Jalan Asu | Cerpen Joko Pinurbo


HARI ini yaitu Hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk berjumpa bersiap pergi mendatangi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tak pulang ke Ayah.


Makam Ayah berada di salah satu sudut pekuburan yg higienis & tenteram, ditandai dgn seonggok batu kali yg cukup besar. Pada watu itu tertera goresan pena “Sugeng Rawuh” yg artinya pastinya “Selamat Datang”.

Ayah sendiri yg menghendaki watu kali sebagai nisannya. Keinginan itu muncul setelah Ayah membaca puisi berjudul “Surat Batu” di koran. Puisi itu digubah oleh seorang pemain kata yg pada suatu malam sarat hujan dengan-cara tak terduga datang bertandang ke Ayah.

Maaf, baru kini gue membalas surat yg ananda kirim tujuh tahun yg kemudian.
Waktu itu ananda memintaku merawat suatu batu besar dihalaman rumahmu sebelum nanti ananda pahat menjadi patung. Batu itu ananda ambil dr sungai di tengah hutan.

Aku suka duduk membaca & melamun diatas batumu & mampu mencicipi denyutnya. Kadang mimpiku tertinggal diatas batumu & mungkin terserap ke dlm rahimnya.

Hujan sangat menyayangi batumu & cinta hujan lebih besar dr cintamu.

Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu lahir air mancur kecil yg menggemaskan. Air mancur itu sekarang sudah besar, sudah mampu mengobrol dgn hujan.

Maaf, jangan ganggu air mancurku. Bahkan batumu mungkin sudah tak mengenalmu.

Ayah jatuh cinta pada batu dlm puisi itu. Ayah yg waktu itu sedang kerasukan puisi sempat berpesan pada saya semoga di atas makamnya nanti ditanam suatu watu. Batu yg dibesarkan di sungai. Sungai yg mengalir di bawah bukit.


Ketika kecil, ia sering diajak ayahnya bergadang di bawah pohon cemara diatas bukit. Berbekal senter, ayahnya senang sekali menggendongnya menyeberangi sungai yg jernih & gemericik, menyusuri jalan setapak yg berkelok-kelok & menanjak.

Sampai di puncak, mereka menatap takjub ke seberang, menikmati gemerlap cahaya lampu kota. Sesekali mereka berbaring di tanah, melihat bintang-bintang. Bila masbodoh malam kian menyengat, mereka membuat unggun api, berdiang menghangatkan tubuh, menghangatkan sepi.

Ia tertarik menyaksikan kunang-kunang berpendaran. “Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?”

“Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”

Ia terbengong, tak sadar bahwa ayahnya sedang mengajarinya bermain kata.

Bila ia sudah terkantuk-kantuk, ayahnya secepatnya mengajaknya pulang. Dan sebelum tiba di rumah, ia sudah terlelap di gendongan, terbungkus sarung ayahnya yg baunya sangat kenangan.

Ayahnya lalu menelentangkannya pelan-pelan diatas ranjang. Sekian tahun kemudian, ketika ia pamit untuk pergi merantau, ayahnya membekalinya dgn sarung kesayangannya sebagai kenang-kenang.

  Ibu Jenderal | Cerpen Arie MP Tamba

“Pakailah sarung ini dikala kau sakit & rasakanlah khasiatnya,” pesan ayahnya.

Ketika suatu hari ia pulang, ayahnya menyambut girang: “Hai, bagaimana sarungku? Enak, kan?” Ia peluk ayahnya yg sudah ringkih & sakit-sakitan.

“Aku ingin ke bukit. Aku rindu pohon cemara itu,” ayahnya berkata. “Maukah kau mengantarku ke sana?”

Malam itu malam purnama. Ia menuntun ayahnya yg kurus & rapuh menyusuri jalan setapak menuju pohon cemara diatas bukit.

Di bawah pohon cemara ayahnya duduk bersila, melantunkan sebait tembang Asmaradana:

Aja turu sore kaki
Ana tuhan nganglang jagad

Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kalawan pangan
Yaiku bageyanipun
Wong melek tabah narima


Dalam perjalanan pulang tembang itu terus mengiang.

Ia tak tega menyaksikan ayahnya berlangsung goyah. Ingin sekali ia menggendongnya sampai rumah. Tapi ayahnya bilang, “Didalam tubuhku yg lemah terdapat jiwa yg berpengaruh & berat. Kau tak akan sanggup menggendongnya.”

