Dulu gue jatuh cinta lantaran cerpen-cerpennya. Ada pelet dlm kata-katanya. Memang iya, gue jatuh cinta padanya bukan menyaksikan wajah, pekerjaannya, atau kendaraannya. ia tak lebih ganteng dr pria kebanyakan. Bukan pegawai negeri mirip menantu idaman ibu-ibu. Aku masih ingat, dikala ditanya oleh ayahku apa pekerjaannya untuk menghidupiku, ia dgn lantang menjawab, “Saya cerpenis, Pak”.
Seperti pagi sebelum-sebelumnya, gue mengirim pisang goreng buatanku ke warung Mbak Karsi, gue menitipkan pisang goreng yg kubuat selepas Subuh. Resep warisan ibu, seperempat tepung beras & sedikit terigu, cukup menciptakan pisang goreng hangatku digemari pembeli.
“Kasihan ya Mira, mesti kerja buat pisang goreng begitu, eh suaminya malah nggak kerja.”
Aku berusaha menulikan telingaku, “Salah sendiri dahulu milih Hadi, coba kalau Mira kawin sama Ikbal anaknya Pak Naryo, niscaya kini ia nggak harus hidup sukar begitu.”
Padahal, Subuh tadi gue sudah berdoa, mudah-mudahan ibu-ibu tak membicarakan tentang suamiku lagi, gue sudah tak tahan dgn semua bisik-bisik itu, namun rupanya doaku belum terkabul kini. Aku memilih pergi dr warung itu, gue tidak ingin makan hati pagi-pagi. Tak tahu asal muasalnya darimana, cerita perihal suamiku seempuk pisang goreng hangat di verbal mereka. Nikmat. Lumat.
Kulihat suamiku sudah memegang gagang sapu & tersenyum padaku, “Habis jalan-jalan pagi ya, Dik!” Begitu sapanya dgn senyum khasnya. Aku cuma memandangnya sebentar, membalas senyum sedikit kemudian masuk ke tempat tinggal. Aku ingin menyaksikan Faiza, biasanya ia sudah bangkit sepagi ini. Faiza putri kami, lahir enam bulan kemudian. Kulihat Faiza sudah bermain dgn pena di dipan. Pena itu sudah lembap di serpihan punggungnya, pasti sudah berkali-kali masuk di mulutnya. Inilah rumahku, pena ada di mana-mana.
Kugendong putriku, setiap pagi gue suka memandangi wajahnya. Pipi yg tirus seperti ayahnya, hidung yg mancung seperti ayahnya, rambut yg lebat seperti ayahnya.
Semua seperti ayahnya, tak ada yg sepertiku. Kupastikan kelak ia lebih ayu dariku. Lalu, kulihat Faiza memandangku & tersenyum lebar. Senyum yg menular padaku.
“Nah gitu dong, senyum,” suara Mas Hadi mengagetkanku, “Ada apa, Dik?” Mas Hadi mengambil Faiza dr gendongaku.
“Mas, Mira buatin kopi, ya. Mas belum buat kopi kan pagi ini? Mira buatin, ya! Masak Mas Hadi tiap hari buat kopi sendiri, Mira kan jadi malu.” Aku mengucapkan kata itu sambil berjalan ke dapur.
“Malu sama siapa, Bu.” Mas Hadi menguntit di belakangku, memanggilku “Bu”, begitulah Faiza memanggilku bila sudah bisa bicara nanti.
“Malu sama ayah lah, kan sebaiknya ibu yg buatin ayah kopi. Istri kan semestinya begitu.” Aku kini memanggilnya “Ayah”, begitulah Faiza memanggilnya bila sudah bisa bicara nanti.
“Aku menikahimu untuk jadi temanku, istri, & ibu dr anakku, Dik. Untuk apa mesti terbebani hal yg bisa kulakukan sendiri? Kamu istriku, bukan pembantuku.” Pandangannya menusuk mataku, gue terdiam.
Jujur saja, selama ini peranku sebagai istri mungkin cuma melahirkan & menyusui Faiza sementara peran rumah tangga senantiasa kami kerjakan berdua. Membersihkan rumah, mencuci, menjemur, mengolah masakan, semuanya kami lakukan bareng . Mas Hadi selalu ada untukku, senantiasa di rumah bersamaku. Kadang-kadang, ada usul menjadi pemateri menulis adik-adik di almamaternya. Sekadar berbagi ilmu & melepas kangen, begitu katanya. Selebihnya, suamiku selalu di rumah layaknya ibu rumah tangga. Untuk itulah siapa pun menggunjingnya lelaki tunakarya. Pengangguran & tak memiliki kegunaan. “Apa gunanya punya suami kalau tak melakukan pekerjaan ?” itu yg kudengar dr mulut mereka.
Ingin kuteriakkan ke semua orang bahwa suamiku tak tunakarya. ia bekerja!
Dia bekerja! ia menulis apa saja yg ada di pikirannya ke dlm blocknote lalu menyalinnya ke laptop. Lima belas menit, 30 menit, satu jam, dua jam. Kadang ia beranjak dr depan laptopnya, berjalan mondar-mandir mirip setrika. Itulah sebabnya, di rumahku pena ada di mana-mana.
Dia betul-betul abnormal membaca & menulis. Di depan laptopnya jemarinya menari. Suara “pletik-pletik” dr laptopnya terdengar seperti langkah kaki yg mengejar-ngejar . Kadang “pletik- pletik” itu berhenti, mungkin suamiku sedang berpikir, entah perihal apa, kemudian melanjutkan lagi, lagi, & lagi.
