Jelaga di Langit Jingga | Cerpen Ecep Yuli Sukmara

TERIK mentari menyengat seakan membakar ubun-ubun, kupepetkan motorku di kelokan trotoar dibawah naungan pohon ketapang. Langit mirip kehilangan birunya, sementara burung-burung bangau sawah menelusuri rerimbunan.

*****

DERU motor menghalus tersalip hiruk-pikuk raungan kendaraan di jalanan. Kudinginkan gerah tubuhku untuk sesaat. Tiba-tiba selularku menggelepar dibalik jaketku. Seseorang mengirim pesan singkat. Tak ada catatan nama yg tertulis, hanya deraian angka.

“Mas, cepatlah pulang! Ada informasi murung.”

Terkesiap saat itu juga, secepatnya jemariku memijit bel panggilan untuk menelefon balik. Tak ada tanggapan, cuma kegaduhan siar-siur menyelisik gendang pendengaran. Lamat-lamat geremang panjatan berbaur isak tangis memisteri diseberang sana. Matahari tetap tak bergeming membakar hari, acapkali kukipasi wajahku dgn syal ku. Ada apa gerangan, sampai angankan secepatnya berkelebat melampaui kepulanganku, menyusul pesan singkat mengagetkan dibalik nomor tak kukenali.

Sepasang anak muda memekik tertahan manakala kelebat motorku nyaris menyerempet punggungnya. Sumpah serapah pun sayup kudengar, masa bodoh. Setengah jam sesudah itu, motorku sudah menyelinap di antara kerumunan orang-orang di depan gang. Aku tak hendak membuka helmku, tatkala orang-orang & para tetanggaku menghambur mepet atas kedatanganku.

“Mas, tahu dr siapa?” Tanya istriku termenung-mangu. Kulempar jeketku keatas meja beranda serta helm kubuka.

“Mamah barusan dr sana, terlampau banyak para pelayat.” Keluhnya. Mendahului bibirku.

“Dari seseorang, Mah.” Kubalikan tubuhku, mengayun langkah secepat degup jantungku.

“Eh, Si Endu kemana?” Langkahku terhenti, teringat anak lelaki kecilku tak terlihat menyongsong kebiasaannya tatkala gue kembali dr bepergian.

“Lagi main layangan bersama sahabat-temannya.” Sahutnya sembari berlalu ke belakang.

Mentari menyisihkan separo bulatannya dibalik punggung bebukitan, cahayanya meredup santun. Aku bersimpuh seiring gema halus kalam-kalam ilahi dr mereka yg berkerumun menjelmakan warna kerinduan dilengkapi isak tangis pilu sanak kerabat. Seakan tak yakin, seolah info dr antah berantah manakala kudapati badan sahabatku terbujur kaku. Dua hari yg kemudian, istrinya menelpon memohon mengantarnya ke rumah sakit terkait komplikasi penyakitnya yg acapkali kambuh.

  Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga

“Mengapa selesai-final ini, angan & perasaanku senantiasa saja tersaput gelinjang takut. Padahal kondisi kesehatanku sudah dinyatakan fit & segala penyakitku sirna. Itu kata beberapa dokter, Sdulur.” Begitu ia berkeluh-kesah suatu malam, tatkala gue menemaninya.

“Sebenarnya, apa yg menjadi beban pikiranmu ketika ini?” Tanyaku pelan. Sahabatku, bulan ampunan cuma menekuk parasnya.

“Seandainya gue pergi memenuhi panggilan Ilahi, gue khawatir, Sdulur. Pada siapa ia harus mengadu karena kau tahu, gue tiada berkemampuan memberikan keturunan padanya meski usia pernikahan hampir dua dasawarsa.” Hingga disini kata-katanya terhenti alasannya adalah menyempatkan udara malam singgah dikerongkongannya yg dirasakannya kerontang, disandarkan tubuhnya pada tumpukan bantal dgn sedikit erangan mendesis dr bibirnya. Sementara mulutku hanya diam.

“Sudahlah, Mas! Dari hari ke hari kau pusatkan arah pikiranmu cuma pada ketakutan & panik. Berdoalah sebagaimana tiada henti gue berdoa demi kesembuhanmu, & pula demi harapan kita dianugerahi momongan. Lagian, bukankah ada Retno, anak asuh kita. Bahkan beberapa bulan ke depan kita akan menikahkannya yg tentunya akan menghadiahi kita dgn seorang cucu.” Sangat pelan berkata Suprihatin.

“Semangat sembuhlah, Mas. Pekan depan, insyaallah kita pula akan melaksanakan umrah.” imbuhnya lagi.

Sunyi malam, geremang suaranya masih tercema tepat. Kuanggukan kepala bukan sebab sebuah persetujuan, bukan pula alasannya instruksi kemengertian. Kuselami arti sebuah kegalauan melalui raut parasnya. Tentu gue pun akan bersedu-sedan andai situasi kelabu hatinya berpindah ke pundakku. Hampir sepuluh tahun tolong-menolong mengarungi dunia pendidikan di sebuah pondok majelis ilmu. Aku, ia & pula Suprihatin yg sekarang menjadi istrinya, kemudian berpencar, gue berkelana dr pondok satu ke pondok yang lain sedang Ramadan bernasib beruntung ditarik mengajar di sebuah forum pendidikan.