Dulu saya sering mengawalAyah menulis. Ayah betah menulis hingga menjelang dini hari. Suara mesin ketiknya terdengar hingga kamar mandi. Hanya siaran pertandingan sepak bola di televisi yg mampu menghentikan keasyikan menulis Ayah.

Sesekali Ayah terlihat kesal, menghantam-mukul mesin ketiknya & mengumpat, “Asu!” Dengan geram Ayah mencabut kertas dr mesin ketik, meremasnya, & melemparkannya ke kawasan sampah.

Kali lain, dikala menemukan puisi cantik di koran, Ayah tersenyum & berseru, “Asu!” Saat bertemu sobat karibnya di jalan, Ayah & temannya dgn tangkas bertukar “asu”. Syukurlah, Ayah tak pernah mengucapkan “asu” pada saya. Demikian pun saya tak pernah meng-“Asu”-kan Ayah.

Pernah saya mengajukan pertanyaan, “Asu itu artinya apa, Yah?” “Asu itu anjing yg baik hati,” jawab Ayah.

Kemudian ganti saya ditanya, “Coba, menurut kau, Asu itu apa?”

“Asu itu anjing yg suka minum susu,” timpal saya. Mendengar balasan saya, Ayah langsung memeluk saya seraya berkata, “Kamu sudah aneh, anakku. Kembangkan bakat gilamu. Kamu akan menjadi penyair kesayangan langit & bumi.”

Ayah sering mengajak saya ke kantor pos, mengirim tulisan ke koran atau majalah. Ayah suka bingung menunggu-nunggu tulisannya terbit. Tatkala tulisannya dikembalikan & tak bisa diangkut, Ayah termenung murung sambil tak henti-hentinya merokok. Tanpa ampun Ayah mengkremasi berkas-berkas tulisannya ditempat pembuangan sampah.

Sebaliknya, tatkala tulisannya muncul di koran, Ayah seakan tak pernah kehabisan alasan untuk berbahagia. Hebatnya, Ayah tak pernah mau berbahagia sendirian. Ia mengajak saya makan yummy di Warung Bu Ageng. Itu warung milik Om Butet, teman Ayah. Sebelum membuka usaha warung makan, Om Butet melakukan pekerjaan sebagai redaktur di suatu koran setempat. Menurut Ayah, Om Butet bahwasanya tak cocok menjadi redaktur sebab beliau bukan jenis orang yg tahan mendekam didalam ruangan.

  Labirin | Cerpen Khoirul Prasetyo Utomo

Ayah saya seorang pengarang yg kaya. Dompetnya senantiasa sarat . Penuh dgn semoga. Apa boleh buat, kadang Ayah harus berjauhan dgn duit pada saat yg tak tepat. Ayah pun menemui Om Butet di kantornya, menyerahkan goresan pena & minta honornya dibayar kontan dimuka.

Yang menjengkelkan, Ayah suka menjadikan saya sebagai argumentasi. Mungkin alasannya wajah saya bernuansa memelas & gampang mengakibatkan rasa iba. Saya ingat bagaimana Ayah menyerahkan amplop berisi goresan pena pada Om Butet seraya meminta, “Tolonglah, Bro. Sudah dua hari anakku kagak doyan makan, minta dibelikan celana yg sakunya enam.”


Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu di saku baju Ayah sudah ada amplop yg isinya lumayan.

Saya curiga, jangan-jangan dr Om Butet-lah Ayah belajar mengucapkan “asu” dgn fasih. Om Butet, kan, pemain teater juga; ia piawai meluncurkan kata “asu” dgn banyak sekali nada. Dikemudian hari Om Butet diketahui sebagai seorang pemain film terkenal, selain usahawan rumah makan yg sejahtera.

Pernah pada suatu sore, sesudah sepanjang hari cuma terbengong- bengong didepan mesin ketik, Ayah membangunkan saya yg sedang tertidur di kamar: “Ayo kita ke Warung Bu Ageng.” Saya mengajukan pertanyaan-tanya dlm kepala. Saya tahu Ayah sedang tidak memiliki uang. Kok berani-beraninya mau mentraktir saya.

