Nenek yg duduk di sebelahku.
“Oo, Ora tak tahu toh ke mana Neneknya tadi. Lihat di tivi, mungkin besok disiarkan,” sahut kakek itu.
“Ah, Nenek jadi selebriti dong. Kok diam-diam, Nek.”
“Tadi dr UGD Rumah Sakit di Gambir. Seorang nenek tiba-tiba sakit kepala. Tapi kini sudah sembuh.”
Ketika kami sedang memakan masakan pesanan masing-masing, si kakek yg duduknya menghadap televisi, setengah berteriak, “Nah, nah, itu beritanya. Lihat, itu Nenek kamu.”
Semua mata tertuju ke televisi. Tidak cuma kami, tetapi pula pengunjung kedai makanan yg lain. Mungkin mereka dikejutkan oleh suara si kakek. Saya tak berkedip menyaksikan Nenek. Saya tak melanjutkan menyuap nasi & tomyam. Langsung kehilangan nafsu makan. Nenek saya tampak di layar monitor dgn suara berapi-api.
“Suara kami tak pernah didengar pemerintah. Kami akan terus tiba ke sini, sampai Bapak yg berkuasa menepati janjinya. Naik kuda menjinjing candi, jangan lupa membayar janji. Sudah beberapa tahun kami hadir di sini, tetapi cuma dianggap angin kemudian, tak ditanggapi. Seolah tak ada perkara. Kami akan terus bangkit di sini dgn payung hitam, untuk tak melalaikan pelanggaran HAM & pembiaran. Jangan frustasi mitra-mitra! Kita akan terus datang kemari hingga…”
Suara Nenek semakin lantang. Seperti menjerit, hingga liputan terhenti. Tanpa saya sadari airmata mengalir di pipi & saya memeluk Nenek akrab-bersahabat.
Gambar yg ditayangkan tadi tak mampu hilang dr pandangan mata. Mereka berbaju hitam, topi & selendang hitam, pula payung hitam.
“Nenek, Ora besar hati. Ora gres tahu siapa Nenek sebetulnya.”
Jari-jari tangan Nenek yg lembut mengusap air mata saya. (*)