Jendela Tua | Cerpen Iyut Fitra

Selalu. Pada karenanya kita akan pulang pada kesendirian. Setelah suami meninggal. Setelah bawah umur memilih rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol kekokohan yg bergotong-royong teramat rapuh & sunyi. Di sanalah bermukimnya para ibu renta. Dengan kebaya lusuh. Dengan selendang usang. Menyulam waktu yg tak terukur. Menjahit rentang tak terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, pasti akan terus berjalan.

Sebuah jam lama di tonggak rumah gadang menunjukkan pukul delapan malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa sehabis sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yg tergantung di dinding. Setelah memperhatikan angka demi angka dlm almanak tersebut, perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dgn bingkai yg tidak mengecewakan besar di segi dinding yg lain.

Ibu bau tanah itu memperhatikan satu persatu foto yg terpampang tersebut. Suaminya. Dan lima orang anaknya. Tiga pria & dua orang wanita. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Ibu tua menghela nafas panjang.

”Kesunyian pula akhirnya yg menetaskan rindu. Suara bawah umur. Canda keluarga. Barangkali yaitu arus kebahagiaan yg hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu?” ibu tua itu bergumam sendiri, lalu berjalan menuju bangku kayu untuk mengawali aktivitasnya tiap malam, menjahit. Merenda kain pintu atau taplak meja sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia benar-benar bosan dgn rangkak malam yg final-tamat ini ia rasa bergerak sangat lamban.

Usianya sudah enam puluh lima tahun. Meski wajahnya masih mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tak mampu menghadang tiap lembar rambutnya yg memutih serta kulitnya yg keriput. Semenjak ketiga anaknya yg pria beristri, & kedua anaknya yg perempuan bersuami & menentukan menetap di rantau, serta semenjak suaminya meninggal, rumah gadang itu mulai sunyi. Hanya Upik, seorang anak wanita tetangga yg masih kelas enam Sekolah Dasar yg menemani kehidupannya menjalani hari-hari. Tak banyak kesulitan memang dlm hidupnya. Selain harta & tanah pusaka yg banyak menghasilkan seperti kelapa, padi, jagung & sebagainya, anak-anaknya pun tak pernah absen untuk mengantarkan duit tiap bulan. Tapi kesunyian dgn apa harus dibayarnya?

  Malam di Luar Hujan | Cerpen Sungging Raga

”Apa yg mampu dimaknai dr rumah gadang kebesaran. Lengkung luas kelapangan. Tanah, sawah, & tumbuhan yg berlimpah. Sementara sekeping jiwa larut dlm lengang…,” sering ia keluhkan itu. Sering perasaan itu mengunjungi & mengganggu ketenangan malam-malamnya.

Tiap hari dilalui oleh ibu bau tanah seakan-akan waktu tak ada guna. Bangun pagi-pagi. Setelah sholat subuh ia mulai mengolah masakan. Lalu membersihkan rumah. Lalu mencabut-cabut rumput. Lalu menanti Upik pulang sekolah. Lalu makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu…

Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dr rumah tetangga dgn lirik pantun Minang yg menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yg muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada daerah beriya. Ya, mereka semua jauh. Rantau lebih menarik mereka ketimbang dusun yg lengang. Gegas kota lebih menciptakan hidup terasa berdenyut dibanding lengking bangsi yg merusuh hati. Ibu bau tanah tak sanggup memaksa mereka untuk pulang, untuk menetap di kampung. Apalagi semua anaknya telah mempunyai rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga sendiri.

”Mungkin ini yg ibu-ibu lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri!” gumam ibu bau tanah itu kembali tersenyum sendiri.

Di jendela, ibu bau tanah memandang jauh ke halaman. Anak-anak bermain lumpur, berlempar-lemparan. Ada yg berkejar layang-layang putus. Di ujungnya, gunung Sago terbentang jelas. Waktu itu pun menyergapnya. Sesuatu yg berjulukan kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yg disebut lampau. Tatkala ia mengajak anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang. Mengantarkan kawa (kuliner & minuman) untuk petani-petani yg melakukan sawahnya. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah & belalang. Mereka bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan bareng -sama dgn para petani. Dengan samba lado & ikan asin yg dibuatnya di rumah. Lalu mereka pulang sesudah senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan sawah luas yg menguning. Ah, kenangan!

Ibu renta meninggalkan jendela itu. Ia kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-lepas dr angka-angka tersebut seolah-olah ada satu impian yg ingin digenggamnya. Sebentar lagi idul fitri. Anak-anaknya akan pulang. Dan tentu bersama suami & istri mereka serta cucu-cucunya. Kesunyiannya akan pecah. Gumpal lengang yg selama ini menyesak dada akan mencair & mengalir. Ia harus bersiap untuk menyambut mereka. Ibu renta tersenyum puas. Sangat lepas.

