KOTA yaitu tempat bagi semua yg pergi. Seperti hari itu. Ashar sudah lama melalui & halte yg kudekati dijejali orang-orang yg tak kukenali. Kutatap mereka satu-satu,
seolah kerabat erat yg besok tak kutemui lagi. Tapi, kenapa semua berubah hanya dlm satu kedipan mata. Seperti tak ada yg berdiam dlm waktu. Tiap kedip seakan menciptakan hidup yg berbeda. Tak mirip got di segi semua jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…
Aku memejam mata, berupaya tak peduli. Bersandar di tiang besi, mengeja yg positif dgn alifbata terbata. Mengejan kata dgn abjad tak terbaca. Detik bersiur tanpa angka. Suara-suara berdesak tanpa makna. Aku menghirup udara sehabis hujan, memprosesnya menjadi air di tenggorokanku. Tapi kota tak membutuhkan waktu. Ia memperalat atau mungkin membunuhnya.
Tetes gerimis masih jatuh dlm rombongan-rombongan kecil, seperti tertib peziarah di petilasan, tatkala seorang renta yg sudah pensiun cukup usang menyeberang dgn ajudan membawa bungkusan. Tiga karyawan suatu perusahaan bercakap di segi kiriku seperti tiga radio. Yang seorang memandang tekun LCD smartphone, yang lain memperhatikan seksama iklan di dinding halte, & seorang lainnya mirip tukang obral yg tekun mengelilingkan matanya.
Beberapa klakson terdengar, kakek pensiunan sudah menyeberangi sepertiga jalan, ketika suatu motor yg masih baru cicilannya meliuk dgn gerengan mesin yg telah diubah. Satu suara memekik dr dlm suatu angkot. Lalu bunyi keras mengejutkan, benturan menyakitkan benda-benda keras & lunak. Sejenak semua bunyi hilang, kepala-kepala berpaling, mata terdiam, hati tercekat: motor cicilan baru itu terseruduk angkot yg sedang keras menyalip. Tubuh pengendara motor terbang seperti potongan kertas koran, bodi motor meluncur deras berderit di aspal dgn laju 30 km/jam, & menghantam satu tubuh yg ringkih. Kakek pensiunan memejam matanya pasrah tatkala pengendara motor berdebam di aspal lembap yg ia warnai dgn dar*h kental dr kepalanya. Ban kendaraan beroda empat sebuah sedan setengah milyar perak sudah melindas kep*la itu, lengkap dgn helmnya.
Siang mulai rubuh, tatkala waktu yg pucat terpaku dipecah teriakan, ajakan, jeritan & gerak cepat beberapa orang menuju titik-titik kejadian. Dengan refleks masuk akal, gue melaju ke arah tubuh bau tanah pensiunan. ia jatuh, lemas, tetapi tanpa luka. Kubopong ia ke tepi, memberinya air putih yg dibawa dlm bungkusannya & kembali pada seorang ibu yg dgn tubuh rapuhnya memuat luncuran bodi motor tadi.
Tetes gerimis terakhir jatuh sendiri di ujung mataku yg sepi. Seorang anak muda, baru tiga bulan menjadi sales executive distributor peralatan elektronik rumah tangga, memasuki sebuah warung yg menjual kopi & seduhan mi instan, 15 meter dr halte. Ia meminjam lap & sebotol air higienis. Lima pengunjung warung menatapnya mirip adegan suspence sebuah film Bollywood. Lelaki setengah tua dgn peci sedikit kucal coba menahannya.
“Ada yg mati, mas?” tanya si peci. “Kurang tahu,” jawab cowok itu ringkas.
“Supirnya, kabur?” sela cowok berkaus “barcelona” diujung dingklik.
“Bagaimana kabur? Nyawanya masih ada apa nggak juga belum terperinci.”
“Barcelona” menggeleng kepala. “Hari jika celaka bukan sa kitnya yg menciptakan pedih, namun biaya berobatnya.” Entah ke luh, kesal atau frustrasi, “barcelona” monyongkan bibir untuk menghirup kopi sampai ampasnya.
