Jenis-Jenis Naskah Bali

Jenis-Jenis Naskah Bali 
Ketika Dr. H. H. Juynboll berbicara wacana kesusastraan Bali, pertama-tama dia mempertanyakan; Apakah yang disebut kesusastraan Bali dan bagaimana keterkaitannya dengan kesusastraan Jawa, terutama dengan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan di satu pihak dan Sasak di pihak lain? Selanjutnya beliau mengingatkan bahwa orang-orang Jawa sesudah jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang terakhir, memindahkan seluruh kebudayaan mereka yang lama, antara lain agama, kesenian, dan kesusastraan mereka ke pulau Bali yang dekat, di mana hal itu sampai sekarang masih hidup terus (1916:556). Ketika berbicara perihal kerangka historis sastra Jawa Kuna, Prof. Dr. P. J. Zoetmulder memberi penjelasan wacana hal itu. Dikatakannya bahwa sejak pertengahan periode ke-14 Bali masuk ke dalam lingkup pengeruh Hindu-Jawa seperti terasa melalui pusat kebudayaan dan religi; dan sebagai konsekuensi bahwa sejak saat itu Bali harus dipandang selaku suatu bagian dari kebudayaan Hindu-Jawa. Di sentra-sentra keagamaan itu bahasa Jawa Kuna nyaris pasti dituturkan dan ditulis. Sastra Jawa Kuna tidak cuma dimaklumi dan dipelajari, tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya Baru ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan, karya-karya itu mengikuti tradisi yang sudah berlaku dengan demikian erat dan mengandung demikian sedikit komponen yang mampu diidentifikasikan selaku khas Bali, sehingga sukar bahkan adakala tidak mungkin membedakan karya-karya ini dari karya-karya yang ditulis di Jawa sendiri. Sama-sama dengan karya-karya orisinil Jawa mereka tergolong khasanah sastra Jawa (1983:24). Tentang sastra Jawa Pertengahan Zoetmulder melontarkan pernyataan yang tegas, bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal akil balig cukup akal ini, berasal dari Bali (1983:33), oleh alhasil jauh sebelumnya Juynboll telah menyatakan sebagai kesusastraan Bali, walaupun bahasanya bukan bahasa Bali (1916:560).
Dengan demikian kita mampu mengetahui dengan pembagian kesusastraan Bali yang diberikan oleh Friederich, dalam laporan sementaranya tentang pulau Bali (1849:1-63). Ia membagi kesusastraan Bali menjadi tiga kelompok, adalah :
1. Karangan-karangan Sanskrit dengan terjemahan bebasnya dalam bahasa Bali. Dalam kalangan ini dimasukkan Weda-Weda, Brahmandapurana dan sebagian besar dari karangan-karangan prisa yang disebut tutur.
2. Karangan-karangan Kawi, yang dibagi menjadi dua bagian :
a. Karangan-karangan epis yang bagi rakyat Bali sungguh menakutkan, seperti Ramayana, Uttarakanda, dan Parwa-parwa;
b. Puisi Kawi yang lebih ringan, misalnya Arjunawiwaha, Bharatayuddha dan sebagainya.
3. Karangan-karangan Jawa-Bali; sebagian besar dalam metrum dalam negeri (kidung), misalnya Malat, sebagian ditulis dalam prosa, mirip karangan-karangan historis Ken Angrok, Rangga Lawe, Usana, dan sebagainya.
Kita tidak mempersoalkan keberatan-keberatan yang mampu diajukan kepada pembagian tersebut, mirip yang diajukan oleh Juynboll (1916) dan sebelumnya secara tersirat oleh Van Eck (1875), tetapi kita ingin menyatakan kesan kita bahwa menciptakan pembagian kesusastraan Bali dan atau menciptakan pengelompokkan tersebut akan mesti mempertimbangkan tidak saja isi dan bentuk naskah tersebut namun juga bahasanya.
I. JENIS-JENIS NASKAH BALI
R. Van Eck menyajikan pembagian yang oleh Juynboll dinyatakan lebih baik ketimbang pembagian yang disajikan oleh Friederich. Menurutnya orang-orang Bali membagi goresan pena-tulisan mereka dalam empat bagian utama selaku berikut:
A. Kakawin atau syair-syair yang ditulis dalam metrum Kawi dan dengan bahasa Kawi.
B. Mantra-mantra, sebagian ditulis dalam prosa, sebagian lagi dalam sloka-sloka yang bahasanya adakala ialah bahasa Kawi atau Sansekerta dan kemudian ada yang diaduk dengan bahasa Bali.
