Jasmine | Cerpen Gola Gong

Ya, Tuhan! Bocah berumur 7 tahun dic4bul1! Begitulah hot news di televisi sore hari. Peristiwa itu terjadi di sudut Kota Jakarta, bocah 7 tahun dic4bul1 dua pemuda. Kasus itu terkuak tatkala korban merasakan kesakitan yg luar biasa dibagian tertentu. Orang tuanya pribadi melaporkan kedua pelaku ke polisi. Betul-betul biadab. Bagaimana nanti masa depan si anak! Ya, Tuhan! Lindungilah putri semata wayangku yg sedang memasuki usia pancaroba ini!

Tiba-tiba, “Assalamualaikum.” Terdengar bunyi seorang anak laki-laki.

“Waalaikumsalam.” Aku berlangsung ke pintu depan. Tangan kananku menyambar masker yg tergeletak di rak buku. Ah! Sedang PSBB begini, siapa yg bertamu! Kubuka pintu perlahan sambil mengenakan masker.

“Selamat malam, Om.” Tamu tak dipanggil itu berdiri sekitar dua meter dr pintu.

Aku mendelik. Rambut gondrong. Wajah tertutup masker!

“Jasmine ada, Om?” Santai saja suaranya & tetap mempertahankan jarak.

“Sedang PSBB! Tidak mendapatkan tamu!” Aku hendak menutup pintu.

“Papa….” Istriku sudah ada di belakangku. “Siapa tamunya?”

“Mau ketemu Jasmine,” bisikku meminggir, memberi ruang pada istriku.

Istriku menatapku. Wajahnya yg dilingkari jilbab putih tampak lucu. ia tersenyum simpul. “Kayak ananda dahulu.” Istriku balas berbisik di telingaku.

Napasku ngos-ngosan. Tak pernah kurasakan perasaan ini sebelumnya. Setelah 17 tahun kami hidup tanpa ada orang lain, tiba-tiba ada anak gondrong ingin bertemu dgn Jasmine! Putriku, yg kujaga & kurawat dgn telaten! Saat pandemi Covid-19 pula!

“Siapa, ya?”

“Ramadhan, Tante …”

“Jasmine baru saja shalat Isya.”

“Saya sudah, Tante. Tadi ikut berjamaah di mushala kompleks sini. Menyegerakan waktu shalat, kata Jasmine, sangat direkomendasikan.”

Jasmine mengusulkan anak sialan ini untuk menyegerakan shalat? Anak brengsek ini shalat juga? “Shalat pake celana robek-robek begini?” sindirku tak percaya. Ah, cari perhatian!

Anak sialan itu menunjukkan tas punggungnya. “Saya selalu bawa sarung, baju koko, peci, & Quran kecil, Om,” kata ia sambil menepuk-nepuk tas punggungnya.

“Aku shalat Isya dahulu. Menyegerakan shalat!”

Istriku tertawa kecil, sambil mencubit lenganku pelan. Anak muda itu ikut tertawa juga. Huh! Dikiranya gue sedang melawak. Padahal gue benar-benarkesal dgn bualannya.

  Ulat Terakhir di Kamar Nenek | Cerpen A Warits Rovi

“Kamu tarik kursinya, ya. Silakan duduk.”

Terdengar suara kaki bangku bergesekan dgn lantai keramik.

“Kenal di mana sama Jasmine?”

“Di bus Trans Jakarta, Tante. Waktu itu saya mau ke kampus. Jasmine nggak kebagian kawasan duduk. Saya berdiri, mempersilakan Jasmine duduk.”

Dia anak kuliahan juga! Sok-soknya cari perhatian putriku cuma dgn sebuah bangku!

“Wah, ananda baik sekali …”

“Tapi Jasminenya nolak, Tante.”

“Menolak? Kenapa?”

“Kursinya diberikan buat seorang Ibu yg pula berdiri. Saya jadi aib, Tante.”

Aku menahan tawa! Apa gue bilang! Mancing perhatian putriku hanya dgn sebuah dingklik? Hah! Kursi bus kota lagi! Lalu gue ambil masker di rak buku.

“Jasmine memang seperti ayahnya. Selalu mempertimbangkan orang lain daripada dirinya.” Kalimat ini sengaja dikeraskan. Aku hampir saja terbatuk.

“Papa?” istriku mengingatkan. “Katanya mau menyegerakan shalat?”

Aku dongkol juga. “Pakai maskernya.” Aku sodorkan pada istriku. Lalu bergegas masuk ke ruangan dalam. Tujuanku sekarang ke kamar Jasmine. Shalat Isya mampu ditangguhkan sebentar. Urusan Jasmine & anak sialan ini mesti disegerakan juga!

Aku ketuk pintu kamar Jasmine.

“Nggak dikunci, Pa …”

Aku kaget. Ternyata Jasmine menunggu kedatanganku. Aku melihat Jasmine sedang melipat sajadah. Mukenanya masih dipakai. Wajah putriku memang bagus & separuhnya tersembunyi penuh misteri di balik jilbabnya. ia anggun seperti ibunya. Aku sungguh mengasihi kedua perempuan yg kumiliki ini. Akan kupertaruhkan segala-galanya untuk melindungi mereka. Apalagi sehabis kelahiran Jasmine, dokter melarang istriku mempunyai anak lagi, karena selain rahimnya lemah, pula sel darah putih istriku jauh di bawah tolok ukur. Istriku sudah mengalami dua kali keguguran. Sewaktu mengandung Jasmine pula riskan keguguran. Beberapa kali istriku pernah mengalami pendarahan. Jasmine sewaktu bayi pula berwarna biru mirip ketiga kakaknya terdahulu. Untung Jasmine diberi peluang berumur panjang oleh Allah SWT. Dan, kini ada anak lelaki datang mencari Jasmine!