“Semua gara-gara motor kelewat banyak,” sambung seorang bau tanah yg nongkrong di pojokan, “karenanya mereka saling salip, rebutan ruang yg kian ciut. Sama saja dgn ruang di warung ini, yg tambah sesek sama ocehan.”
“Bukan salah motor. Tapi kakek goblok yg nyeberang seenaknya,” si peci coba menjajal menyanggah.
“Tapi kalau angkot nggak ugal-ugalan, kecelakaan nggak andal begini.” Kali ini seorang perjaka tiga puluhan, tampaknya tukang kredit, memberi tanggapan.
“Yang keterlaluan ya pengemudi sedan mahal itu. ia kurang cepet ngerem hingga pengendara motor hancur kep*lanya kelindes,” sambung yg lain.
“Semua salah! Semua ini gara-gara polisi nggak kerja. Pemerintah nganggur,” seorang perjaka seakan menggeram untuk dirinya sendiri.
“Kota segede ini memang terlihat kayak dedemit, monster.” Seekor cecak jatuh. Percakapan terhenti. Entah kenapa. Kejadian tak kalah seru pula terjadi di sebuah kafe terbaru penuh beling, di lantai dua sebuah gedung, 30 meter dr kejadian.
Hampir setengah pengunjung kafe melompat ketika terdengar bunyi keras tubrukan, untuk menonton apa yg terjadi dr balik beling rayban kafe itu. Seseorang yg tetap duduk tetapi dapat mengintip di sela-sela tubuh, justru merilekskan tubuhnya, menelekan punggung ke kursi & sambil menghisap rokok mildnya.
“Di detik yg sama di negeri ini mungkin ada sepuluh kejadian serupa kecelakaan di luar itu. Mungkin ribuan di semua kota dunia. Kenapa masih gatel menontonnya? Kurang kerjaan!” katanya ketus, seperti pada diri sendiri.
“Kalau kita tak bisa atau tak sempat ikut menolong, setidaknya kan bisa bersimpati. Untuk itu kita perlu tahu dgn terang peristiwanya.” Pengunjung lain, dgn dasi yg disampirkan di bahu, melirik tajam orang di dingklik.
“Apa bedanya simpati pada tontonan di balik kaca ini dgn tontonan di layar beling TV? Simpati saja tampaknya tak cukup. Karena ini bukan fiksi. Kalau bisa, kenapa tak berbuat?” Satu anak muda dgn rambut acak menggerung, lalu segera meninggalkan kaca rayban itu, menuruni tangga, & keluar.
“Anak itu ngapain sih? Mau jadi satria? Jangan-jangan ia yg terlalu diracuni Rambo atau Bollywood. Kesiangan. Makanya sering bangun pagi.” Dengan tubuh agak lunglai, seorang wanita 30- an awal kembali ke kursi, di segi kiri lelaki dgn mild tadi.
“Kalau anak muda itu pahlawan kesiangan, kemudian ananda apa? Kamu kerja apa gak berlagak jadi pahlawan bagi keluarga?” Kali ini seorang pekerja yg tampak senior, berbalik dr kaca & menghadap perempuan yg sepertinya teman sekerja.
“Masak melakukan pekerjaan saja dianggap pahlawan, sih? Aku kerja ya kerja saja, sekadar selaku keperluan alamiah. Seperti tidur atau buang air,” perempuan itu coba menyanggah sambil meraih gelas tehnya.
“Tak ada yg alamiah, tatkala ia sudah menjadi ilmiah. Semua sudah artifisial. Buang air pun kini menjadi komoditas,” seorang anak muda yg dahinya bersungguh-sungguh berpikir, mirip bergumam, bersender di kaca membiarkan insiden di jalan terus berjalan di baliknya.
“Mungkin itu masalahnya. Hidup yg sakral sudah mati. Hidup dunia tinggal hanya materi, hari ini. Tidak heran bila di Eropa 80 persen anak muda atheis atau agnostik. Kita pun secepatnya menuju ke situ.” Mungkin yg bicara ini seorang mahasiswa filsafat dari
perguruan tinggi tinggi ternama. Ia duduk saja sedari tadi, dgn majalah kafe di depan matanya. Bergeming dr semua kejadian.
