Setelah sepuluh tahun merantau untuk kuliah & bekerja, gue pulang hanya untuk mendapati kampungku telah menjadi tempat asing. Ia sudah berganti berubah menjadi sepotong metropolitan. Rumah-rumah reyot yg dulu terlihat tak lebih dr tumpukan sampah itu berubah menjadi kompleks perumahan dlm waktu singkat, seolah disulap dlm satu kedipan mata. Tak kutemukan lagi panorama yg bersahabat di mata kanak-kanakku dahulu: lapangan sepak bola yg selalu berlumpur kala hujan, jalan berbatu-watu, serta kawat-kawat jemuran yg saling silang di depan setiap rumah.
Dan, tatkala tiba di rumah ayah, tahulah gue hanya laki-laki tua itu yg kukuh menjaga rumahnya. Tak goyah walau ditawar dgn harga cukup tidak mengecewakan. Lokasi rumah ayah berada di tepi jalan besar yg menjadi pintu masuk salah satu kompleks yg megah, berhadapan dgn gapura manis penuh gesekan.
Sejak gue pulang, aneka macam unek-unek hinggap di telingaku. Tetangga-tetangga lama kami pindah entah kemana & timbul pendatang baru yg sangat suka berceloteh. Sudah pasti, mereka benci ayah karena tak kunjung melepas rumahnya. Orang-orang menjadi senewen. Sikap toleransi sudah melayang menguap. Olok-olok mereka, rumah ayah ibarat seberkas kurap di kulit yg putih mulus. Mereka takut terserang penyakit. Apalagi, usai melepas pekerjaannya sebagai kuli di pabrik semen setelah gue final kuliah, ayah beralih profesi selaku pemulung. Berkarung-karung botol plastik atau barang-barang rombeng menumpuk di sekitarrumah.
Rumah ayah sama persis seperti kutinggal dulu. Ruang depan masih berlantai semen dgn dinding papan yg sekarang dihiasi tem pelan koran di beberapa kawasan. Waktu sudah menciptakan celah-celah di antara kepingan papannya yg meloloskan udara acuh taacuh kala malam hari. Sedangkan ruang dapur masih berlantai tanah—definisi sederhana yg sesungguhnya. Di pekarangan depan kami yg sempit berjejer pot-pot bunga dr kaleng cat bekas. Bunga-bunga yg berkembang di dalamnya pun tak terurus. Sebagian terkulai lesu, sebagian lagi berebut tempat dgn gulma di wadah yg sempit itu.
“Ayo kita renovasi rumah ini, Yah,” usul ku sebuah sore. Kami duduk berdua di kursi rotan nyaris lapuk di teras. Para tetangga yg melintas mencuri pandang dgn tatapan tak sedap. “Tabunganku sudah cukup banyak.”
“Tidak usah,” ayah menolak.
“Ayolah. Supaya ayah bisa hidup lebih nyaman,” bujukku lagi, menggunakan kata nyaman alih-alih berkata agar tak ada lagi tetangga yg mengolok. Tetangga gres kami, penghuni rumah-rumah megah itu, konon telah membujuk & mengiming-imingi ayah dgn banyak sekali hal. Kudengar banyak yg sudah punya rencana jika ayahku mau melepaskan tanah & rumahnya. Upaya mereka tak pernah berhasil.
“Lihat. Ayah sudah punya rumah ini sebelum menikah dgn ibumu dulu. Kau punya apa? Belum pula mampu untuk membangun rumah sendiri, sudah berlagak ingin membangunkan ayah rumah?”
Beberapa menit gue melamun demi mengartikan kalimat ayah, apakah tujuannya menyindir atau justru menyemangatiku.
Maka, kuputuskan untuk melakukan pekerjaan lebih keras lagi. Untuk menawarkan bahwa gue bisa hingga ayah tak akan menolak segala rekomendasi & permintaanku. Lima tahun berselang, kupenuhi tantangan ayah untuk memiliki rumah sendiri untuk kutempati bareng istriku setelah menikah setahun sebelumnya.
Langsung kuboyong ayah ke rumahku yg gres di sentra kota, rumah yg tak kalah megahnya dr tetangga-tetangga ayahku yg bermulut pedas. Wajah ayah datar saja, tak menunjukkan raut senang atau sebaliknya. Tak mampu kutebak isi hatinya, walau menurutku, sebaiknya ia senang sebab gue sudah merealisasikan mimpiku.
Namun, berada di rumahku yg amat kontras dgn rumah yg sudah ditempatinya selama puluhan tahun, ia terlihat linglung. Ia canggung berhadapan dgn segala perkakas terbaru. Apalagi tatkala istriku memberi ayah sepasang sandal rumah untuk melindungi kakinya yg sarat kapalan dr lantai yg cuek, jelas kulihat ia merasa tak nyaman. Hanya demi menghargai menantunya, ia menyeret sandal berbulu itu ke sana kemari.
