GEMA takbir tahun kemudian masih tersisa dlm benakku. Ya, kenapa waktu cepat sekali berputar? Aku takut, bila akhir hayat lebih dulu melaksanakan tugasnya, mencabut nyawa Mak sebelum ia mampu berkurban.
Hampir seminggu menjelang Hari Raya Kurban, Mak terbaring di ranjang. Tubuhnya kurus kering, sesekali batuk menciptakan bergetar seluruh tubuhnya. Tangannya menahan dadanya sendiri tampak amat sakit. Dari mulutnya, mengeluarkan darah. Aku bergegas mendekat, membawa botol kapsul yg masih beberapa biji & air minum. Aku memijat pundaknya.
“Minum dahulu obatnya Mak,” ucapku. Aku menyongsong Mak, kemudian memberikan segelas air putih & kapsul berwarna merah & putih. Ia menelan obat itu. Mak merasa lega sejenak. Ia melempar senyum kepadaku. Mak memandang ke balik kelambu jendela. Dilihatnya pohon beringin di samping rumah. Tatapannya kosong. Aku mampu melihatnya. Wajahnya sayu. Sesekali batuk kecil. Ia bangkit dr ranjang, bersusah payah untuk berdiri dgn segenap tenaganya, berlangsung gontai menuju jendela.
Mak kembali tersenyum. Senyumnya masam selalu meneduhkan, menggambarkan sebuah rasa syukur yg tak terhitung. Di sela-sela senyumnya, ia mengucapkan, Hamdalah beberapa kali. “Kenapa Mak senyum?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa, Mak hanya bersyukur masih diperkenankan untuk hidup hingga pada hari menjelang Hari Raya Kurban. Mak pula bersyukur punya anak pria sepertimu, alasannya di luar sana, jarang anak masih sibuk merawat orangtuanya. Terima kasih, Nak.” Suara Mak lirih, kembali tersenyum lembut.
Hampir satu windu Mak diurapi dgn penyakit TBC. Penyakitnya tak kunjung hilang dr tumbuhnya. Idul Adha tahun lalu Mak sudah tak bisa tiba ke masjid. Tahun ini, jikalau menyaksikan kondisi Mak yg semakin memperhatikan, kemungkinan besar ia tak mampu kembali berjamaah Salat Id, mengumandangkan takbir di masjid. Hanya mampu menyaksikan dr jendela lama para tetangga berangkat ke masjid, & hanya mampu melihat dr kejauhan beberapa warga menuntun kambing untuk diserahkan ke panitia kurban. Kambing saling mengembik. Mak tak bisa menyaksikan kemeriahan Hari Raya Kurban. Mak tak mampu menyaksikan binatang itu disembelih.
Setiap Hari Raya Kurban, panitia membagikan daging kurban pada warga. Mak senantiasa mendapat kepingan. Ia menyuruh adik perempuanku untuk memasaknya. Biasanya adikku mengolah masakan daging itu menjadi dua pecahan, dimasak kuah & dijadikan abon. Mak senantiasa menyuruh adikku untuk membagikan dgn tetangga terdekat, meski sudah ada jatah masing-masing. Di luar Hari Raya Kurban, Mak tetap membagikan kuliner ke tetangga, tatkala ada program selamatan atau selamatan.
“Kenapa Mak selalu membagi-bagikan makanan pada tetangga?” ucap adikku yg paling bungsu.
“Berbagi pada orang lain itu tak akan menciptakan kita kekurangan, yg ada hanyalah berkah. Tidak mungkin kebahagiaan itu tercipta jikalau kita tak membagikan pada orang lain,” ucap Mak.
“Mak masih ingat betul apa yg dibilang Kyai Gofur bertahun-tahun silam, tatkala ada pengajian khitanan anak tetangga. Kyai Gofur mengatakan kalau sedekah yg kita berikan pada orang lain, bila diniatkan untuk sesuatu hajat, Insya Allah akan dikabulkan. Selain itu, kalau kita mengharap untuk kepentingan alam baka, kita pula akan menerimanya,” lanjut Mak.
Mak telah lebih dulu menginginkan untuk mampu berkurban di Hari Raya Kurban & berangkat haji. Impian itu masih tetap kukuh dlm benaknya, tetapi harapan itu belum tercukupi. Setelah Bapak meninggal, Mak menjadi tulang punggung & sehabis Mak sering jatuh sakit, akulah yg menjadi tulang punggung dr dua adikku & Mak, sedangkan gue hanya kuli bangun & penulis kisah pendek.
Beberapa kali, gue menyisakan duit untuk ongkos kawin namun senantiasa ada kebutuhan mendadak. Seminggu yg kemudian untuk menebus obat Mak. Selain itu, adikku bungsu waktunya masuk sekolah. Dengan sungguh terpaksa gue memecah celenganku.
Tahun ini, kesehatan Mak semakin berkurang. Tubuhnya kian tampak sayu, tubuhnya makin renta. Dalam sepekan sudah tiga kali periksa ke puskesmas tetap saja tak ada pada pergeseran. Ia sering termangu, seperti ada yg dipikirkan. Tatapannya dlm menuju jendela yg terbuka. Tempias sinar mentari menembus dinding kayu yg berlubang.
