Setelah mendengarkan suatu cerita, Mahisa tak jenak lagi memejamkan kedua matanya, apalagi makan dgn hening. Semua pasti setuju bahwa dongeng itu memang sungguh-sungguh keramat. Ya, dongeng wacana masa, bahwa suatu ketika nanti matahari akan tergelincir dr ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala insan.
Sebongkah bara raksasa akan menjerang insan hidup-hidup dlm tungku yg terbangun dr kerikil-kerikil hati yg keras. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis mirip hujan di awal tahun. Dengan kaki telanjang, para insan akan merangkak, saling berebut mengendus keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang hingga mata kaki, lutut, dada, & balasannya meneggelamkan kepala mereka.
Mahisa tercenung di depan meja makan yg megah. Meja makan berbentuk lingkaran yg yang dibuat dr watu marmer. Meja makan otomatis yg mampu berputar sendiri, mempersilakan hidangan-menu istimewa untuk tuannya. Mata Mahisa mengusut satu per satu piring, mangkuk, & cawan berkaki yg semuanya berisi.
Seorang khadimah mendekatinya, “Mengapa Tuan tak bersegera makan? Bunda Nonya pasti akan memarahi saya jika Tuan tak jenak makan, hanya alasannya adalah hidangan masakan yg saya suguhkan kurang menarik.”
“Bukan. Bukan itu, Bi. Emm .… Bi, bibi pernah kelaparan.” Mahisa balas bertanya.
“Mengapa Tuan menanyakan itu?”
“Karena saya belum pernah. Bibi pernah?”
“Syukur alhamdulillah, sejak Bunda Nyonya kecil, bibi sudah ikut keluarga ini. Dan bibi maupun keluarga bibi belum pernah mengalami yg namanya kelaparan. Ya, na’udzubillah, Tuan!”
“Kok na’udzubillah? Memangnya rasa lapar itu sungguh seram ya, Bi?”
“Rasa lapar itu lebih mengerikan dr apa pun. Rasa lapar tiba dr perut. Dan perut yakni ibu dr segala kelaliman.”
Mahisa tercenung. Tak sedikit pun suguhan yg tersedia di hadapannya disentuhnya. Ia membayangkan matahari mengapung beberapa senti dr kepalanya. Ia bergidik ngeri. Beberapa detik kemudian ia berlari ke kamarnya.
“Tuan, Tuan kenapa? Mau ke mana? Tuan?” bibi mengejarnya.
Mahisa mengambil kaus jaketnya & berlalu, “Maaf, Bi. Saya ingin jalan-jalan. Nanti kalo Bunda telepon & menanyakan apa saya sudah makan atau belum. Bibi bicarakan saja kalau saya sedang puasa.”
“Tuan puasa?” bibi mematung.
Mahisa tersenyum & berbalik.
“Lalu Tuan mau ke mana?” bibi membuntutinya.
“Jalan-jalan.”
“Iya, jalan-jalannya ke mana?”
“Ke kampung lapar.”
“Kampung lapar?” bibi tercengang, mencerna sesuatu.
“Iya, Bi. Kampung yg menciptakan saya penasaran.”
Bibi terus mengintil, “Lalu Tuan pulang jam berapa?”
“Entahlah, Bi.”
“Kok entahlah?”
“Ya, saya akan pulang sesudah saya sungguh-sungguh kenyang dgn rasa lapar.”
Bibi mematung di depan pintu. Mulutnya menganga. Alisnya bertaut. Dahinya berkerut.
Mahisa bergegas meninggalkan bibi yg masih mematung di depan pintu. Ia sengaja meninggalkan kunci mobilnya di kamar. Ia cuma ingin berjalan. Benar-benar berlangsung dgn dua kakinya yg telanjang. Beriring langkahnya yg kukuh & terus berayun, sesuatu yg ada dlm kepalanya meletup-letup. Ia sudah hidup puluhan tahun, & bagaimana mungkin ia tak pernah merasakan lapar.
Hari-hari Mahisa terperangkap oleh perhatian bundanya. Maklumlah ia putra semata wayang. Sejak kecil, Mahisa sudah menjadi sebongkah emas bagi keluarganya. Jangankan kelaparan, digigit nyamuk pun bunda tak akan membiarkannya, bunda akan segera mengolesi bentolnya dgn minyak tawon. Meski bunda seorang perempuan karier, ia tak pernah lepas perhatian pada putra satu-satunya. Siapa lagi yg akan memperhatikannya. Pun papa tak mesti seminggu sekali ada, papa ialah seorang duta negara yg sibuk, yg selalu melaksanakan perjalanan jauh dgn pesawat melayang.