Sekali itu saya tak mampu berkonsentrasi makan sebab sibuk menimbang-nimbang bagaimana Ayah mau bayar. Ayah tenang-hening saja, makannya lahap pula.

Ah, Ayah. Diam-diam ia sudah merencanakan segala sesuatunya dgn baik. Selesai makan, dgn cekatan Ayah menyusupkan suatu amplop kecil ke saku baju Om Butet. Aneh, bayar makan saja pakai amplop, pikir saya. Om Butet secepatnya mengambil amplop itu dr saku bajunya & bersikeras mengembalikannya pada Ayah sambil berkali-kali bilang “gratis”. Ayah menolak & minta semoga Om Butet membuka amplop itu. Ternyata isinya secarik kertas bertuliskan suatu syair yg entah kapan Ayah tulis:

Yen atimu kepenak

Manganmu yo enak
Yen atimu seneng
Ngombemu yo nyamleng


Om Butet tampak terharu bercampur senang membaca goresan pena tangan Ayah. Keunikan garis tulisan Ayah setara dgn keunikan garis tangannya. Saya terharu melihat Om Butet terharu. Saya menyesal sudah makan dgn duka.

  Cintaku Jauh di Komodo | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Sementara Om Butet terharu, Ayah menawan tangan saya, mengajak saya segera angkat kaki. Ayah & saya cepat-cepat pergi & seekor anjing menyoraki kami.

Kisah Ayah mengeluarkan uang makan dgn puisi merupakan penyegar sempurna bagi rindu saya pada Ayah. Saya suka tertawa sendiri mengenang kejadian yg getir-getir sedap itu. Belakangan saya lihat syair gubahan Ayah sudah terpigura & terpasang didinding rumah makan Om Butet.

Kini jalan ke bukit sudah lebih lapang & tenteram. Dengan rindu yg sudah saya rapikan, saya berangkat menuju Ayah.

Di tengah perjalanan saya berjumpa dgn seekor anjing besar yg tiba-tiba muncul dr tikungan. Sosok anjing itu sungguh menyeramkan. Gawat. Menurut kabar yg saya dengar, sebulan terakhir ini sudah ada beberapa orang menjadi korban gigit anjing aneh. Mereka diserang demam berkepanjangan, bahkan ada yg kesurupan.

Anjing itu menghadang saya persis di tengah jalan. Tatapan matanya yg liar & nyalang membuat saya mundur beberapa jengkal. Saya deg-degan.

Saya menjajal menyapanya baik-baik: “Selamat sore, Njing.”

Ia malah tersinggung. Matanya tambah mendelik. Mungkin alasannya saya memanggil namanya tak lengkap.

Saya ulangi salam saya: “Selamat sore, Anjing.”

Ia makin marah. Menggeram. Mulutnya mangap, lidahnya terjulur. Saya gemetar. Saya mengundang Ayah dlm hati & mengajukan pertanyaan apa yg seharusnya saya kerjakan untuk menjinakkan Anjing edan itu. Saya tidak mau sakit aneh karena digigit Anjing asing. Tanpa digigit Anjing abnormal pun saya bisa ajaib sendiri.

Saya menyapanya lagi dgn manis, “Selamat sore, Asu.”

Ia terperanjat & pribadi mingkem. Sorot matanya berangsur wajar .

Saya ucapkan sekali lagi salam saya dgn tegas & mantap: “Selamat sore, Su!”

Ia merunduk, kemudian minggir dgn sopan, mempersilakan saya lanjut jalan.

Sementara saya melanjutkan perjalanan, dr belakang sana terdengar teriakan, “Tolong, tolong! Anjing, anjing!”

Menjelang hingga diatas bukit, saya berpapasan dgn seorang lelaki bau tanah berkacamata. Dialah Om Butet yg bintang film itu. ia berlangsung tergesa-gesa.

“Hai penyair, ananda sudah ditunggu-tunggu ayahmu,” Om Butet berseru.

Saya balik menyapa, “Mengapa Om kelihatan terburu-buru?” “Aku ditinggal Asu-ku. Apakah tadi ananda berjumpa dgn Asu-ku?”

Saya terkesima.

Demi cinta saya yg tak berkesudahan pada Ayah, jalan menuju kuburannya saya beri nama Jalan Asu. [*]