C. Karangan-karangan prosa (paca paliring atau paca periring) yang semuanya ditulis dalam bahasa Kawi. Bagian ini dibagi lagi menjadi lima bab, yaitu :
(a) Tulisan-goresan pena pengajaran (tutur) yang sebagian bersifat pendidikan dan mistik;
(b) Buku undang-undang (agama);
(c) Tulisan-goresan pena mengenai pengobatan (usada);
(d) Karangan-karangan historis;
(e) Surat-surat dan perjanjian tertulis antara raja-raja Bali (surat pasobaya). Semuanya ditulis dalam bahasa Bali yang bagus.
D. Syair-syair dalam mat-mat sajak yang lebih haru. Bagian ini dibaginya lagi menjadi :
(a) Yang mula-mula merupakan syair Jawa (Kawi) yang dibawa ke Bali dan di sini disimpan secara utuh atau beberapa nama ditukar-tukar dan disisipi kata-kata Bali. (Ternyata yang dimaksudkan dalam hal ini yakni baik syair-syair Jawa Tengahan/misalnya Malat/maupun syair-syair Bali/umpama Wargasari/)
(b) Geguritan yang dibaginya lagi menjadi :
1) Terjemahan ke dalam bahasa Bali atau saduran-saduran dari dongeng Jawa tulen, tetapi yang bahasanya masih sungguh bercampur dengan bahasa Jawa (Kawi).
2) Tulisan-goresan pena Bali asli yang ialah kesusastraan Bali tulen.
Ketika menyajikan goresan pena wacana penjabaran naskah lontar Gedong Kirtya Singaraja, Nyoman Kadjeng menyatakan mengamati juga pembagian yang diajukan oleh Friederich dan Van Eck tersebut (1929:20). Tetapi penjabaran yang diajukannya ternyata sungguh lain, sebagaimana terpakai juga sampai sekarang. Naskah-naskah lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya dibagi menjadi enam bagian dan masing-masing bagian memiliki sub bab, selaku berikut :
A. Weda 
(a) Weda; 
(b) Mantra; 
(c) Kalpasastra
B. Agama
(a) Palakerta; 
(b) Sasana;
(c) Niti
C. Wariga
(a) Wariga; 
(b) Tutur; 
(c) Kanda; 
(d) Usada.
D. Itihasa
(a) Parwa;
(b) Kakawin;
(c) Kidung; 
(d) Geguritan.
E. Babad
(a) Pamancangah;
(b) Usana;
(c) Uwug.
F. Tantri
(a) Tantri; 
(b) Satua
Belakangan I Ketut Suwidja menambah dengan golongan G yang diberi nama Lelampahan; memuat lakon-lakon pertunjukkan kesenian, Gambuh, Wayang, Arja dan sebagainya.
Pembagian di atas telah mampu menawarkan gambaran perihal jenis-jenis naskah lontar yang ada di Bali. Keberatan yang mampu diajukan antara lain berhubungan dengan pengelompokkan jenis-jenis naskah tersebut, tepatnya dengan nama kalangan yang diberikan. Dalam kelompok C Wariga misalnya di samping termuat naskah-naskah Wariga (memuat pengetahuan perihal astronomi dan astrologi), juga dimasukkan naskah-naskah tutur (naskah-naskah pengajaran yang dekat relevansinya dengan keagamaan), kanda (ilmu bahasa, bangunan, dan pengetahuan-pengetahuan khusus) dan usada (wawasan pengobatan atau penyembuhan).
Untuk menerima gambaran umum wacana isi jenis-jenis naskah tersebut, untuk keperluan makalah ini kami condong mengikuti pembagian yang diberikan oleh Th. Pigeaud kepada kepustakaan Jawa (1967:20 dengan memberi pelengkap penitikberatan pada bagian yang kami anggap penting, baik alasannya adalah jumlahnya yang banyak maupun karena kedudukan dan fungsinya yang penting dalam masyarakat. Pembagian tersebut adalah selaku berikut :
(1) Naskah-naskah Keagamaan dan Etika :
a) Weda, Mantra dan Puja
Naskah-naskah yang menggunakan judul Weda, Mantra, dan Puja lumayan banyak ditemui. Naskah-naskah ini biasanya memuat sloka-sloka Sanskerta, kadang-kadang terdapat juga kata-kata Jawa Kuna dan Bali. Naskah-naskah ini tergolong naskah-naskah yang disucikan, alasannya menjadi pegangan para pendeta di Bali. Dr. Juynboll memberitahukan bahwa di perpustakaan Ryksuniversiteit di Leiden terdapat beberapa ratus buah naskah jenis ini, yang seluruhnya dapat dibagi atas bagian-bab Siwaistis, Wisnuistis, dan Buddhistis.
