close

Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Studi Perbandingan Ismail Raj’I Al Faruqi Dan Muhammad Naquib Al-Attas

A.   Latar Belakang
Secara historis, Idea atau ide islamisaisi ilmu wawasan timbul pada saaat diselenggarakan pertemuan dunia yang pertama wacana pendidikan Islam di makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membicarakan 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan

merumuskan saran untuk pembenahan serta penyempurnaan system pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu ide yang dianjurkan yaitu menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knouwledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raj’I al-Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.[1]

Kemudian ide perihal islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke penduduk muslim dunia. Pihak pro mapun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain ialah Sayyied Hoseein Nasr dan Ziauddin Sardar dan beberapa tokoh lain yang menolak wisternisasi ilmu.[2]
Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap pemikiran islamisasi ini yanitu beberapa pemikir muslim kekinian seperti Fazlur Rahman, contohnya ia berpendapat bahwa ilmu wawasan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua mutu. Kemudia dia mencontohkan seperti halnya “senjata mata dua” yang harus dipakai dengan hati-hati dan bertanggung jawab sekaligus sungguh penting menggunakannya secara benar dikala memperolehnya.[3]
          Melihat dari pro kontrak inilah lalu diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang mempesona, dan makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah bentuk penilaian bagi para pembaca khususnya akademisi muslim yang tampakdi dunia aliran, dalam melihat pandangan baru atau pemikiran islamisasi ini. Karena dengan memahami ihwal rancangan yang diagagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raj’I al-Faruqi ihwal islamisasi.[4]
1.     Ismail Raj’I al-Faruqi
Biografi Ismal Raj’I al-Faruqi. Ia lahir di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Sebagai seorang ilmuan, dia banyak sekali menciptakan karya ilmiah yang bermutu. Ia menulis sekitar 20 buku dan 100 postingan. Melalui goresan pena-tulisannya, pedoman al-Faruqi bisa tersebar ke negara-negara Islam di seluruh dunia.[5]
Latar belakang pendidikan al-Faruqi adalah pendidikan Barat. Pendidikan mulanya di College des Feres yang beliau selesaikan tahun 1936. Kemudian sarjana mudanya di American University ditamatkannya tahun 1941. Adapun gelar masternya dari Indian University serta  Harvard University dalam bidang filsafat. Kemudian gelar doktor diperolehnya dari Indian University. Selanjutnya selama empat tahun beliau menekuni studi keislaman di Universitas al-Azhar (Kairo)
Adapun karir akademik al-Faruqi diawali sebagai dosen di McGill University (Kanada) tahun 1959. Selama menjadi dosen, dia meluangkan dir untuk mendalami Judaisme dan Kristen. Tahun 1961, beliau pindah ke Karachi dan begabung dengan Central Insitute for Islamic Research. Pada tahun 1963, dia kembali ke Amerika dan mengajar pada Fakultas Agama University of Chicago. Setelah mendirikan acara pengkajian Islam di University Syracuse (New York) dan lalu pindah Temple University (Philadelphia), dia telah memantapkan karirnya selaku tebaga hebat dalam pengkajian Islam. Di Syracause University tempat beliau menekuni Pusat Kajian Islam yang didirikannya, al-Faruqi menyelesaikan karirnya pada tahun 1986, beliau meninggal dunia sebagai korban pembunuhan. Karir kepegawaian al-Faruqi diawali dari pegawai pemerintah palestina di bawah mandat Inggris. Ia lalu menjadi gubernur terakhir propinsi Galilee (pada tahun 1947 direbut Israel). Hal ini pula yang lalu mendorong al-Faruqi hijrah ke Amerika untuk melanjutkan studiny.[6]
a.      Pemikiran al-Faruqi tentang Pendidikan
Menurut al-Faruqi, umat Islam dikala ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim sampaumur ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian sudah ikut andil penyebab terjadinya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin meningkat buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat islam awam lari terhadap iktikad yang buta abjad, bersandar kepada literalisme dan legalisme atau menyerahkan diri sendiri terhadap Syaikh (pemimpin) mereka. Kondisi yang tidak menguntungkan ini mengakibatkan meninggalkan dinamika ijtihad selaku suatu sumber yang seyogyanya dipertahankan.[7]
b.     Islamisasi llmu Pengetahuan Pada hakekatnya wangsit Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari aliran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan semenjak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan Islamisasi ilmu pengetahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Atas pada tahun 1397 H/1977 M yang menurutnya diistilahkan dengan “desekularisasi ilmu“. Sebelumnya Al-Faruqi meperkenalkan sebuah tulisan mengenai Islamisasi ilmu-ilmu sosial.
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk terhadap upaya mengeliminasi komponen-komponen, rancangan-desain pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat utamanya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi ideologi, makna serta Islamisasi perumpamaan sekuler[8].
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu wawasan memiliki arti mengislamkan ilmu wawasan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sosial, dan sains-sains ilmu alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga merealisasikan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan selaku data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid adalah, kesatuan wawasan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat insan, keterkaitan umat manusia dan penciptaan alam semesta dan ketundukan insan kepada Tuhan, harus mengganti kategori-klasifikasi Barat dengan menentukan persepsi dan susunan realita.[9]
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dijalankan, Al-Faruqi memutuskan lima target dari planning kerja Islamisasi, adalah:
1)    Menguasai disiplin-disiplin moderen
2)    Menguasai khazanah Islam
3)    Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu wawasan moderen
