Alkisah, dalam seebuah hadits riwayat Muslim, salah seorang teman Nabi yang bernama Abu Dzar, menceritakan pengalamanya dikala dia gotong royong dengan Rasullulah. Ia pernah mengajukan pertanyaan atau komplain terhadap Rasulillah. Adapun inti pertanyaan ialah mengapa baginda nabi tidak mengangkatnya selaku pegawai atau pejabat?
Pada waktu itu Rosulullah Saw bersabda memberi jabatan seraya menepuk-nepukkan tangan ke atas bahu Abu Dzar dengan penuh kasih sayang,
“wahai Abu Dzar! Engkau tergolong orang yang lemah, sedangkan jabatan itu yakni amanah. Dan sesungguhnya dengan jabatan itu akan menjadikan kebinaan dan penyesalan kelak pada hari kiamat, kecuali bila mengambilnya dengan cara yang benar, dan mampu menunaikannya kepada yang menjadi tanggungjawabnya (secara benar).”
Pengaduan Abu Dazar dan balasan Rasullulah Saw dalam hadits ini, bila dicermati bahwasanya ialah pesan tersirat yang sagat berharga bagi Abu Dzar pada waktu itu. Karena Rasullulah tau persis karekteristik Abu Dzar. Nasihat itu pula berguna bagi kita kini ini. Secara tidak pribadi, dalam hadits itu Rasullulah mengisyaratkan bahwa biasanya insan pada saat itu berambisi menduduki jabatan atau kedudukan yang dianggap oleh mereka sebagai tujuan kematian dan sebagai sebuah kebahagiaan tertinggi.
Mereka tidak menyadari akan ketidakmampuan dan kekurangan yang ada dalam dirinya. Padahal memimpin dan menjabat satu jabatan itu mengandung resiko yang harus dibayar mahal jika tidak akil-akil mengemban dan melaksanakannya. Agapan lazim atau awam, dengan jabatan itu yang terbayang dan trlintas dalam hati mereka yakni keuntungan materi yang berlimpah ruah, penghasilan bertambah, uang yang banyak, tana’um dan taladzdzub yang hendak dinikmati, popularitas dan menjadi idola banyak orang. Tidak terbayang bahwa itu ialah suatu amanah dan bernilai ibadah. Mereka lupa kepada usinya yang telah senja, teladan pikr yang tidak cemerlang lagi, panca indra yang kian lemah, dan tidak menyadari bahwa orang-orang disekitarnya pun tidak simpati lagi. Meeka hanya mengandalkan gelora nafsu dan keinginannya yang tidak puas-puasnya, menonjolkan jasa-jasanya agar mendapatkan tunjangan, tergir dengan gebyar kehidupan duniawi yang menyilaukan mata, dan dibuai dengan perasaan muda belannya, padahal umur sudah udzur, dan jasanya pun telah bau tanah bau tanah.
Oleh alasannya itulah, Rasullulah Saw menasihati Abu Dzar, supaya tahu diri dan menyadari kelemahannya, sebab peran peminpin atau jabatan itu memang peran mulia, tetapi berat. Juga merupakan amanah yang mesti ditunaikan, yang sarat dengan resiko. Terutama kelak di darul baka akan memperoleh kehinaan dan penyesalan manakala ia tiadak dapat mempertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt.
Lain halnya jikalau berambisi menjadi pimpinnan atau pejabat itu dengan niat yang “shalihah,” maksudnya benar, ikhlas dan sanggup membersihkan dirinya dari motif-motif mencari kesenangan duniawi. insyAllah akan menerima perlindungan.
Demikian pula jika jabatan itu hanya sekedar wasilah untuk mencari ridha Allah bukan sebagai “ghayah” (tujuan poko) insyAllah enjadi ibadah. Namun juga harus ditopang dengan kesehatan fisik yang prima, mental dan keiman yang berpengaruh, insyAllah tidak akan berjumpa dengan kehinaan dan penyesalan kelak pada hari kiamat. Sesungguhnya, apapun yang dimiliki manusia, baik materi maupun non-materi, yaitu amanah yang harus dijaga dan di tunaikan atau disampaikan terhadap yang berhaknya. Bukan cuma jabatan saja. Artinya, siapapun wajib menunaikan ibadah, bukan cuma pejabat atau peminpin saja.