  Sepotong Tulang dengan Daging Kering yang Menempel Disisinya | Cerpen Supartika

“Sudahlah jangan terlalu berkutat dgn kecemasan, Sdulur.” Bergelinding datar ucapanku meredakan suasana. Memperkuat pernyataan Suprihatin.

“Yah, itu pasti. Insyaallah doakan saja. Dua rencana besar itulah yg gue jadikan penawar kekhawatiranku.”


*****


“Bapak-bapak pula sdulur-sdulur sekalian, atas restu seluruh keluarga almarhum. Jenazah almarhum akan dimandikan sore ini juga.” Kiyai Bagusdin, selaku orang yg dituakan tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Belum sepenginangan, tubuh kurus kecil kuning langsat sudah terbujur diatas keranda pemandian. Tak sanggup mataku berlama- lama menatap teduh parasnya. Anganku kembali menjelajahi rentang silam. Dalam sebuah konferensi sesudah bertahun-tahun disibukkan oleh aktivitas masing-masing. Aku berdua bulan rahmat meluangkan sowan terhadap beberapa kyai untuk kemudian meneruskan berkholwat dibeberapa petilasan keramat.

Insyaallah, kalian berdua akan memperoleh jodoh dengan-cara serentak, bahkan diberbagai situasi kalian akan melakoninya dengan-cara berbarengan.” Demikian tutur mereka tatkala menyambut kami dgn senyum lebar serta bejubel petuah hidup. Dari sini, bulan berkat dipertemukan dgn keluarga Suprihatin.

“Tau akan menjadi pendamping hidupku, kenapa tak dr dahulu sejak masih sepondok.” Ramadan berkelakar, kala itu. Yang hanya dijawab senyum ranau sang istri.

Ila hadharati Cak bulan rahmat bin Simbah Suhando, alfatihah!” Kembali Kiyai Bagusdin berteriak, mengomandoi geremang ayat pembuka. Cukup menghentakanku, tanah pijakan serasa bergetar, angin masbodoh berseliweran menebar wangi air mawar dr keranda pemandian. Tak sempat gue mendekat namun kurasakan kehadirannya begitu dekat merapat. Tak jua tertahankan, sudut mataku sembab melelehkan air kedukaan, tak kusangka secepat ini kamu-sekalian berpulang, Bukankah kecanggihan du’a bisa mengganti guratan qodo-Nya & sahabatku ini pastinya sangat mafhum akan permintaan panjang umur. Tak salahkah Sang Izroil memenuhi tugasnya? Segudang pertanyaan serta teriakan protes berkecamuk dlm dada. Seakan hendak menggerus begitu saja kepengetahuanku akan theology dan suratan takdir yg sudah tertanam dlm jiwa yg terpupuk di pondok sekian lamanya.

  Sukri Penjaga Bengawan Cerpen A. Muhaimin DS

“Bukankah kita tengah berada pada poros usia, Sdulur! Sesungguhnya kedatangan sang penjemput tidaklah dengan-cara tiba-tiba, dr awal sudah diutusnya banyak sekali menunjukan. Dan gue tengah menghadapi sekaligus menikmati menunjukan itu dimana sang penjemput mempersilahkan kita dgn kesahajaannya atau dgn kebengisannya untuk memanjati titian waktu yg serba tak terbataskan. Dari pembaringan ini kupastikan pintu alam hakikat terbuka sudah.”

Meremang bulu kudukku atas nama keterperanjatan, bukankah suara tak ajaib itu mengalir dr verbal bulan puasa. Dari sedepa arah berdiriku, kutatap sayu wajah penuh kenyamanan bersimbah air kesucian. Titik-titik butirnya membentuk kilauan mutiara,walau bibirnya tak bergerak.

Syari’at adalah titian pendek yg mewajibkan adanya batas-batas sedang hakikat tak lain pilar kuat dikedua sisinya. Hidup adalah titian menuju arah gerbang hakikat. Nah, dari titian itu, manusia mengukir hakikat jati diri. Sepelintasan titian akan bisa membangun mahligai kebahagiaan infinit atau sebaliknya merentas penderitaan tanpa batas. Begitulah hidup, usia & pengharapan berlomba menuju raib dlm suatu penelusuran. Takdir menorehkan dua sisi nan berlainan laksana belahan duit logam. Tertulis harapan, angan-angan & berlaksa permintaan namun pada segi sebelahnya tersurat pula buntalan misteri dimana seluruh mata pena tak mampu menuliskannya dengan-cara nyata bahkan seringkali bertolak belakang dgn segala apa yg dibutuhkan.” Kiyai Bagusdin mengakhiri tutur sapanya begitu menyerap hingga meluluh lantakan naf angkuhku. 


Kupalingkan nanar tatapanku ke langit jingga. Nampak buram untaian cakrawala menjelaga menangkap denyut nadi seakan turut berduka atas segala nada kehilangan raga yg bersahaja. Sebuah maklumat perpisahan sepertinya sudah tertorehkan.

“Selamat jalan, Kawan. Semoga Yang Maha Kuasa mempersilahkanmu dlm hamparan keridhaan-Nya..” Getar bibirku getir seiring beku hatiku. Suara angin malam berkelebat, tangis & sunyi makin menjerat. (*)