“Jasmine nggak akan nemuin ia jikalau Papa nggak ngijinin…”

Aku terkejut. Ada nada protes di dalamnya. Ada nada pemberontakan. Ada nada mempertanyakan, seolah-olah kenapa ini tak boleh, itu tak boleh. Hal sama pernah gue alami saat usiaku mirip ia.

“Siapa laki-laki itu?” Aku menatapnya.

“Temen,” jawabnya pendek.

“Temen apa ‘temen’?” gue mencoba melucu.

“Kenapa, Pa? Apa Jasmine nggak boleh punya temen mirip itu?”

“Tapi, ia bukan muhrim kamu, Jasmine. Lihat, lihat ia! Apa Papa mampu memercayai anak muda mirip ia? Tampang bergajul begitu! Bisa-mampu ananda dirusak oleh ia!”

“Papa!” Jasmine menatapku, raut mukanya tampak serius. “Kenapa Papa eksklusif memvonis ia seperti itu?” Jasmine berkaca-kaca matanya. “Seolah-olah ia penjahat saja!”

“Ini kekhawatiran Papa, Jasmine! Kamu satu-satunya milik Papa & Mama yg berharga di rumah ini. Apa ananda nggak pernah menyaksikan di televisi atau di koran, betapa banyak remaja-remaja seusia ananda yg salah jalan? Hamil di luar nikah, mengonsumsi narkoba …”

“Papa!” Jasmine memotong. “Untuk apa Papa mengundang Ustaz Kasman ke rumah, kalau bukan untuk Jasmine lebih waspada dgn pergaulan anak Jakarta kini? Untuk apa semua itu kalau ternyata Papa masih saja cemas?” Jasmine menatapku dgn mata berkaca-kaca.

Putriku sungguh-sungguhmenangis. Jangan-jangan ia menderita oleh perlakuanku yg terlalu mengekang. Kalau Jasmine sudah memperoleh laki-laki pilihannya, gue lebih rela menikahkannya saja sekalian. Menikah muda itu jauh lebih baik daripada menumpuk dosa!

Aku dulu hidup di antara pergaulan bebas seperti itu. Aku pernah jadi saksi, bagaimana sahabat-temanku hamil di luar nikah & mereka melakukan aborsi.

Aku pernah bercerita masa laluku pada Jasmine. Aku bertemu dgn ibunya di masjid kampus. Dialah yg mengajakku ke jalan yg benar. Sejak kenal anak rohis kampus itu, gue jadi sering pergi ke masjid. Di permulaan-awal gue ke rumahnya, rambutku masih gondrong & penampilanku slengekan pula kayak genderuwo satu itu! Tapi, tiga bulan kemudian, dgn sangat drastis penampilanku berganti. Rambut gondrongku dibabat di tukang cukur! Celana blue jeans bluwek & yg namanya serbajaket tinggal ingatan!

  Rumah Impian | Cerpen Abdul Hadi

Sekarang sehabis gue jadi ayah, perasaan ingin melindungi putriku dr orang-orang brengsek sangat tinggi. Apalagi sebagai seorang redaktur pelaksana di media daring nasional, setiap hari gue menerima banyak laporan perihal peristiwa pelecehan seksual!

“Kamu nggak bahagia selama ini, Jasmine?” Aku kecewa.

“Jasmine senang, Papa. Jasmine mengikuti semua hukum Papa, alasannya adalah Jasmine memang menghendakinya. Tapi, untuk yg satu ini, Jasmine nggak sependapat!”

“Kamu mau menemui anak berandalan itu & berteman dengannya?”

“Namanya ‘Muhammad Ramadhan’, Papa. Dan, ia bukan berandalan. ia mahasiswa sastra Inggris semester simpulan. ia aktif di teater kampus & sudah magang di media online mirip Papa dulu…”

Menohok sekali kalimat putriku ini.

“Soal tampilan, kata Mama, Papa pula dulu begitu.”

Diam beberapa saat.

“Papa tahu nggak, ia mengagumi tulisan-tulisan Papa. ia ingin mencar ilmu sama Papa.”

Aku menyenderkan tubuhku pada dinding kamar.

“Jasmine tahu, Papa nggak mampu menerima kenyataan bahwa Jasmine sudah cukup umur …”

Aku menatapnya lagi.

“Jasmine cuma ingin Papa memercayai Jasmine.”

“Kamu mencintai ia?”

“Kami nggak pacaran, Papa. Jasmine menyaksikan banyak sisi positif dimiliki dia, Pa.”

Aku hanya menyimak saja.

“Halo, anybodyhome!” Tiba-tiba istriku timbul di pintu kamar.

“Tamunya, Ma?” Jasmine ketakutan menyaksikan ibunya.

“Mama suruh pulang.” Istriku tampak damai sekali. “Lagi PSBB begini.”

Wajah Jasmine memancarkan perasaan terkejut & kecewa.

“Jangan takut, Sayang. Mama memerintahkan ia untuk datang lagi jika PSBB sudah dicabut. Sekarang video call saja dulu.” Istriku duduk di samping Jasmine, merangkul bahunya.

“Terus Mama bilang apa lagi sama dia?”

“Mama bilang sama dia, kalau mau jadi teman Jasmine, mesti bisa naklukin papamu dahulu!” Istriku tersenyum melirikku.

Aku tersenyum senang.

“Mama bilang begitu?” Jasmine menatap kami bergantian.

“Iya!”

“Mama …”

“Kita lihat aja! Iya kan, Pa?”

Aku tersenyum. Aku buka lebar kedua tanganku. Jasmine bangkit & mendekatiku. Istriku tersenyum haru. Kupeluk anakku. (*)