b) Kalpasastra
Naskah-naskah dalam jenis ini yakni naskah-naskah yang menampung aturan-aturan upacara keagamaan. Ada yang menggunakan bahasa Jawa Kuna, Bali, atau adonan dari kedua bahasa tersebut. Naskah-naskah ini sangat dipentingkan oleh pemuka-pemuka agama di Bali selaku anutan dalam melaksanakan upacara keagamaan terutama upacara-upacara keagamaan yang bersifat khusus.
c) Tutur
Naskah-naskah dengan judul tutur sungguh banyak dijumpai. Isinya ternyata tidak saja berhubungan dengan pedoman-pemikiran keagamaan termasuk uraian tentang cosmos, namun juga memuat penjelasan-klarifikasi wawasan-wawasan tertentu, seperti pengetahuan pengobatan, atau penyembuhan (Welfgang Weck, 1976:V). Ketika membicarakan lontar Jnanasiddhanta, Prof. Dr. Haryati Soebadio sempat membicarakan perumpamaan ‘tutur’ tersebut dengan detail. Ia menyetujui usulan Zoetmulder yang menyatakan term tutur yaitu terjemahan dari kata smrti dalam bahasa Sanskerta (1971:3). Smrti berarti ingat. Makara naskah-naskah tutur memuat “tafsiran”, “kajian” oleh seorang ahli terhadap fatwa-anutan yang sudah ada.
Juynboll memasukkan sejumlah naskah yang tidak menggunakan judul tutur dalam bab ini di antaranya yang terpenting yakni Bhuwanasangksepa, Bhuwanakosa, Wrehaspatitattva dan lainnya, sedangkan Gedong Kirtya memasukkannya jauh lebih banyak lagi. Naskah-naskah ini kebanyakan menggunakan bahasa Jawa Kuna, adapula yang menggunakan bahasa Bali atau campuran bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Bali. Beberapa di antaranya menampung sloka-sloka Sanskerta dengan terjemahannya dalam bahasa Jawa Kuna.
d) Sasana
Naskah-naskah dengan judul sasana umumnya menampung petunjuk-petunjuk kesusilaan dan budbahasa. Misalnya ihwal aturan tingkah laku seorang anak (putra sasana), seorang pendeta (wrati sasana), dan lainnya.
e) Niti
Naskah-naskah lontar yang memakai judul niti tidak banyak jumlahnya. Sekalipun demikian naskah ini cukup penting, alasannya menampung hukum-hukum kepemimpinan yang pada masanya pernah dijadikan pedoman oleh seorang raja dalam menjalankanpemerintahan atau dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa naskah yang juga mampu digolongkan dalam jenis ini di antaranya berjudul Bhagawan Indraloka, Bhagawan Kamandaka dan lainnya.
(2) Naskah-naskah Kesusastraan :
a) Parwa
Naskah-naskah Parwa ialah prosa yang disesuaikan dari bagian-bab epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan memperlihatkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya orisinil dalam bahasa Sanskerta; kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh taks parwa itu (Zoetmulder, 1983:80).
Ada beberapa naskah yang umumnya digolongkan dalam bab ini, di samping sembilan parwa dari 18 parwa (astadasaparwa) yang ditemui dalam bahasa Jawa Kuna. Beberapa di antaranya yang paling penting adalah Uttarakanda, Korawasrama, Agastyaparwa dan sebagainya.
b) Kakawin
Kakawin ialah jenis karya sastra puisi Jawa Kuna, yang berpola kawya India. Garis besar kaidah bentuknya yaitu tiap bait terdiri atas empat baris, tiap baris terbentuk oleh sejumlah silabel tertentu (chanda), dan panjang pendek suara tertentu (gurulaghu). Jumlah karya sastra yang sungguh memikat para peneliti sastra Jawa Kuna ini lumayan banyak. Beberapa di antaranya yang paling penting sudah dibicarakan, namun masih lumayan banyak yang belum diedit apalagi dikaji secara ilmiah. Naskah-naskah kakawin yang dimaksud yaitu naskah-naskah yang dikarang di Bali.