Aku sudah berjanji akan membelikan kambing kurban untuk Mak. Aku mulai menabung bertahap. Hasil kerja serabutan kusisihkan. Dari mulai hasil dr menjadi kuli, tukang pijat hingga jadi penulis cerita pendek. Tetapi belum cukup untuk berbelanja kambing kurban, sedangkan Hari Raya Kurban tinggal beberapa hari lagi. Aku melakukan pekerjaan siang malam untuk menutupi kekurangan membeli kambing kurban. Biasanya siang gue melakukan pekerjaan selaku kuli bangunan, sedangkan jika malam, gue membuka jasa pijat. Kalau pun tak ada yg membutuhkan jasa pijat, umumnya gue menulis kisah pendek.
Kutengok dr balik pintu, Mak masih terbaring mengenakan mukena dgn mata terpejam menggenggam tasbih berwarna hitam. Aku merasa kasihan dgn Mak, diusianya yg menginjak hampir 66 tahun, melihat gue masih membujang. Padahal sobat-sahabat sebayaku nyaris semua sudah berkeluarga & punya pekerjaan tetap. Sebagai anak sulung, semestinya, gue menjadi kebanggaan bagi Mak & kedua adikku.
Mak punya dua keinginan yg sampai dikala ini belum terwujud, yaitu berangkat ke tanah suci & berkurban di Hari Raya Idul Adha. Setidaknya untuk keinginan yg kedua gue berusaha mewujudkannya. Aku memberanikan diri untuk pergi ke pasar kambing dgn uang terbatas. Dari tempat demi daerah gue datangi, mengelilingi pasar kambing, tetapi gue hanya dijadikan materi tertawaan. Menjadi materi ejekan para makelar kambing. Memang untuk mencari kambing yg sudah layak untuk dijadikan selaku binatang kurban sungguh sulit dgn cuma uang 600 ribu.
Aku senantiasa berharap ada pedagang kambing yg berbaik hati memberikan kambingnya dgn duit 600 ribu. Tetapi, tampaknya sangat sulit menemukan orang seperti itu. Hampir di semua tempat gue kunjungi & mirip itu adanya, pedagang kambing selalu menertawakanku.
“Uang 600 ribu mau membeli kambing kurban? Memangnya kambing Mbahmu?” ucap pedagang kambing.
Aku di ambang frustasi. Aku cuma bisa menundukkan kepala, duduk di depan tenda yg berisi berpuluh-puluh ekor kambing. Aku bangun, melangkah pulang. Aku berjalan terbayang wajah Mak. “Apa yg harus gue lakukan dgn uang Rp 600 ribu?” gumamku.
“Jika gue menabung kembali uang ini, apakah gue bisa menahan agar tak dibentuk keperluan yg lain? Apakah Mak masih hidup jikalau mesti menanti Hari Raya Kurban tahun selanjutnya,” pikirku. Mungkin membelikan kambing kurban untuk Mak yakni permintaan yg masuk logika ketimbang seruan memberangkatkan haji Mak.
Sepanjang jalan, gue melawati tenda-tenda kambing. Suara-suara riuh embikan kambing menciptakan wajah Mak semakin terperinci. Aku tak tahu, jawaban yg mesti gue katakan jikalau seandainya ia mengajukan pertanyaan tatkala gue pulang? Dengan terpaksa, gue pulang dgn wajah kusut, letih, letih badan, letih pikir.
Kulihat, Mak menuntun kambing di halaman rumah. Kambing itu gemuk & besar. Terlihat sangat prima. Mak terlihat tak mirip orang yg sakit, bahkan ia memberi makan kambing itu. Wajah Mak sumringah. Aku bergegas menuju ke arah Mak.
“Kambingnya gemuk sekali,” ucap Mak.
“Kambing siapa itu, Mak?” tanyaku. Mak terdiam sejenak, seperti tak yakin gue menanyakan hal itu.
“Bukankah tadi kau yg bilang kalau kamu yg membeli kambing di pasar? Lalu kau ingin, Mak menuntun kambing ini keluar sehabis Mak salat Zuhur? Kau membelinya dgn harga 1,4 juta, bukankah seperti itu?” tanya Mak terheran. Aku tercenung, seolah tak yakin.
“Tidak, Mak. Tadi gue gagal mendapatkan kambing kurban. Semua makelar kambing menertawakanku lantaran uangnya tak cukup. Aku sempat resah, bila Mak menanyakan kambing yg akan dipakai untuk kurban, sedangkan gue cuma punya duit 600 ribu,” jawabku nervous.
“Siapa lelaki yg memperlihatkan kambing itu, Mak?” lanjutku, tak yakin.
“Lelaki itu persis denganmu. Mak tak berbohong. Mak masih sadar tatkala kau masuk ke dlm rumah sambil menuntun kambing ini. Mak tak mengigau,” jawab Mak menentukan.
“Ternyata Allah telah memperlihatkan kebesarannya dgn mengantarkan kambing ini untuk Mak,” tutur Mak, air matanya berkaca-kaca, kemudian sujud syukur.
Takbir berkumandang. Aku & Mak berangkat ke masjid. Tanganku menuntun kambing yg akan diserahkan ke panitia kurban. Sesekali kambing itu mengembik. Para warga sudah masuk ke dlm masjid, sebagian ada yg di serambi. Pelaksanaan Salat Id berjalan dgn khusyuk. Setelah Salat Id usai, beberapa warga duduk bersila di serambi. Panitia kurban berkumpul di teras masjid. Panitia kurban sibuk menjegal sapi, sedangkan panitia yg lain sibuk menyembelih kambing. Kulihat Mak dr serambi menyaksikan kambing terakhir disembelih. Itu kambing Mak. Wajah Mak berseri-seri. (*)