Oktober tahun kemudian, kami pergi piknik ke suatu danau diluar kota, di tempat perbukitan berudara cuek. Sebenarnya, cuaca cukup bagus di hari itu. Langit sangat terperinci. Kami memperkirakan hingga sore cuaca akan bertahan mirip itu. Kami menjinjing bekal yg banyak. Tidak lupa beberapa botol sirup rasa jeruk. Sebenarnya gue mengharapkan sekotak es krim, tetapi ibuku tak oke mengingat es krim yg mencair itu tak berbeda dgn sirup.
Setiba di pinggir danau, kami membentangkan tikar di bawah pohon yg cukup rimbun. Kami menumpuk kotak kuliner & botol-botol minuman di satu tempat biar tak perlu mencari-cari bila kami butuhkan. Kakakku segera mencopot bajunya & menyisakan celana pendek hitam berbahan karet. Ia berlari ke danau. “Hati-hati!” teriak ibuku. Kami sudah beberapa kali liburan di danau ini. Kakakku sudah tahu tempat aman untuk mandi-mandi. Ayahku mengeluarkan surat kabar dr tas ranselnya. Ia tak pernah betah membaca info lewat ponsel. Ibuku sibuk dgn permainan di gawainya. Setiap hari ia begitu. Tak ada hari yg tak sibuk dgn beragam permainan—ketika pergi liburan sekalipun.
Aku menyaksikan kakakku sudah asyik bermain air. Ia memang sungguh suka segala yg berafiliasi dgn air. Bila hujan turun, ia akan membuka jendela berlama-lama. Ia mengulurkan tangannya keluar & membiarkan air hujan menitik di jemarinya. Kalau ibuku tak menegurnya, mungkin ia akan tetap melakukannya hingga jemarinya memutih.
Aku pernah mendengar cerita bahwa kakakku itu didapatkan oleh ayahku di halaman saat hujan turun deras. Menurut kisah yg beredar, waktu itu hari Sabtu & ayahku membuka pintu rumah untuk memulai aktivitas pagi. Tahu-tahu ayahku mendapatkan seorang bayi yg nyaris mati kedinginan. Bayi itu dibawa ke klinik dokter terdekat. Ia selamat. Ia kemudian menjadi anak yg tergila-gila pada air. Cerita yg beredar yang lain, tentu saja tentangku. Aku yg diambil dr suatu panti asuhan. Aku tak tahu bagaimana cara ayah & ibuku memilihku. Bisa jadi mereka mengusut setiap anak, satu per satu, mirip memilih seekor anjing di tempat penampungan hingga mereka memperoleh yg benar-benar diharapkan; yg mereka pikir anak paling sempurna, lucu, menggemaskan, ganteng atau cantik. Aku jadi ingat kisah dlm novel Pergilah ke Mana Hati Membawamu karya Susanna Tamaro. Si cucu pergi bareng neneknya ke penampungan anjing. Mereka memperhatikan anjing-anjing yg ada di sana & tak kunjung menemukan yg menggoda si cucu. Namun kemudian, ada seekor anjing cacat—anjing dgn satu kaki depan yg tak berfungsi lagi—dan tak disangka-sangka si cucu menentukan anjing yg tak dipertimbangkan itu untuk ia pelihara. Ini perbandingan yg agak garang, memang. Aku percaya ayah & ibuku tak seperti itu—maksudku, menyamakan gue dgn seekor anak anjing. Mereka orang bau tanah terbaik bagiku. Namun gue memang cukup ingin tau dgn bagaimana mereka memilihku itu. Kenapa mereka menentukan anak yg hanya memiliki satu tangan, sementara ada banyak opsi lain di sana? Kenapa mesti saya? Mereka kasihan? Mereka menerka, bila bukan mereka, tak akan ada orang yg mau mengambilku? Aku pernah ingin menanyakan semua itu. Sayangnya, tak pernah kulakukan. Ayah & ibuku bukan orang yg bisa menoleransi seputar keingintahuan kami mengenai masa kemudian. Kakakku pernah kena marah besar gara-gara ia menanyakan desas-desus inovasi bayi tatkala hujan turun deras. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan kakakku itu. Aku tak cukup berani menghancurkan apa yg telah kami miliki selama ini; sarapan pagi bareng , nonton di bioskop di akhir pekan, makan malam di luar, gue & ayahku berteriak bareng di depan televisi ketika ada siaran sepak bola kesukaan kami, ibu & kakakku yg gila film Jepang, yg di mataku tokoh-tokohnya seringkali terlalu masbodoh hingga tak manusiawi lagi, pot-pot tumbuhan kami yg penuh sesak bayam Brasil di teras rumah.