“Lagakmu mirip pemikir, anak muda. Makan kentang goreng pun ananda harus berhitung dgn kiriman bulanan orangtua,” seorang bussiness woman menyambut ketus.
“Haha…jikalau setiap bertindak ananda memakai sipoa, semestinya ananda jangan naik tangga itu untuk nongkrong di sini.” Mahasiswa itu tersenyum banyabicara tanpa menyelisik majalah di mukanya.
“Anak muda sok begini yg bikin sesak napas,” wanita bisnis itu mulai menderu.
“Waktu di zaman mirip ini memang macam kaus kodian, tak lentur, membuat kita susah bernapas. Tapi siapa yg bisa lepas dr kaus kodian? Apalagi hanya dgn membaca.” Seorang pria setengah tua, seperti memberi argumen yg membela rekan perempuan bisnis sekaligus menyergap pikiran sang mahasiswa.
“Hahaha….” sekonyong laki-laki dgn mild tertawa. Di saat yg sama, pemuda yg tadi turun tangga kini sudah kembali ke atas & duduk di mejanya. Semua diam memandang perjaka itu yg segera kembali ke mejanya & cepat menghirup kopi susu dinginnya. Gerimis kecil jadi burung pelatuk di beling rayban.
Sirene yg meraung menjadi monolog di kafe itu.
“Mengapa sih ananda kalau nyupir senantiasa terlalu dekat dgn mobil di depan?!” seorang nyonya menyorotkan matanya dgn tajam ke wajah lelaki di sebelahnya yg masih kosong menatap ke depan.
“Sudah tahu mobil ini gres mulai cicilannya, sudah nabrak. Keras lagi. Pasti babak belur. Memangnya ananda punya anggaran untuk ke bengkel, diakhir bulan begini. Ceroboh!” Nyonya itu menampilkan wajah yg sangat tak puas bahkan pada kata-katanya sen- diri.
Lelaki agak bau tanah di sebelahnya masih terpaku.
“Kenapa melamun kaya harimau mabok begitu? Keluar segera. Lihat seberapa parah kendaraan beroda empat kita? Siapa yg harus bayar perbaikannya?”
“Ya, semestinya kendaraan beroda empat di depan. ia berhenti mendadak,” lelaki yg suami sang nyonya itu kesannya bersuara.
“Dia itu gesekan, pasti ada penyebabnya. Motor itu? Kita minta ganti sama pengendara motor itu? Sudah mati kali dia.”
“Apa benar ia mati, Ma?” bunyi lima belas tahunan terdengar dr bangku belakang.
“Apa peduliku?” tukas nyonya sambil membereskan gelung rambutnya yg jadi sedikit semrawut. “Yang harus dipedulikan justru papamu yg br*ngsek ini. Kita dibikinnya terlambat ke resepsi, malah mungkin mesti nongkrong di bengkel. Nyebelin.”
“Siapa yg mau celaka seperti ini, Ma? Siapa bisa menolak nasib, terlebih di kota begini. Gak mungkin ayah nyupir lima puluh meter dibelakang kendaraan beroda empat depan sesuai aturan. Kita akan terus disalip orang, & pasti lambat sampai di tujuan.”
“Siapa yg suruh lima puluh? Sepuluh meter kan bisa?”
“Gak mungkin. Kita tetap disalip. Bukan cuma mobil, tapi pula bajaj atau motor-motor. Mungkin kita yg akan nabrak motor seperti angkot di depan.”
“Itu alasannya gayamu kayak anak muda, kayak supir angkot. Nyupir ugal-ugalan. Seperti kalau ananda jalan sendiri atau sama sobat-temanmu di mal, ugal-ugalan. Lirik kanan kiri, cowel kanan kiri. Anakmu dua tauk, rambutmu itu penanda bau tanah, tauk!”
“Polisi tiba, papa.” Kembali ada bunyi kecil dr sepuluh tahunan terdengar di jok belakang.
“Kenapa selalu harus melebar kemana-mana sih, Ma?”
“Bukan melebar, namun memang itu keadaannya, rumah tangga suka kacau sebab gayamu, perbuatanmu, yg gak ngerti umur.”
