“Ustadz, maaf. Fee-nya berapa?”
Kalimat tersebut dibilang oleh praktisi pendidikan keluarga Ustadz Bendri Jaisyurrahman dlm pelatihan guru “Menjadi Guru Inspiratif” di Pondok Pesantren Darul Falah, Temanggung, Jawa Tengah pada Jumat (14/7/2017). Ia menirukan kalimat pengundang kajian yg menanyakan tarif dirinya.
Ustadz Bendri menilai kalimat tersebut mencederai akhlak para pencari maupun penyampai ilmu. “Saya bayar fee Anda sebagai panitia deh,” lanjutnya.
“Saya tak umumditanya fee,” ujarnya lagi. Bagi dirinya, fee salah satunya berlaku untuk selebritis atau artis, “Saya bukan artis,” ungkapnya.
Suatu kali Ustadz Bendri pula pernah ditanya oleh sebuah stasiun televisi nasional. “Maaf, Ustadz. Honor ustadz berapa?” Menanggapi hal tersebut, Ustadz menyampaikan, “Kamu maunya honor saya berapa?” Tak usang kemudian ia menyampaikan, “Honor saya tak terbayar. Saya bayar gaji ananda saja!” Pihak stasiun televisi nasional itu pun meminta maaf.
Sementara itu, penulis buku & dai muda Felix Siauw pula merasakan kesedihan tatkala ada yg bertanya fee atau tarif pada dirinya.
“Yang paling bikin saya murung itu ya itu, panitia ngundang kajian, pertanyaan pertamanya “bayarannya berapa’,” kata Ustadz Felix lewat akun Twitternya pada 20 Maret 2017.
Ustadz Munzir Situmorang pernah mengajukan pertanyaan pada ustadz selebriti perihal fee. Ustadz Munzir kaget tatkala ia mendapati balasan bahwa tarif ustadz selebriti itu puluhan juta rupiah.
Seharusnya Bersikap & Tidak Gebyah Uyah
Jangan pernah memosisikan ustadz seperti layaknya seorang artis. Jika memosisikan selaku “orang yg dibayar” artinya jamaah atau pengundang kajian akan ‘mengontrol’ ustadz sedemikian rupa. Jika guru dikelola oleh murid maka itu sungguh berbahaya.
Jika ingin memuliakan ustadz tak dgn cara menanyakan tarif. Apabila ingin memberikan hadiah atau bingkisan tangan berikan semampu & seoptimalnya. Namun jangan menenteng-bawa fee di awal karena itu akan menciptakan siapapun ustadz atau guru akan tersinggung.
Ustadz yg mematok fee memang ada. Bahkan ada yg mesti “melangkahi mayit” manajer terlebih dahulu Namun fenomena tentang “ustadz fee” pastinya tak bisa digebyah uyah atau digeneralisir. Masih banyak para ustadz lain yg hidupnya sederhana, rizkinya berkecukupan, kemana-mana naik ojek online (juga ada yg naik kendaraan beroda empat langsung), tetapi kapasitas keilmuan yg mereka miliki jauh lebih tinggi & lebih dlm dr pada ustadz yg bertarif konglomerasi. Yang tak kalah penting nrimo memberikan ilmunya.
Sebagai jamaah yg mengundang kita harus tahu diri untuk menunjukkan kado pada ustadz. Tahu dgn kesanggupan uang jamaah & tahu kondisi ustadz tersebut atau minimal menduga-ngira semoga kado yg kita berikan manusiawi. Jangan bicara angka-angka pada ustadz.
Orang yg waktunya didekasikan sarat untuk berjihad & berdakwah sementara peran itu memang mutlak mesti dikerjakan, maka orang itu berhak mendapatkan dana zakat dr asnaf ‘fi sabilillah’. Kelompok ‘fi sabililah’ berdasarkan para hebat fiqih (fuqoha) tak berhenti pada mereka yg berperang di tempat konflik, tetapi bagi mereka yg berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dgn ikhlas & benar pun bisa dikategorikan berjuang fi sabilillah.
Yang Tarif (Mahal) Tak Usah Diundang
Sekretaris Komisi Pengkajian & Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis pernah menyarankan agar umat Islam untuk tak memanggil kalau ustadz yg dipanggil memasang tarif tinggi untuk memberikan tausiyah. Karena bahu-membahu seorang ustadz menurutnya tak akan mengambil keuntungan dr orang lain.
“Kalau mahal nggak usah dipanggil, sebab kalaupun ustadz yg bener-bener ustadz, tak mungkin ia menjual ilmunya, tak mungkin pakai tarif-tarif. Nggak mungkin, alasannya semangatnya itu semangat memberikan ilmu, bukan mengambil profit dr keperluan orang. Oleh alasannya adalah itu masyarakat yg pintar hendaklah menyadari, orang yg masang seperti itu niscaya bukan ustaz,” kata Cholil.
Mari berhenti menanyakan fee pada ustadz, semoga ilmu yg kita dapatkan berkah & faedah. Wallahua’lam. [ @paramuda / Wargamasyarakat]