c) Kidung
karya sastra kidung adalah karya sastra puisi yang memiliki kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya ialah mempunyai jumlahsilabel tertentu dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai suara tertentu (misalnya : suara a, i, u,). Ketika mengatakan wacana sastra kidung, Zoetmulder pertama-tama menekankan bahwa kidung yakni kata Jawa orisinil. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk menulis suatu penelitian komprehensif tentang sastra kidung belum datang. Alasannya antara lain ialah sebab adanya lumayan banyak naskah-naskah kidung, tetapihanya sedikit saja yang pernah diterbitkan dan lebih minim lagi yang pernah diterjemahkan (1983:510). Richard Herman Wallis dalam desertasinya secara teliti mengaitkan sastra kidung dengan musik Bali, serta menyebutnya juga selaku “ritual singing style” (1979:174-234).
d) Geguritan dan Parikan
Geguritan dan Parikan yaitu karya sastra Bali yang dibuat oleh pupuh (pupuh-pupuh). Pupuh tersebut diikat oleh beberapa kaidah (disebut pada lingsa), adalah banyaknya baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi akhir tiap-tiap baris. Ada 46 buah pupuh yang sudah dicatat, di antaranya sepuluh buah di antaranya yang banyak dipakai. Karya sastra geguritan yang jumlahnya ratusan itu, biasanya menggunakan bahasa Bali. Naskah-naskah yang memakai judul parikan lazimnya berbentuksaduran-saduran dari naskah-naskah parwa, atau kakawin. Penelitian kepada jenis naskah ini baru sedikit dikerjakan. Di antaranya dapat disebutkan beberapa observasi penting yang dilakukan oleh Dr. C. Hooykaas.
e) Satua 
Satua adalah kisah rakyat Bali. Sebagian besar dalam bentuk ekspresi, lalu dijadikan naskah (tertulis). Ada pula beberapa di antaranya yang telah dibicarakan misalnya oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, dan Dr. C. Hooykaas.
(3) Naskah-naskah Sejarah dan Mitologi :
Jenis naskah yang menampung uraian sejarah dan mitologi umumnya menggunakan judul babad, pamancangah (atau bancangah), Usana, prasasti dan uwug (rusak,rereg). Perbedaan masing-masing jenis naskah tersebut tidak terang, kecuali naskah uwug (rusak,rereg), yang umumnya khusus menampung uraian ihwal kehancuran suatu daerah atau kerajaan alasannya adalah perang contohnya. Naskah-naskah dengan judul babad di antaranya yang terbanyak dijumpai.
Ada pula sejumlah naskah sejarah yang tidak menyertakan ungkapan-istilah di atas dalam judulnya. Menurut Juynboll yang terpenting di antaranya yakni : Ken Arok atau Pararaton, dan Tattwa Sunda.
(4) Naskah-naskah Pengobatan atau Penyembuhan :
Naskah-naskah pengobatan atau penyembuhan yang lazimnya menggunakan judul usada pada potensi ini ingin kami tonjolkan, bukan semata-mata alasannya adalah jumlahnya yang relatif banyak, namun juga alasannya sudah semakin disadari faedah asli dari naskah-naskah tersebut dalam pengembangan pengetahuan kedokteran dan farmasi misalnya. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dalam menyambut pendirian Baliologi secara khusus menginginkan supaya penelitian kepada naskah-naskah usada ini diprioritaskan.
Dr. Wolgang Weck dalam pengirim tulisannya wacana pengetahuan penyambuhan di Bali antara lain menyatakan bahwa penyelidikannya pertama-tama terbatas pada tata cara penggarapan-penggarapan (orang sakit) yang dilaksanakan orang Bali serta obat-obatan yang dipakainya; kemudian oleh alasannya adalah hasil yang diperolehnya tidak memuaskan (hasil-hasil tersebut dia dapati secara mulut), dia mengalih pada studi mengenai usada-usada, yang di dalamnya diperinci nama-nama penyakit dan obat-obatan yang diterapkan padanya dan juga gambaran-citra (dalam arti : bentuk) penyakit. Tetapi segera dia harus mengakui bahwa dengan demikian orang cuma bergerak pada permukaan wawasan orang Bali perihal kedokteran mereka dan banyak hal yang tidak dimengerti, selama orang tidak mengindahkan lontar-lontar tutur yang ialah anutan-pedoman teoritisnya yang juga dianggap sebagai saka guru dasar-dasar akal tertingi dalam wawasan penyembuhan (1976:V). Pernyataan di atas telah memberikan gambaran ihwal betapa pentingnya dilakukan penelitian terhadap naskah-naskah usada beserta uraian teoritisnya dalam naskah-naskah tutur, yang risikonya mungkin dapat menjadi santunan yang khas terhadap ilmu yang bersangkutan.