“Kau tak ikut mandi?” tanya ibuku yg baru memberi makan seekor kucing virtual di gawainya. Ayahku masih rajin membaca surat kabar. Ia tak akan melewatkan apa pun, termasuk pula iklan baris yg bergotong-royong sama sekali tak penting baginya; rumah dijual cepat, obat segala jenis penyakit, penumbuh rambut, pinjam duit tanpa agunan.
“Tidak,” kataku dgn suara malas. Aku tak terlalu suka air. Aku mudah kedinginan. Aku lebih ingin memandanginya saja dr jauh. Danau yg permukaannya terlihat biru—sebagian lain kehijauan. Aku tak tahu benda apa saja di dlm danau itu. Kemungkinan ada berbagai. Benda-benda yg jatuh & tenggelam. Orang hilang yg tak pernah ditemukan. Lumut yg tebal sekali. Ikan-ikan. Kerang. Limbah. Segalanya ada di sana. Dan tentu saja kakakku yg sedang menyelam.
Ibuku melepaskan gawainya. Ia membongkar bekal yg kami bawa. Kue-kue & minuman. Ia menawari ayahku. Ayah menggeleng tanpa melepaskan matanya dr surat kabar. Ibuku lalu berkata ihwal cuaca. Sebaiknya kita memang tak perlu memercayai gosip apa pun, katanya merasa menang. Tadi malam kami memang mencari tahu asumsi cuaca untuk hari ini. Potensi hujan-angin ribut-petir. Aku tak begitu ingat detailnya. Nyatanya, pagi-pagi kami menemukan langit yg sangat bersih. Matahari terlihat ceria & elok & bikin hangat. Ibuku berseru, ayo, kita berangkat liburan!< “Apakah kakakmu tak akan keluar dr dlm danau?” Rupanya ibuku agak cemas juga. Aku mengamati kerut-merut di sekeliling mulutnya yg terbentuk dr gabungan rasa cemas & jengkel. Kakakku memang tampak asyik sekali. Ia timbul & hilang di permukaan air seakan-akan ia sendirian saja & kami sedang tak melaksanakan liburan bersama.
“Aku akan memanggilnya,” kataku. “Tidak usah,” cegah ibuku. Ia membuka tutup kotak masakan & mengambil sebuah biskuit. “Kau mesti mencobanya, ini yummy sekali. Mirip pai panggang rasa apel. Kita bisa menjadikannya suatu hari. Kau masih ingat cara membuat kastengel? Astaga, gue melupakan banyak hal,” kata ibuku. “Kita mesti menciptakan seluruhnya lagi di hari libur.” Aku mengambil satu. Memang benaran yummy. Ayahku menoleh sebentar ke kotak itu, terlihat tak berminat, kemudian asyik lagi dgn surat kabarnya. “Sampai kapan kamu akan terus membaca?” tanya ibuku. Ayahku tak menyahut. Mungkin ia menerka ibuku bukan berbicara kepadanya. Kakakku kembali timbul di permukaan air. Aku melambaikan tangan, namun ia tak menyaksikan ke arahku & keburu menyelam lagi. “Astaga!” pekik ibuku. Aku segera bangkit tanpa tahu apa yg terjadi. Aku memang kerap begitu bila terkejut. “Lihat,” kata ibuku menunjuk langit. “Hujan angin ribut pasti secepatnya turun,” katanya. Ia tampak meratapi keputusan kami yg teledor ihwal pergi piknik di final pekan ini. Langit memang betul-betul gelap dengan-cara mendadak. Aku berlangsung ke arah danau untuk mengundang kakakku. “Cuaca jelek!” teriakku. “Kau harus keluar! Sebentar lagi akan turun hujan badai.” Kakakku terlihat kalem. Ia menyelam lagi. Aku mau marah rasanya. Aku berteriak memanggilnya lagi. Memperingatkannya untuk segera keluar dr dlm danau. Ia tak memedulikan teriakanku. Aku kembali ke tempat ayah & ibuku sambil bersungut-sungut. Ibu sibuk menghimpun kotak makanan. Aku bergegas menghimpun botol-botol minuman. Kami mesti cepat membereskan seluruhnya sebelum hujan turun. Akan tetapi, sebelum semua betul-betul selesai, air hujan sudah berjatuhan, disusul angin puting-beliung yg menciptakan segala sesuatu menjadi sungguh jelek. Kakakku muncul dr arah danau. Ia secepatnya mengenakan bajunya & bergabung bareng kami. Surat kabar ayahku sudah hancur, jadi ia secepatnya melepaskannya. Ibuku menenteng rantang berisi kotak masakan. Aku melipat tikar yg sudah basah. Kakakku menenteng tas-tas & segera berlari ke dekat rimbunan semak, disusul ayah & ibuku, & gue yg susah payah membawa tikar. Hujan topan bertambah andal. Jarak pandang tak lebih dr beberapa meter saja. Ayahku mengatakan sebaiknya kami bertahan sampai cuaca sedikit membaik & kami bisa bergerak ke perlintasan bus untuk kembali ke kota. Ibuku bilang itu bukan keputusan yg tepat. Kami semua berair kuyup. Kami bisa mati kedinginan. Ibuku menyebut kata Tuhan berkali-kali—itu tanda bahwa ia sungguh panik. Aku mendengar gemeretak di mulut kakakku. Aku sendiri menahan ngilu di tulangku. Dinginnya memang minta ampun. Dan kami tidak memiliki pilihan lain. Lebih-lebih sehabis topan makin menjadi-jadi. Kami semua karenanya tahu, di sinilah kami akan bertahan sampai semua reda—atau perlindungan datang. Ibuku sudah mencoba berkali-kali menghubungi nomor sahabat-temannya. Tidak ada yg tersambung. Sepertinya jaringan telekomunikasi lumpuh. Jangan-jangan hujan badai sudah merusak semuanya. Ada banyak kemungkinan yg terjadi. Ibuku berkata bahwa ia hampir membeku. Ayahku tak menyampaikan satu kata pun. Mulut kakakku tambah gemeletuk. “Kita semua akan mati di sini,” kata ibuku. “Kita akan hidup, Bu, kita akan hidup usang sekali,” kataku menguatkan diri untuk bicara. Hujan angin ribut terus mengempaskan segala sesuatunya. Mungkin tak akan berhenti sebelum semua hancur berserakan. Diam-membisu gue tahu bahwa ibuku benar, kami semua akan mati kedinginan di sini karena tak ada apa pun yg akan menjinjing kami pulang & mengirimkan kami ke dlm sebuah selimut tebal. Sangat mungkin pula tak usang lagi kami terseret air bah yg mampu tiba dr arah mana saja & kami tak punya kekuatan lagi untuk mempertahankan diri. Jika itu sungguh-sungguh terjadi, ada hal yg ingin kuketahui sebelum gue tak ada di dunia ini. Aku ingin tahu siapa diriku. Ibuku sungguh mungkin marah besar mengingat ini bukan waktu yg tepat untuk membahas soal seserius itu. Namun kami semua akan mati. Rasanya tak akan pernah ada lagi waktu yg tepat. Lagian, kalaupun ada, gue niscaya tak akan mempunyai keberanian melakukannya selain dikala ini. “Bagaimana Ibu memilihku dahulu?” gue bertanya dgn cepat. “Apa yg kaubicarakan?” tanya ibuku terheran-heran. “Aku dulu hidup di panti asuhan. Pasti aneka macam anak-anak di sana. Kenapa Ibu & Ayah menentukan seorang anak yg cuma memiliki satu tangan, sementara terlalu banyak yg tepat di sana?” Aku merasakan air mataku berjatuhan dgn cepat. “Apa yg kaubicarakan ini?” tanya ibuku lagi. Kemudian ia menangis. Mungkin sebab kami sebentar lagi akan mati. Mungkin pula alasannya adalah mendengar kata-kataku & itu melukainya. Kakakku berkata, “Apa yg kaukatakan pada Ibu?” “Kebenaran,” kataku berkukuh. “Katakan saja pada mereka, kamu tak perlu lagi menutupinya,” kata ayahku seolah-olah kami tak mempunyai waktu banyak.Kami semua, sekarang ini, masih berada dlm kereta uap asing yg menjemput kami ketika terjebak hujan topan satu tahun lalu & bertualang di antara tumpukan-tumpukan awan. Ayah membaca surat kabar, ibuku makan sekeping biskuit sambil tak henti mengoceh, kakakku menjulurkan tangannya keluar seolah-olah ia sedang bermain hujan, & aku—dengan bertopang dagu—berpikir sampai berapa usang lagi kami berada di kereta uap yg mungkin tiba dr dunia dongeng ini. Aku bukannya bosan, malah bahagia bisa berada di sini, tetapi harus kuakui bahwa gue mulai merindukan segala sesuatu yg ada di rumah kami.
Ibuku berkata, “Apa lagi yg kaupikirkan?”
Cara ibuku menyampaikan kalimat itu seperti mengingatkan bahwa semua rahasianya sudah ia ceritakan & seharusnya kami menikmati perjalanan ini dgn hati yg lepas.
“Lihat,” kata ayahku tiba-tiba menawarkan surat kabar tuanya, “suatu keluarga diberitakan hilang dlm tragedi hujan badai.”
“Apa kamu tak akan berhenti membicarakannya?” kata ibuku sambil mengambil sekeping biskuit lagi. (*)