Kambing-kambing Aminah | Cerpen Puspa Seruni


Tidak ada yg menghadiri pemakaman Aminah, nenek berusia 65 tahun yg meninggal pagi hari tadi. Area pemakaman sepi, hanya ada satu orang pelayat & dua penggali kubur. Seolah tak ada seorang pun yg berduka atas kepergian perempuan tua yg tinggal di perbatasan desa di bersahabat hutan itu.

Aminah menempati suatu pondok bambu dgn atap alang-alang yg dibangun di atas tanah kas desa. Sejak ditinggal mati oleh suaminya, Aminah tinggal seorang diri, ditemani oleh lima ekor kambing peliharaannya. Setiap pagi, Aminah biasa menjinjing mereka merumput di erat hutan. Ia akan melepasliarkan kambing-kambing itu di padang rumput.

Selagi menunggu hewan peliharaannya selesai merumput, ia akan duduk di bawah pohon Akasia sambil membaca Alquran atau sekadar duduk beristirahat. Sekali waktu, ia akan masuk ke hutan mengambil beberapa ketela pohon yg ditanamnya untuk dimasak. Kambing-kambing itu akan berkeliaran, mencari rumput atau sesuatu yg mampu disantap. Sejauh apa pun kambing itu berlangsung, tak akan kesasar & mendapatkan jalan untuk kembali ke daerah semula.

Kambing-kambing itu akan mendekat pada Aminah sehabis merasa kenyang. Aminah akan menenteng mereka ke dekat sungai untuk minum, kemudian menggiringnya kembali ke sangkar sehabis matahari mulai setinggi tombak.

Setelah kembali ke pondoknya, Aminah akan merebus ketela pohon atau mengolah makanan sesuatu yg ia punya untuk mengganjal perut. Kehidupan Aminah setiap hari hanya suatu kegiatan rutin yg sudah dijalani sejak suaminya, Dudung, meninggal dunia lima tahun kemudian. Mereka tak memiliki anak atau pun saudara. Aminah pula tak banyak berinteraksi dgn orang lain, kecuali dgn Tarno, abdnegara desa yg senantiasa menolong Aminah.

Ia akan menjualkan kambing milik Aminah & menyetorkan hasil penjualannya ke bank desa. Aminah & Dudung memelihara kambing sejak Dudung masih berpengaruh & sehat. Setiap enam bulan, Aminah & Dudung akan memilih kambing yg siap dijual. Uang hasil penjualan kambing disetor selaku tabungan haji. Tabungan yg dikumpulkan sejak 15 tahun kemudian itu berbuah manis satu tahun kemudian.

*****

Tarno menaburkan beberapa bunga di atas makam Aminah. Bunga yg ia petik di sepanjang jalan dr pondok Aminah menuju area pemakaman. Ia pula menyiramkan air dr kendi yg ia bawa. Tidak ada batu nisan bernama, hanya patok kayu sederhana yg terpancang di salah satu ujung makam, selaku penanda bahwa ada seseorang yg terbaring di bawahnya.

Aparat desa yg kerap mengenakan kopiah hitam & kemeja safari lusuh itu beranjak berdiri. Kakinya melangkah kembali menuju pondok Aminah. Sepanjang perjalanan dr area makam, ia teringat pembicaraan terakhirnya bersama Aminah sebelum nenek itu ditemukan meninggal tadi pagi.

  Cerpen Lebaran: Kata-Kata Maaf Yang Terlambat

Pengumuman pemerintah, Mbah. Jarene munggah hajine diundur. [1]”

Tarno sengaja tiba di pondok Aminah. Meski sedang terik, Tarno mengabaikan sengatan matahari yg mampu membuat kulitnya kian legam. Ia terus mengayuh sepedanya, menciptakan punggungnya berair oleh keringat.

Tersiar kabar bahwa pemerintah menunda kembali pemberangkatan haji tahun ini. Pandemi Covid-19 menjadi argumentasi yg menyebabkan ratusan ribuan jamah haji gagal berangkat. Ini yakni penundaan yg kedua, sehabis di tahun sebelumnya mengalami hal serupa.

Aminah yg kala itu sedang duduk di lincak di halaman samping rumahnya terpana mendengar penjelasan Tarno. Perempuan itu mengernyitkan dahi, menjajal mencerna apa yg dikatakan oleh lelaki berusia 30 tahun yg tengah duduk di depannya itu.