”Upik, sepekan lagi mereka pulang. Tolong peram pisang yg ditebang kemaren. Etek Suni paling suka kolak dicampur lemang!”

”Jangan lupa minta jagung pada Pak Simuh. Pak Adang Kalun niscaya minta jagung bakar!”

”Kita nanti akan buat samba lado tanak buat Etek Eti!”

”Oya, Upik. Juga pangek ikan buat Pak Etek Rustam!”

”Pical buat Pak Angah!”

Upik kadang galau. Kadang ucapan-ucapan ibu renta sudah seperti orang meracau. Tapi bocah kecil itu menjajal mengetahui dgn usianya sendiri, betapa menggunungnya rindu yg menggumpal di diri ibu renta. Dengan patuh ia siapkan apa yg diminta oleh ibu renta.

Sementara sang ibu renta, segala sesuatu terhadap tingkah & lakunya terlihat berlebihan. Beras yg masih ada di tambah. Takut nanti tak cukup, katanya. Setiap hari ia bersihkan rumah. Debu-debu. Kain pintu ditukar dgn yg gres. Begitu pula dgn gorden & taplak meja. Halaman & perkarangan diupahkan untuk membersihkannya. Pagar rumah dicat. Ibu tua tampakriang & girang. Sebentar-sebentar ia menyaksikan almanak. Sebentar-sebentar ia tersenyum. Sebentar-sebentar ia beralih menyaksikan foto keluarga. Foto di mana mereka semua sedang tersenyum.

”Sunyi akan pecah dr rumah ini!” ucapnya seperti gres saja mengungguli suatu pertarungan panjang. Itu terlihat dr wajah keriputnya yg bermetamorfosis berseri-seri sarat kesenangan.

Jendela rumah gadang. Sebuah bingkai kawasan memandang hari & waktu. Keramain & kesunyian. Keindahan & kepahitan. Segala yg berjulukan masa lalu, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar selaku suatu potret. Refleksi dr sebuah perjalanan yg dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan berubah menjadi menjadi gambar kehidupan.

  Pertunjukan Monolog | Latif Fianto

Tapi ibu tua mungkin lupa dgn gerak yg berjulukan pergeseran. Tatkala belum dewasa, menantu & cucu-cucu yg dinantikan-tunggunya pulang, ia sama sekali tak menyaksikan sunyi yg pecah. Tidak menyaksikan lengang yg cair. Tak ada yg mengalir ke muara. Hanya membisu yg kejam. Justru yg ditemukannya yakni suatu siksaan baru yg bernama keasingan.

Ia tak mengerti lagi dgn bahasa anak-anaknya yg sudah jauh bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yg terdengar ajaib. Kadang terdengar keras & tak sopan. Sikap & tingkah laku mereka tampaksangat berjauhan dgn kebiasaan orang-orang di kampung. Mereka sudah mengusung kota ke rumah gadang ibu bau tanah. Jantung ibu bau tanah tertusuk. Pedih. Sangat pedih. Ia merasa rindunya telah memukul kepalanya. Ia ingin menangis. Apalagi tatkala mereka lebih menentukan makan ke restoran dibandingkan dengan mencicipi kuliner yg jauh-jauh hari sudah disediakan ibu renta. Ia merasa dirinya limbung & secepatnya akan rubuh. Matanya berkunang-kunang. Panas.

Di jendela, sehari sehabis belum dewasa, menantu & cucunya kembali ke kota, ibu tua tertegun menatap jauh ke halaman. Di belakangnya Upik membisu tak berkata-kata. Dendang dr tape tetangga tak terasa mengiringi tetes tangis ibu tua yg titik menimpa selendang usangnya: Kalau dipikir-pikir benar. Luka hati jikalau tambah parah. Rendahlah ngarai dipandangi. Sebab selarut selama ini. Kalian tau apa yg menciptakan sedih. Dikira kalian tiba mengobati. Berharap luka kan sembuh. Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yg sesakit ini. Bila tak ingat Tuhan. Tentu lebih baik memilih mati.

Ibu tua mencoba tersenyum mendengar dendang tersebut. Dihapusnya airmata. Lalu memandang ke arah Upik.

”Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yg pula sudah bau tanah. Pada balasannya kita memang tak akan mampu menghindardr kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya yakni milik Tuhan!” ucap ibu renta itu. Lalu menutup jendela. Dan senja pun turun di kampung itu.

Payakumbuh, September 2008