Naskah-naskah perihal wawasan penyembuhan tidak semuanya memakai judul usada, malah yang paling penting memakai judul Buddha Kecapi.
(5) Naskah-naskah Pengetahuan Lain :
Ada beberapa naskah yang dapat dikelompokkan karena menguraikan wawasan tertentu, contohnya wacana pengetahuan kearsitekturan, lexikographi dan tatabahasa, aturan, serta perbintangan.
Naskah-naskah yang menguraikan wawasan kearsitekturan umumnya menggunakan judul Astakosali, Asta kosala, Asta bhumi, Swakarma, Wiswakarma dan yang lain. Terdapat sejumlah versi naskah Astakosali. Di samping itu ada pula naskah-naskah yang menampung aba-aba etik arsitek tradisional (Dharmaning Sangging), dan uraian perihal hal-hal yang berhubungan dengan upacara penyucian bangunan (Pemlaspas).
Naskah-naskah yang digolongkan sebagai naskah-naskah lexikographi dan tata bahasa yakni naskah-naskah dengan judul Adiswara, Ekalavya, Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama, beberapa naskah yang menggunakan judul krakah (misalnya krakah sastra, krakah modre) dan sebagainya. Naskah Ekalavya dan Dasanama tidak saja memuat daftar kata, namun malah menampung sejumlah makna sinonimnya, sedangkan naskah-naskah krakah antara lain memuat uraian beserta makna dari sebuah perumpamaan dalam naskah-naskah tertentu. Itulah sebabnya naskah-naskah ini sungguh penting dijadikan pegangan dalam mempelajari naskah-naskah lontar.
Naskah-naskah hukum juga didapatkan dalam kepustakaan Bali. Beberapa di antaranya yang penting yakni : Adigama, Dewagama, Kutara Manawa, Purwadhigama. Naskah-naskah aturan yang lebih banyak bercorak Bali di antaranya berjudul Kretasima, Kertasima, Subak, Paswara, Awig-awig.
Naskah-naskah yang memuat wawasan astronomi umumnya memakai judul wariga dan Sundari. Naskah-naskah jenis ini banyak dijumpai. Uraian di dalamnya terlait denganmasalah-persoalan pertanian, contohnya penentuan iklim, hari baik atau hari buruk untuk suatu pekerjaan, hingga pada penenrtuan hari-hari baik untuk upacara keagamaan.
Pada bagian yang membahas naskah-naskah wawasan ini telah ditonjolkan beberapa kelompok saja. Kami menyadari masih ada golongan lain yang untuk membicarakannya perlu dijalankan investigasi yang teliti apalagi dulu (misalnya naskah-naskah mistik dan tenung).
Uraian wacana jenis-jenis naskah di atas sebetulnya masih bersifat sungguh biasa , dan kepada pengelompokkannya pun agaknya masih dapat diajukan keberatan-keberatan.
Adanya banyak naskah dengan aneka macam macam isinya, serta disuguhkan dalam beberapa bentuk (prosa atau puisi), yaitu beberapa sebabnya. Sekalipun demikian gosip yang diberikan diperlukan ialah berita yang menyeluruh dengan memberi penonjolan pada jenis-jenis naskah yang penting.
II. USAHA PENYELAMATAN
Usaha pencatatan naskah-naskah lontar yang dikerjakan oleh Dr. Haryati Soebadio dengan mitra-kawan dari Universitas Indonesia (1973), Institut Hindu Dharma (1975), dan Jurusan Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Unud (1977 dan 1981) memberikan citra bahwa dalam masyarakat Bali masih tersebar naskah-naskah klasik yang sebagian besar ditulis di atas daun rontal. Naskah-naskah tersebut di samping dimiliki oleh orang-orang yang “berkeinginan” pada naskah-naskah tersebut, namun tidak sedikit menjadi koleksi orang-orang yang secara kebetulan mewarisinya dari orang tuanya. Oleh alasannya itu naskah-naskah tersebut sering tidak menerima perhatian yang sebaiknya, sehingga ada kecenderungan untuk rusak, lapuk, atau mungkin terjual terhadap orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diketahui Pulau Bali berada di tempat tropis dan beriklim lembab, iklim yang demikian akan mempercepat lapuk dan rapuhnya naskah-naskah rontal tersebut.