Tiga hari menginap, ayah menetapkan pulang! Kukira ia tak betah, tetapi ia berkelit dgn mengatakan tak baik rumahnya dibiarkan kosong untuk waktu yg lama.
“Ayah pasti kesepian di sana. Kita sewakan saja, Yah, biar ada yg menempati.”
Tapi ayah menolak. “Rumah jelek begitu, siapa yg mau menyewa?”
Ingin kulontarkan tanggapan mungkin sebaiknya rumah itu dijual saja, tetapi kuurungkan niatku. Dapat kutebak bahwa ayah masih belum mengubah pendiriannya. Usulku untuk merenovasi yg kusampaikan beberapa kali lagi pun tetap ditolaknya. Diam-diam, selaku anak yg mengetahui segala perjuangannya, gue merasa gagal. Gagal menyenangkannya.
“Tidak perlu cemas. Ayah tak akan kesepian. Ayah bisa men dengarkan radio atau menonton televisi.”
Aku tahu ayah tak menggandrungi benda-benda elektronik itu. Aku percaya, sejak kuletakkan televisi berukuran besar di ruang tamunya, tak habis hitungan kedua jari tangan ia pernah menyalakannya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dgn memulung barang-barang bekas di luar rumah, membuatku mendapatkan olok-olok yg lebih menohok lagi.
Paginya, tatkala gue bersiap untuk berangkat ke kantor, ayah pula mengemasi barang-barangnya. Ia menentukan kembali ke rumah buruknya yg bersanding rumah-rumah megah. Kuputuskan untuk mengantarnya sendiri alih-alih meminta bantuan sopir.
Aku menerka, ayah tak mau memasarkan atau merenovasi rumah itu karena argumentasi melankoli romantik ini: rumah itu sarat dgn ingatan bersama ibu yg lebih dahulu berpulang dua puluh tahun kemudian. Di sanalah mengalir cinta, peluh, bahkan darah dlm usaha hidupnya. Semua menyatu, seiring waktu mengkristal menjadi kenangan. Dan, kenangan tak dapat dibeli dgn uang.
Setiba di rumah, ayah kembali terlihat lebih hidup. Ia mondar mandir ke sana kemari bertelanjang kaki, sementara gue tak melepas sepatu pantofelku yg hitam mengkilat. Kami duduk di dingklik kayu, dekat lemari perkakas dapurnya yg butut.
Dengan suara selembut mungkin, gue memberanikan diri mengajukan pertanyaan. “Yah, apa sebetulnya yg membuat ayah enggan menjual rumah ini? Aku bahkan bisa membuat rumah yg lebih indah dr yg bisa ayah bayangkan.”
“Ayah tahu ananda terusik dgn komentar-komentar tetangga, tapi ayah tak akan berubah pikiran. Jangan paksa ayah. Tolong.”
Aku diam. Selama ini kami saling mendiamkan komentar-komentar jelek para tetangga, tak pernah membicarakan, terlebih membalasnya. Jawaban yg kuharapkan tak kuperoleh.
“Ayah tak menghendaki rumah, terlebih yg megah,” katanya lagi. “Bagaimana pun, rumah abadi kita yakni tanah. Tubuh ini pun terbuat dr tanah. Di penghujung usia ini, ayah ingin senantiasa berdekatan dgn tanah. Mengakrabkan diri dengannya.”
Aku menunduk, memandangi kaki ayahku yg entah bagaimana, terlihat menyatu dgn warna lantai dapur ini. Kaki itu lalu menggosok-gosok tanah dgn pelan, seolah menyapanya.
“Pergilah! Nanti kau terlambat melakukan pekerjaan …” Ayah bangun. “Tidak usah khawatirkan rumah ayah. Setelah ayah mati nanti, kau bisa secepatnya memasarkan atau merenovasinya. Biarkan rumah ayah sebagaimana adanya, dalam waktu dekat.”
Aku tersentak. Dibanding olok-olok tetangga, kalimat ayahlah yg terasa paling menohok. Tak kutemukan lagi kalimat untuk menjawabnya.
Sembari berjalan keluar, mataku menelusuri setiap inci permukaan yg kulihat. Tak ada lagi permukaan tanah yg terlihat sejauh mata menatap. Jalan, trotoar, parit, bahkan pekarangan setiap rumah telah tertutup oleh berbagai material yg bukan tanah. Entah aspal, semen, rumput hias, apa pun. Hanya rumah ayahku yg masih berlantai tanah, lantai dapurnya.
Mata ayah lekat memandang pergerakanku, mulai dr menyalakan mesin, memutar mobil hingga melajukannya ke luar komplek. Lewat kaca spion, kulihat ayah masih mengawasiku. Tubuhnya tampak mengecil. Tiba-tiba gue tergugu. Bayangan tatkala hari ayah akan meninggal membuat dadaku sesak.