Ketika bunda nyonya berangkat kerja, semua kebutuhan Mahisa sudah dipasrahkan pada bibi, orang kepercayaan keluarga. Tak lupa, tiga hingga lima jam sekali, bunda nyonya menghubungi dr kantornya. Menanyakan apakah Mahisa sudah makan & minum vitamin, atau ia pergi ke mana & dgn siapa, lalu ngapain saja, pulang jam berapa. Begitulah rentetan pertanyaan bunda untuk Mahisa. Terkadang Mahisa mulai merasa bosan. Bukan, bukan bosan. Mahisa cuma merasa kurang nyaman dgn perhatian bunda yg berlebihan. Ia bukan lagi bocah belasan tahun. Tapi, apa pun keputusan bunda, Mahisa selalu menghormatinya.
Mahisa menoleh ke belakang, rumahnya yg menjulang masih terlihat dr kejauhan. Ia terus melangkah. Kaki putihnya mencengkram gili-gili. Setapak demi setapak. Sengatan matahari mulai menjilat tengkuknya. Ia menengadahkan wajah ke langit. Silau. Kakinya terus berayun, dr trotoar, sesekali meloncat ke jalan beraspal yg membara seperti oven steak. Detik-detik menggeliat kepanasan. Menit & jam berlalu menjadi bulir-bulir keringat. Seperti asap yg terjebak dlm tungku.
Jauh sudah ayun langkah Mahisa. Sama sekali ia tak tahu-menahu di mana sekarang ia berada. Baru saja ia melewati perbatasan kota kedua. Meski seringkali alisnya bertaut, tapi ia tak pernah khawatir kesasar, sebab ia betul-betul tahu arti tersesat. Yaitu, tatkala arah tak jangkau pandang & matahari berguling-guling beberapa senti di atas kepala. Itulah tersesat.
“Perutku.” Mahisa mengusap perutnya. “Sebentar lagi gue akan hingga di kampung lapar. Aku tak boleh beku langkah.”
Kaki Mahisa kini berayun dgn runtun, bagai langkah paskibra. Ia memicingkan mata tatkala tiba-tiba asap tebal menghalangi pandangannya. Ia mencium busuk plastik entah rambut terbakar. Ia tak peduli, ia cuma sedikit memperlambat langkahnya. Tatkala asap itu perlahan pudar, Mahisa menghentikan hentak langkahnya. Matanya nanar memandang sebuah kampung yg beratap seng & kardus-kardus bekas. Dari tempatnya berdiri, Mahisa bisa mengucup aroma kumal . Kumuh yg ajaib.
Mahisa kembali menggerakkan kakinya, ia melewati gundukan sampah yg menggunung di akrab pintu masuk kampung. Ia melewati rumah-rumah rapuh yg menjerit dlm membisu. Sunyi. Air kotor menggenang di mana-mana. Lalat & nyamuk sampah menguing. Tanah-tanah becek menguapkan amis lumut yg terkontaminasi keserakahan. Sesekali Mahisa mendengar jeritan parau dr dlm rumah-rumah yg pintunya tertutup oleh kain-kain kumal. Mahisa melihat dua anak kecil yg menggelosor di bawah dingklik sambil menjilati ingusnya. Berikutnya, ia menyaksikan ibu-ibu renta yg menyuapi anaknya yg busung lapar dgn makanan yg dikerubuti lalat. Mahisa tak menghentikan langkahnya. Matanya nyalang mirip kamera yg menjepret apa saja.
Langkah selanjutnya, Mahisa menyaksikan dua orang perjaka yg mencengkram kaki binatang yg meronta-ronta. Perempuan baya di sebelahnya menggenggam parang yg berkilat. Seorang anak kecil yg tak berbaju, bergelendotan di kaki perempuan itu. Mahisa mendekat.
“Apa yg akan kalian kerjakan.” Tanya Mahisa mengejutkan mereka.
“Kami akan menyembelih hewan ini.” Salah seorang cowok menjawab.
“Hei, itu bukan kambing, kan? Itu anjing, kan?”
“Oh, ini bapak kami. Beliau menjelma anjing. Beliau sendiri yg meminta kami menyembelihnya. Beliau hanya tak mau menyaksikan kami kelaparan.”
Mahisa terhenyak & nyaris muntah. Ia bergegas meninggalkan gerombolan itu dgn kaki mulai gemetar. Beberapa kali perutnya berkeriuk, berkabar tentang rasa lapar yg bergotong-royong. Mahisa mempercepat langkah kakinya. Tergesa. Ia terhenyak, serta merta menghentikan langkah, tatkala kakinya menyandung sesuatu. Sebuah kardus. Kardus yg tertutup kain tipis seperti taplak meja. Ada yg menggeliat dlm kardus itu. Mahisa mengajukan pertanyaan-tanya. Disingkapnya kain epilog itu perlahan. Seonggok bayi merah menggeliat menendang-nendang dinding kardus. Mahisa miris melihatnya. Dadanya sesak. Tatkala telunjuknya mendekat, hendak menyentuh tangan bayi itu. Mahisa betul-betul tak percaya. Bayi itu mampu bicara. Bayi itu mengaku, sengaja dibuang ibunya alasannya adalah tak memiliki cukup ongkos untuk berbelanja susu atau sekadar pisang.