Oalaa, kenopo, to? Kok, ditangguhkan maneh? Opo tabungane kurang? [2]”

Aminah memandang Tarno dgn gundah. Seingatnya, tahun kemudian, ia sudah melunasi sisa pembayaran haji, meski risikonya ditangguhkan pula & diundur ke tahun ini.

Tarno menggeleng menjawab pertanyaan Aminah.

Mboten, pembayarane sampun lunas. [3] Pemerintah Saudi belum terima jamaah haji mungkin, Mbah. Masih takut sama korona.

Aminah manggut-manggut mendengar perkataan Tarno. Ia tak sepenuhnya paham mengenai alasan penundaan itu. Ia menunduk, menyembunyikan air mata yg menggenang di pelupuk matanya. Terbayang segala upaya suaminya menabung sejak belasan tahun kemudian. Raut wajah Dudung yg capek setiap kali pulang mencari rumput terlukis dlm ingatannya. Aminah mesti mengubur kembali keinginannya melaksanakan rukun Islam kelima tahun ini.

“Gusti Pangeran ndak pengen gue jadi tamunya.” Suara nenek itu lirih, diantara isak tangis yg mulai turun membasahi pipinya yg keriput.

Aminah menoleh pada kambing-kambing miliknya. Hewan berbulu putih itu sedang menikmati istirahat siangnya di sangkar.

“Rencananya, mereka mau gue jual buat sangu naik haji. Biar di sana nanti mampu menghajikan Dudung.” Raut wajah Aminah menyiratkan ketidakpuasan yg mendalam.

“Siapa tahu, tahun depan kambingnya jadi lebih banyak lagi, Mbah. Sangu-nya jadi tambah banyak.” Tarno berusaha menghibur Aminah.

“Kalau Mbah masih hidup. Kalau tak ….” Kalimat Aminah menggantung, bunyi tuanya bergetar didalam tenggorokan.

*****

Tarno tak menduga kedatangannya pagi ini ke pondok justru mendapatkan Aminah yg sudah terbujur kaku. Ia menghentikan langkah dikala tiba di depan pondok Aminah. Seakan enggan melangkah memasuki halaman. Lelaki bertubuh gempal itu mengedarkan pandangannya, menyusuri pekarangan yg tak terlalu luas.

  Rembulan dalam Cappuccino | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Tarno memasuki gubuk yg mulai doyong. Dinding yg terbuat dr anyaman bambu itu mulai lapuk di beberapa potongan. Atap alang-alang yg mulai menipis & rontok. Lantai tanah yg lembap & kotor serta ukuran pondok yg tak terlalu luas. Sungguh sebuah tempat yg tak layak disebut sebagai rumah.

Tarno tak bisa membayangkan mirip apa Aminah melewati setiap malamnya. Tidakkah angin akan gampang menerobos lewat celah-celah bambu yg tak rapat? Atau tetes hujan yg gampang menyelinap di antara rajutan alang-alang?

Tarno membuka pintu & memasuki pondok berukuran 3×4 meter itu. Sebuah lincak beralas kasur kapuk tipis yg digunakan selaku kawasan tidur terletak di segi sebelah kanan. Sedangkan, lemari kayu tanpa pintu berada di sebelah kiri. Tarno melangkah menuju lemari yg berisi beberapa helai pakaian.

Ia mengambil bungkusan berisi baju kurung berwarna putih milik Aminah. Baju yg dibeli Aminah di pasar kecamatan tahun kemudian. Buat persiapan ihram, jawab Aminah ketika Tarno bertanya untuk apa ia minta diantar ke pasar.

Tarno meraba baju putih itu. Kain yg agak garang & panas. Baju kurung murahan yg terpaksa dibeli alasannya adalah kekurangan duit yg dimiliki.

Sing penting niate. [4] Ini pula sudah anggun kok berdasarkan Mbah,” ucap Aminah saat itu, tatkala Tarno merekomendasikan Aminah memilih baju lain yg lebih cantik & lezat dipakai.

Tarno melipat kembali baju putih itu & memasukkannya ke dlm tas cangklong miliknya. Ia berniat menyedekahkan baju itu, mungkin akan lebih berfaedah untuk orang lain.

Pandangan matanya memperhatikan sekeliling ruangan untuk menegaskan benda lain yg masih bisa dimanfaatkan. Setelah tak lagi menemukan benda berharga yg bisa dibawa, Tarno beranjak ke luar. Ke sangkar yg terletak di sudut halaman belakang.