Penyelamatan naskah-naskah rontal sesugguhnya telah dijalankan oleh kolektor-pengumpul rontal di Bali, yang jumlahnya relatif banyak. Adanya peringatan hari suci Saraswati, yang tiba setiap : 210 hari, di mana para kolektor naskah mengumpulkan naskah-naskah yang dimilikinya (pastinya juga membersihkannya), adalah acara evakuasi masal yang penting artinya. Di samping itu adanya usaha menyalin rontal-rontal tertentu (khususnya yang fungsional) olehpara agamawan dan budayawan, adalah perjuangan penyelamatan yang cukup penting pula. Tetapi bukan mustahil, sejumlah rontal (yang mungkin sangat penting) dapat terlepas dari perhatiannya.
Pada tahun 1928 didirikanlah Gedong Kirtya di Singaraja. Tujuan pendiriannya dengan tegas dinyatakan untuk melacak, menyelamatkan, dan memelihara naskah-naskah rontal, baik yang berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Bali dan Sasak. Di samping Gedong Kirtya Singaraja, Lembaga rontal Fakultas Sastra Universitas Udayana mempunyai juga sejumlah rontal (sekitar : 750 buah), sedangkan di luar Bali naskah-naskah rontal tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta (dahulu Perpustakaan Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen), dan Perpustakaan Universitas Negeri Leiden, Negeri Belanda. Kita pun mengetahui perhatian besar erhadap naskah-naskah rontal diberikan juga oleh beberapa Universitas di Australia dan India, di samping peneliti-peneliti yang tiba dari Negeri Belanda.
Dr. Haryati Soebadio pernah menyatakan bahwa usaha penyelamatan naskah Kuna tentu saja tidak mencakup sekedar penyimpanan atau pembuatan kopy. Dalam hal naskah orisinil yang cukup kuna perlu dipikirkan juga preservasi materi kunanya. Buku rontal yang sudah renta sekali, sehingga lempir-lempirnya gampang retak, contohnya, seharusnya : dipreservasi dengan setiap halaman helai rontal itu dimasukkan secara vacuum ke dalam selubung plastik. Dengan demikian setiap helai rontal itu dapat dipegang-pegang untuk dibaca tanpa bahaya akan retak (1973:14). Dalam pertumbuhan teknologi sekarang pasti ada cara-cara evakuasi naskah-naskah kuna yang lebih baik (pengerjaan mikrofilm?).
Usaha yang dilakukan oleh Dr. Hooykaas patut dicatat di sini. Menurut J. L. Swellengrobel, Hooykaas sudah sukses memproduksi 2.500 teks transliterasi naskah rontal (1980:198). Karena perjuangan tersebut berlanjut terus, jumlah itu sekarang pasti bertambah.
Sekalipundemikian kami masih mempunyai asumsi bahwa di dalam masyarakat Bali masih tersimpan naskah-naskah rontal yang “penting”. Gedong Kirtya misalnya pernah mengumumkan penemuannya perihal naskah pembuatan “racun”, serta menyatakan sedang mencari sejumlah rontal yang disangka masih ada dalam masyarakat. Kasus penemuan rontal Nagarakretagama masih segar dalam kenangan kita. Begitu usang naskah rontal yang penting itu dianggap sebagai codex uniqus (naskah tunggal) dan tersimpan di Negeri Belanda. Baru saja naskah tersebut dikembalikan kepada Bangsa Indonesia melalui Bapak Presiden Suharto, tiba-tiba Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus memberitahukan penemuan rontal Nagarakretagama yang usianya diduga lebih bau tanah kalau ketimbang naskah yang didapatkan J. L. A. Brandes pada tahun 1894 di puri Cakranagara Lombok. Sampai ketika ini tidak diketahui ada tidak kurang dari lima buah naskah rontal Nagarakretagama. 
Oleh alasannya adalah itu di samping usaha penyelamatan dan pemeliharaan terhadap naskah-naskah yang telah ada dan tersimpan dalam beberapa Perpustakaan tersebut di atas, usaha pelacakandan pengumpulan naskah-naskah yang masih “tercecer” dalam penduduk perlu segera dijalankan. Transliterasi naskah sebagaimana dilakukan oleh Dr. C. Hooykaas dan anak buahnya, dengan mengikuti cara kerja ilmiah perlu diteruskan.