Dada Mahisa masih bertalu dlm rasa sesal & pertanyaan-pertanyaan. Tatkala matanya menengadah ke langit, ia merasakan, bahwa matahari yg berpijar di petala langit terlihat lebih besar dr yg sebaiknya, lebih akrab. Mahisa menunduk, mengabaikan silau yg menikam pupilnya. Mahisa menjerit sekeras-kerasnya tatkala kardus berisi bayi di hadapannya lenyap dibawa lari seekor anjing. Mahisa tak kuasa mengejarnya. Ia cemas, berlari pontang-panting tak yakin arah. Setelah beberapa meter, di bawah suatu pohon yg rindang, ia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Kali ini perutnya terasa menciut, ususnya mengering melilit lambung & tulang. Ia percaya sekali, itu yg disebut lapar.
Mahisa melempar paku pandangnya jauh. Sejauh hasta pandang. Ia berupaya mengenang-ingat jalan pulang, & sama sekal ia tak berhasil. Ia benar-benar ingin pulang. Bukan untuk menyanggupi perutnya dgn kuliner. Mahisa cuma ingin membawakan kuliner yg melimpah di rumahnya pada orang-orang itu, orang-orang yg dihantui rasa lapar & ajal.
Sekarang Mahisa tahu, apa itu lapar. Pantas saja, dlm kisah itu, orang-orang yg tak peduli dgn saudaranya sesama manusia—yang kelaparan—kelak tak akan mampu naungan tatkala Matahari betul-betul didekatkan hingga beberapa senti di atas kepala mereka. Ya, Mahisa tidak ingin mencicipi matahari memberangus kepalanya, selebihnya Mahisa cuma ingin menyebarkan. Tapi bagaimana? Ia betul-betul tak ingat jalan pulang.
Mahisa terheran-heran, perjalanannya sudah terasa sangat lama. Tapi langit tak pula remang. Matahari makin nanar dgn pijarnya. Mahisa menetapkan untuk kembali meneruskan perjalanannya, ke mana saja, yg penting ia bergerak. Mahisa memutar haluan hingga ia mendapatkan kembali perbatasan kota. Di sebuah gerbang tugu, ia membaca tulisan ‘Selamat Datang di Kota Kenyang’. Ya, itulah kota kawasan ia tinggal selama ini. Ia bahagia bukan kepalang, berkali-kali ia menggumam hamdalah. Anehnya, setelah memasuki perbatasan, Mahisa tak mendapatkan satu rumah pun, tak pula pepohonan, atau jalan-jalan beraspal. Sejauh mata memandang, yg ada cuma hamparan pasir. Serupa gurun.
Mahisa mengayun langkahnya penuh keragu-raguan. Ia mengajukan pertanyaan-tanya, apa yg telah terjadi dgn kota ini. Apa ini sebuah mimpi? Mahisa menjambak rambutnya sendiri. Sakit. Tapi ini sangat aneh, belum genap satu hari ia pergi, & seluruhnya berganti. Tukang sulap mana yg bisa menyulap kota menjadi padang gersang. Mahisa mengerjapkan matanya. Hawa panas kembali menyengat tengkuknya. Mahisa sendiri merasakan, dulu kota daerah ia tinggal tak pernah sepanas ini. Apa alasannya adalah padang pasir ini? Di mana pula penduduk kota? Ia tak melihat seorang pun di sana. Sepi yg menyala-nyala.
Setapak demi setapak, Mahisa menggerakkan langkahnya. Ia sungguh khawatir & takut. Ia menengadahkan kepalanya ke langit. Silau. Matahari tampak lebih besar dr umumnya. Lebih dekat. Ia kembali memutar dongeng itu dlm kepalanya, kisah wacana masa, bahwa suatu ketika nanti matahari akan tergelincir dr ketinggiannya. Matahari akan mengapung beberapa senti di atas kepala insan. Sebongkah bara raksasa akan berputar-putar di atas kepala insan. Panas akan terus menikam, keringat akan terus mengucur. Ricis seperti hujan di permulaan tahun. Dengan kaki telanjang, para manusia akan merangkak, saling berebut keteduhan. Keringat mendidih terus mengucur, menggenang hingga mata kaki, lutut, dada, & risikonya menenggelamkan kepala mereka. (*)