Ia memandangi kambing-kambing yg ada di dlm kandang. Kambing-kambing itu terlihat kelaparan. Tampak dr suaranya yg mengembik dgn lemah. Hatinya merasa iba. Ia membuka pintu sangkar & menggiring kambing ke ladang akrab hutan yg tak jauh dr pondok Aminah. Sambil menanti kambing-kambing makan, Tarno duduk di bawah pohon Akasia untuk beristirahat. Ia menaruh peci hitam di wajahnya sebelum akhirnya tertidur lelap.

Sebuah sentuhan membangunkannya. Perlahan Tarno membuka mata, kambing-kambing itu mengembik di dekatnya. Ia mengucek matanya, perlahan ia gres sadar sedang menggembalakan kambing milik Aminah. Lelaki itu beranjak & kembali menuntun kambing itu pulang. Namun, bukan ke pondok Aminah, melainkan ke rumahnya.

*****

Tarno mengayuh sepedanya meninggalkan pasar kecamatan. Ini hari Sabtu, pasar kecamatan dipenuhi oleh pedagang ternak. Kambing-kambing Aminah telah berpindah tangan. Tarno menjinjing pulang sepuluh juta rupiah dlm tas hitamnya. Raut parasnya sedikit nervous dgn gurat kecemasan terlukis pada keningnya.

  Samsara Samsa | Cerpen Kiki Sulistyo

Wajah Aminah berkelebatan dlm ingatan. Cerita Aminah perihal Ka’bah & segala keinginannya untuk menyesap aroma & menyentuh permukaan hitam Hajar Aswad kembali terngiang. Mata Aminah selalu berbinar kala menceritakan cita-cita-impiannya itu. Nenek itu akan betah duduk berlama-usang di lincak samping rumahnya hanya untuk mengulang dongeng yg sama pada Tarno.

Tarno bertanya suatu kali. Ia merasa takjub, Aminah yg jauh dr kehidupan penduduk ternyata tahu banyak wacana Masjidil Haram. Aminah tersenyum malu-malu.

“Dapat cerita pula dr Dudung.” Perempuan tua itu menjawab.

Terik matahari siang itu menciptakan bulir keringat mengalir membasahi wajah & leher Tarno. Kemeja cokelat yg dikenakannya pun sudah basah. Ia terus mengayuh sepedanya melalui jalan desa yg berbatu.

“Bayar utangmu besok atau kami akan mengusir kalian dr rumah ini.”

Terngiang kalimat yg diucapkan Bakri, rentenir di desanya saat menagih utang. Tarno lagi-lagi tak mampu prospektif apa pun, ia tidak punya duit untuk mengeluarkan uang utang. Ia terpaksa berutang untuk menutupi kekurangan ongkos saat istrinya melahirkan anak kedua mereka. Pinjaman sebesar Rp 1 juta dlm tempo enam bulan sudah menjadi Rp 10 juta. Bakri menerapkan bunga yg sungguh tinggi.

“Jual saja kambing itu!” Perintah sebuah bunyi dlm tidurnya. Kalimat yg terus terngiang sejak Tarno menggembalakan kambing itu di bersahabat hutan. Entah siapa yg berbisik, mungkin bunyi yg tahu kesusahan yg sedang Tarno rasakan.

“Jangan, kasihan Mbah Aminah. Kambing itu untuk menghajikan suaminya.”

Sudut hatinya yg lain berbisik.

“Lagi pula, kambing itu bukan milikmu,” lanjut suara itu.

Kepalanya pening, otaknya seakan diremas-remas. Tarno bimbang. Sebagai kepala keluarga, pasti ia mesti menyelamatkan istri & anak-anaknya. Ia tak akan membiarkan mereka terlunta-lunta tanpa daerah tinggal. Namun, nuraninya tak rela ia merampas kambing-kambing Aminah.

Meski begitu, Tarno terus mengayuh sepedanya menuju rumah Bakri. Ia tak memedulikan panas terik yg menyengat kulitnya yg legam. *****

CATATAN:

[1] Katanya keberangkatan hajinya diundur.

[2] Oalaa, kenapa ya? Kok ditangguhkan lagi? Apa tabungannya kurang?

[3] Tidak, pembayarannya sudah lunas.

[4] Yang paling penting niatnya.