Adapun yang dinamakan amanah dalam pemahaman istilah ialah, “sesuatu yang harus dijaga baik-baik, ntk ditunaikan kepada yang haknya.” Firman Allah dalam surat anNisa ayat 58, berbunyi, “bantu-membantu Allah memerintahkanmu untuk menyampaikan amant terhadap yang berak mendapatkannya, dan (memerintahkanmu) bila menetpakan aturan diantara insan, biar kau meetapkannya dengan adil. Sesugguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik mungkin padamu. Sesungguhny Allah maha mendengar dan maha melihat.” Ahmad mustfafa almaraghi dalam kitab tafsirnya mengambarkan macam-macam amanah yang mesti ditunaikan, yaitu:
- Amanah seoarang hamba kepada tuhannya,Yaitu segala apa yang di amanahkan Allah terhadap hamba untuk dijaganya dengan baik dan di tunaikan secara baik. Seperti melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjadi larangan-Nya. Demikian pula mentashurrufkan seluruh jiwa raganya untuk hal-hal yang bermanfaatdan selaku sarana pendekatan diri kepada Allah swt sebagai Rabb-nya. Oleh alasannya itu ada keterangan dalam atsar bahwa segala tindakan maksiat atau pembangkangan kepada Allah Swt yakni bentuk penghianatan kepada-Nya. Dalam arti merusak amanah.
- Amanah seorang hamba dengan sesama hamba, adalah segala amanah yang mesti ditunaikan terhadap manusia. Seperti memberikan apa yang di percayakan kepadanya untuk disampaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Dengan tidak berani menggasabnya,dan mempertahankan kerahasiaannya,dan semacamnya,sebagai sebuah kewajiban yang mesti ditunaikan. Termasuk keharusan adil bagi seorang pemimpin terhadap rakyatnya, dan seorang ulam terhadap umatnya. Seperti menandakan aqidah yang benar kepada mereka, ahklak yang bagus dan tindakan yang berfaedah untuk dunia dan akhiratnya. Serta mendidik mereka ddengan didikan yang baik dan mengarahkan terhadap usaha atau kasab yang halal. Demikian pula kewajiban adil seorang suami terhadap iteri-isterinya, dan mempertahankan kehormatan serta rahasia masing-masing dilingkuhgan rumah tangganya. Itu semua ialah amanah yang harus di tunaikan secara baik.
- Amanah seseorang terhadap dirinya sendiri, yakni tidak menentukan untuk dirinya kecuali yang mampu menghadirkan faedah dan maslahat, baik untuk problem agama dan urusan dunianya. Ia wajib bertinda adil kepada dirinya sendiri dan menjaga amanah Allah yang diberikan kepadanya dirinya. Seperti anggota tubuh adalah amanah dari Allah Swt untuk menjadikan fasilitas beribadah kepada-Nya. Maka di perlukan adil, tidak cuma untuk menonton hiburan saja, tetapi juga di pakai untu tidur dan berguru. Telinga tidak diporsir untuk mendengarkan yang tidak berguna namun dipakai untuk pula untuk menyimak pesan yang tersirat. Karena semua itu adalah amanah. Tangan bukan digunakan untuk manganiyaya, tetap digunakan untuk hal-hal yang bagus, mirip membantu orang, memberi sodakoh, dsb. Lidah tidak di gunakan untuk menggunjing orang , mengumpat dan berbohong, tetapi di gunakan untuk yang berguna. Lidah adalah amanah, dilarang di hianati dalam penggunaannya. Demikian pula jika tubuh sakit, wajib dicari obatnya, sebab itu yakni manah. Soal sembuh atau tidaknya, serahkan kepada Allah Swt. Demikian macam-macam amanah yang harus di tunaikan. Oleh sebab itu bahwasanya siapapun dan profesi apapun atau jabatan apapun bahwasanya dia sedang memegang amanah yang wajib ditunaikan. Orang kaya dengan hartanya, itu yaitu amanah Allah. Tunaikan amanah itu kepada yang berhaknya. Yaitu zakat dan shadaqahnya dikeluar kan untuk fakir dan miskin. Atau infakkan dijalan Allah. Orang pandai bergelar sarjana atau ulama, itu ialah amanah Allah. Tasharrufkan ilmu itu kepada mereka yang berhak ialah orang awam yang membutuhkan. Jangan dibisniskan. Jangan diperjual belikan dan tidak baik menagih imbalan atas jasanya berupa ujrab di dunia saja. Jangan dijadikan peluang untuk mencari uang semata. Itu semua yakni amanaha Allah yang harus dijaga. Pemimpin dengan jabatanya ialah amanah, yakni mesti adil dalam memimpin, menghadirkan kesejahteraan untuk rakyanya, baik lhir maupun batin. Jika amanah itu disia-siakan, maka tungulah kehancurannya. Dalam hadits riwayat Bukhari dijelaskan, ada seseorang teman mengajukan pertanyaan, bilakah terjadinya As Sa’ah ? Rasullulah menjawab : “Apabila sebuah permasalahan disrahkan kepada yang bukan ahlinya (yang berhaq menerimannya)”
Maksudnya, bila segala amanah tidak dipakai sebagaiana mestinya. Demikianlah supaya kita termasuk orang yang memiliki sifat amanah, dalam segala hal dan dijauhkan dari sifat khianat.Amin