Suamiku seorang cerpenis. Penulis cerita pendek. Cerita pendek yakni cerita yg habis dibaca sekali duduk. Itu saja pelajaran sekolah tentang cerpen yg masih kuingat sampai kini. Jika kutanya kenapa ia lebih menggemari menulis cerpen daripada novel, ia cuma tersenyum.
“Ada apa Dik, ananda belum menjawab pertanyaanku tadi?” Mas Hadi lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Kopi pagi yg kubuatkan untuknya utuh & Faiza sudah lelap. Semilir pagi menciptakan bayiku terlelap lagi. “Nggak ada apa-apa Mas, sudah Mas mandi sana,” kataku meledeknya.
Aku harus bilang apa ke Mas Hadi? Bilang kalau sejak beberapa hari yg lalu ia telah menjadi selebritas ibu-ibu? Bilang kalau ia dicap lelaki tunakarya & tak ada gunanya sebagai lelaki? Ah, itu niscaya menyakitkan sekali, harga dirinya selaku lelaki akan koyak.
Aku percaya Mas Hadi belum pernah mendengar gunjingan murahan ini sebelumnya lantaran acara Mas Hadi cuma rumah, masjid, & memenuhi seruan tetangga untuk doa bareng atau kerja bakti. Semua temannya lelaki, rasanya tak mungkin lelaki membicarakan hal yg mengoyak harga diri mereka sendiri. Lagipula lisan lelaki tak seelastis verbal perempuan.
Nana, teman kuliahku, pernah meneleponku. ia menceritakan suaminya yg gres saja diangkat jadi PNS. Sedangkan Irma, suaminya seorang pebisnis yg punya ratusan pegawai. Sebagai sahabat yg baik gue mengucapkan selamat atas keberhasilan suami mereka dgn kariernya, tapi selaku wanita & istri ada rasa iri yg datang menepi hati.
Dua bulan ini, goresan pena Mas Hadi tak ada yg diangkut di koran atau majalah manapun. Mudah tak ada serupiah pun masuk ke rekeningnya sebagai nafkah untukku & Faiza. Aku harus mengurangi duit honor goresan pena dua bulan kemudian. Cukup tak cukup, harus cukup. Aku ingat pesan ayah, lebih baik makan seadanya ketimbang mesti berutang ke tetangga.
Aku mencoba bersabar dgn ini namun sesabar-sabarnya istri, mana ada yg tahan dua bulan tanpa komplemen duit? Untung saja gue berkala nyetok pisang goreng tiap pagi. Uang dr pemasaran pisang goreng itu kugunakan untuk menyambung hidup. Sebagai istri, gue tak tega membiarkan suamiku menanggung penghidupan kami seorang diri.
Dia masih menulis saban hari meski tak ada satu pun yg diangkut. Di ketika mirip ini gue ingin melakukan pekerjaan apa saja yg gajinya bulanan, paling tak ada pendapatan niscaya, tak seperti kini yg menunggu kepastian cerpen suamiku ada di koran. Padahal kami tahu, setiap harinya redaksi menerima ratusan cerpen.
Suamiku selalu jingkrak-jingkrak & mengajakku berputar seperti anak kecil setelah menerima telepon dr redaksi yg mengabarkan cerpennya akan diangkut. Ia senyum-senyum sendiri mirip membaca pesan singkat dr seorang kekasih tatkala sahabat sesama penulis mengabarkan cerpennya diangkut di koran A atau majalah B. Matanya berbinar dikala ia meminta izin padaku pergi mengisi materi kepenulisan untuk almamaternya dulu.
Cerpennya yg sering diangkut di media massa & keseriusannya menekuni dunia kepenulisan menjadikannya dinilai bisa menjadi pemateri bagi pelatihan kepenulisan yg diadakan adik-adik kelasnya. Pulang dr program itu, dgn mata berbinar, ia menceritakan apa saja yg ia berikan selama materi berlangsung, pertanyaan-pertanyaan apa saja yg peserta tanyakan. ia ceritakan seluruhnya. Aku bengong, menikmati binar mata & senyum girang yg tak ada habis-habisnya.
Jika mujur, suamiku mendapatkan bingkisan dr panitia penyelenggara pelatihan kepenulisan itu, isinya macam-macam, kadang sembako, buah-buahan, hingga kudapan manis-kudapan manis. Tak jarang ada selipan amplop di dalamnya. “Uang itu untukmu & Faiza, simpan saja,” ucapnya setiap kali gue hendak menyerahkan uang itu padanya.
Begitulah suamiku, ia mirip tak butuh uang. ia cuma membaca, menulis. Membaca lagi & menulis lagi. Semua uang yg ia peroleh diserahkan padaku.
Biar, semoga saja gue yg tahu pergunjingan ibu-ibu itu. Aku tak mau membebani pikirannya dgn hal semacam itu. Dunia imajinasinya tak boleh teracuni. Pikirannya mesti hening. Jika damai, ia akan memperoleh ilham goresan pena yg brilian, paparan kata yg menakjubkan, & kuharap itu akan memikat hati redaktur. Aku rindu binar mata miliknya. Binar bahagia saat cerpennya ada di media massa.
“Ayah, Faiza sudah mandi, nih, Yah, sudah manis & bau.” Aku sengaja mencari suamiku, semoga ia yg mengajak main Faiza sementara gue akan mencuci baju.