Barangkali sudah waktunya menyadari, Jakarta bukanlah kota gemerlapan seperti yg ditampilkan oleh kemasan media massa. Segitiga Emas hanyalah suatu kavling terbatas, sisanya ialah keremangan yg tidak berguna berusaha menjaga mimpi dgn kegemerlapan semu. Kafe-kafe memang tertata dgn tenteram, dgn nama kuliner yg sukar diucapkan & gaya para pemakan yg menguji coba table manner fatwa majalah-majalah gaya hidup; namun gang-gang dibelakangnya tak menyembunyikan amis got yg mampet, & nasib orang-orang di sekitarnya yg pula mampet. Para ekonom sering berkata betapa krisis sudah melalui, namun itu hanya perkiraan angka. Secara positif mereka tak melihat bawah umur berak diatas comberan didepan pintu rumah mereka, tak menyaksikan para pemuda bertato menjadi preman dipojok jalan alasannya adalah tak ada opsi, & meski tangan orang-orang mengemis dijendela kendaraan beroda empat mereka, bukankah waktu lebih baik digunakan untuk menganalisis efek konflik Aceh kepada sikap bisnis?
Jakarta tak gemerlapan, Jakarta itu kelam, & kian kelam alasannya adalah terlalu sedikit di antara mereka yg survive menjajal berbuat sesuatu untuk lingkungan yg kian karam dlm kemiskinan berkepanjangan. Masuklah bis kota & perhatikanlah wajah-wajah lesu darah & kurang zat asam yg kecapekan. Tentu mereka adalah para pejuang, namun jangan lagi membohongi diri dgn mengira Jakarta kota gemerlapan, yg harus dihidupkan dgn gaya yg pula harus gemerlap tiada ketulungan. Turunlah Anda dr BMW Anda & berjalanlah masuk gang, berhenti di masjid, & dengarkan apa yg disebut khotbah, maka akan Anda peroleh betapa keras usaha para pengkhotbah itu untuk memperkuat iman mereka yg depresi oleh nasib, yg sekali lepas dr pengawalan hanya akan bermetamorfosis penjarahan. Kegemerlapan Jakarta ialah kegemerlapan yg menyakitkan, di mana banyak orang cuma mampu melihat dr balik beling benderang.
“Kami kan bersusah payah, kami berhak pula dong bersenang-senang”
“Upah buruh sesuai dgn tolok ukur minimum” katanya, ya sudah, minimum saja selama-lamanya, selama situasi mengizinkan. Kalau buruh berdemo, gres upah sedikit-sedikit dinaikkan. Semakin rendah upah buruh kian baik, supaya ada cadangan tatkala terjadi tuntutan : kerendahan upah merupakan taktik yg dilaksanakan dgn kesadaran, alasannya adalah dr margin biaya produksi & harga pemasaran, kaum juragan pemilik modal hidup bagai benalu penghisap darah yg membuat kesengsaraan, & itulah yg disebut selaku jerih payah sepanjang hayat dikandung badan. Bukan cuma di pabrik, tapi di mana pun ada pegawai & juragan.
Mohon maaf Puan-puan & Tuan-tuan, itulah struktur kapitalisme, & struktur itu agak kurang mengenal keadilan : bahwa para pekerja keras berlari bagaikan tupai dlm kandang yg dasarnya berputar. Selama masih berada dlm struktur, pergantian nasib alias kenaikan gaji cuma merupakan soal belas kasihan, mereka yg progresif memang berjuang menuntut keadilan, namun itu hanyalah cuilan dr permainan. Semua permintaan kenaikan biaya produksi sudah dicadangkan. Tak ada soal nasib insan jadi perhatian, yg ada hanyalah seni manajemen tawar menawar dlm perundingan. Mereka yg mujur untuk meloncat jadi juragan, menjadi juragan taksi atau bakso, sikap mereka tetap sama dgn mereka punya bekas juragan.
Apa yg mampu dilaksanakan dgn sedikit uang hasil kerja keras pada simpulan pekan? Bukankah penduduk kelas bawah perlu hiburan sama dgn kaum juragan? Hiburan macam apakah kiranya yg begitu murah semurah-murahnya namun mampu mendatangkan kegembiraan? Adakah kiranya hiburan yg begitu murah tetapi mendatangkan rasa kekayaan? Inilah yg ingin dirasakan kelas penderita & kelas korban, sesuatu yg terlihat selaku suatu kebahagiaan. Tidakkah ini justru merupakan suatu tanda kepahitan?
Begitulah struktur ekonomi & politik kapitalistis menghipnotis kesehatan jiwa, & begitukah masyarakat dikibuli oleh aneka macam macam kegemerlapan : dlm kebijakan pemerintah, perusahaan, maupun apa yg disebut hiburan. Betapa semunya kegemerlapan, & betapa pahitnya kenyataan, terutama tatkala nasib bagai ditakdirkan, bukan oleh Tuhan, namun struktur sosial yg dibuat kebijakan ekonomi & politik, yg mengakibatkan manusia cuma eksemplar dr apa yg disebut sumber daya atau massa, & hanya dihargai dr segi kegunaan.
Apakah kegemerlapan Jakarta mencerminkan kegemerlapan jiwa warga kota? Saya kira tidak. Kegemerlapan Jakarta merefleksikan kepahitan yg bagaikan tidak berguna diredamnya.