“Umur cuma sekadar angka, Ma.”
“Dasar lelaki boyot. Umur kok angka, umur itu tanda. Tanda ananda itu tua, ananda itu punya tanggung jawab, ananda itu…bisa mati kapan aja. Kalau angka itu kuitansi di bengkel nanti. Dasar!”
“Pa, boleh gue keluar? Pengen tahu.” Suara sepuluh tahunan mengiba.
“Mama ini memang sebaiknya dahulu nerusin bakatnya di teater. Hidup kok didramatisir terus,” suami itu seperti senyum, tapi tak berani mengejek.
“Apa katamu? Kamu yg melarang saya! Kamu yg melarang! Bukan gue yg membuat hidup kita dramatis. Justru kau! Pikirlah sedikit. Pikirlah!!”
Suara pintu kendaraan beroda empat terdengar terbuka.
“Dik, jangan!” Suara lima belas tahunan terkejut coba menghalangi.
Anak kecil sepuluh tahunan sudah berlari ke lokasi kejadian. “Prama!! Gila anak itu!” Suami bergegas buka pintu & mengejar-ngejar anaknya.
“Itulah produk papanya. Sama-sama gila.”
Nyonya masih membereskan gelung rambutnya. Menyemprot sedikit spray.
Lima belas tahunan karam dlm LCD gadget terbarunya. Dengan terengah gue sukses menenteng tubuh perempuan hamil itu ke kendaraan beroda empat polisi yg baru saja datang. Mereka tak secepatnya membawanya pergi, tapi menunggu ambulans yg katanya segera datang.
Aku pun tak mungkin tinggal di situ. Masih banyak yg harus ditolong. Di kawasan kejadian, d*rah pengendara motor masih ada yg mengental tak tercairkan sisa gerimis. Kulitku menangis. Ingin gue membersihkan segera d*rah manusia yg membuatku selalu merinding keras & lemas. Untung sisa gerimis membantu mengalirkan & membersihkannya.
Mataku sekonyong teralihkan pada satu titik di mana kakek bau tanah tadi terjatuh lemas. Ada pula darah di situ. Kakek itu ternyata luka. Bukan karena benturan. Mungkin karena kaget. Darah sedikit ini sepertinya keluar dr mulutnya, entah alasannya penyakit apa. Tentu parah luka dalamnya.
Aku mendekat untuk refleks tanganku coba membersihkan darah yg sedikit & tak terkena air gerimis itu. Tapi mataku justru tertumbuk pada sesuatu sebelum gue mengeluarkan sapu-tangan. Sebuah dompet tua berwarna coklat gelap tergeletak tak jauh dr darah itu. Dompet sang kakek terjatuh. Aku menoleh sejenak & menyaksikan kakek masih terduduk lemas di trotoar.
Dia terluka dalam, dompet yg hilang akan membuat hatinya lebih dlm terluka. Aku refleks mengambil dompet itu & bergerak mendekati sang kakek. Pada ketika itu sekonyong terdengar bentakan, lalu teriakan, lalu ribut, kemudian dua atau tiga orang men- akrab. Beberapa orang lain terlihat menyusul. Lima detik kemudian sebuah hantaman keras terasa menimpa punukku. Aku terjatuh.
Rasa sakit belum terasa, tatkala suatu kaki dgn keras menghajar pinggang. Belum sempat kusadari tendangan itu, sebuah benda keras menimpa dadaku. Lalu beberapa hujaman menimpa wajah, telinga , tulang kering, entah mana lagi serpihan tubuh yg tak terkena. Aku terlempar sana-sini di atas aspal basah itu. Gerimis kurasa datang lagi, dlm rombongan agak besar.
Terasa ada sebuah tangan yg merenggut dompet di tanganku. Tapi hantaman itu tak berhenti. D*rah keluar dr lubang-lubang seputar kepala. Aku mulai merasa atas & belakang kepalaku berdenyut. Bumi berputar seperti komidi. Mataku masih terbuka, menyaksikan d*rahku sendiri. Kental merah kehitaman. Ingin kubersihkan, namun gerimis cukup deras sudah membantuku.
Tubuhku beku & merasa sunyi. Mataku mati. [*]