4)    Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen.
5)    Mengarahkan anutan Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan contoh rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan tindakan yang perlu dijalankan, ialah menggabungkan metode pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini mesti sedemikian rupa sehingga sistim gres yang terpadu itu dapat mendapatkan kedua macam keuntungan dari sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan potensi yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang terlatih dalam sistim tradisional dan peniruan metode-sistem dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang sekuler.[10]
Untuk membuat lebih mudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dijalankan diantaranya yaitu:
a)     Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat mesti dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus merefleksikan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas ungkapan-ungkapan teknis, mengambarkan klasifikasi-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
b)    Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk sketsa perihal asal-usul dan perkembangannya beserta kemajuan metodologisnya, ekspansi cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun ajaran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bermaksud menetapkan pengertian muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c)     Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang serupa. Tetapi disini, apa yang diperlukan yaitu ontologi warisan pemikir muslim yang berhubungan dengan disiplin ilmu.
d)    Penguasaan kepada khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika ontologi-ontologi sudah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif duduk perkara-dilema masa sekarang.
e)     Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi mampu ditetapkan dengan mengajukan tiga duduk perkara. Pertama, apa yang sudah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur’an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan duduk perkara yang sudah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar santunan itu jikalau dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang persoalan yang sedikit diamati atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kelemahan itu, juga memformulasikan persoalan-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f)      Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam sudah disusun, maka beliau mesti dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g)    Penilaian krisis kepada khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan insan mesti dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h)    Survei perihal masalah-dilema paling besar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibentuk tentang masalah-dilema politik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, budpekerti dan spritual dari kaum muslim.
i)       Survei perihal dilema-dilema umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, mesti dilakukan.
j)       Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus telah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-era. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disambungkan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu wawasan ke horison yang lebih luas dibandingkan dengan yang telah diraih disiplin-disiplin moderen.
k)    Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin moderen telah dicapai buku-buku teks universitas mesti ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam terbitan Islam.
l)       Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi wawasan ialah dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan seminar untuk melibatkan banyak sekali mahir di bidang-bidang illmu yang cocok dalam merancang pemecahan problem-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para jago yang menciptakan mesti diberi peluang berjumpa dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki dilema metoda yang diperlukan[11]
2.     Syed Naquib al-Attas
a.      Riwayat Syed Naquib al-Attas
Syed Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931.ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Melalui silsilah/nasab ibunya asli Bogor sedangkan pihak ayahnya masih termasuk bangsawan di Johor. Ia tergolong keturunan bangsa Arab, ialah keturunan jago tasawuf yang populer dari kelompok Sayid. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya pertanda bahwa dia ialah keturunan ke-37 dari Nabi Muhammad SAW.[12]
Ketika berusia 5 tahun, al-Attas diajak orang tuanya migarsi ke Malaysia. Disini al-Attas dimasukan sekolah dalam pendidikan dasar Ngee Heng al wusqa, Primary School hingga usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan ialah dikala Jepang menguasai Malaysia, maka al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, dia kemudian melanjutkan pendidikan sekolah ”urwah al wusqa, Sukabumi selama lima tahun.[13]
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmu yang diperolehnya di sukabumi, sekembalinya ke malaysia, al-Attas memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya menghalau penjajah belanda. Dia berguru di aneka macam sekolah militer di Inggris.[14]
Walaupun karir al-Attas sungguh cemerlang di dunia militer, namun minat besarnya kepada ilmu telah mendorongnya untuk meninggalkan dunia militer ini, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya terhadap dunia ilmu. Karir akademiknya, sehabis meninggalkan karir militer yaitu masuk ke University of Malay, Singapore 1957-1959. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di McGill University untuk kajian keislaman (Islamic Studies) hingga menemukan M.A. pada 1963.[15] Selanjutnya dia menerima kesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and Arfican Studies, Universitas London, yang oleh banyak kelompok dianggap selaku sentra kaum orientalis. Di universitas ini, dia menekuni teologi dan metafisika, dan menulis disertasi doktornya wacana “Mistisisme Hamzah Fansuri”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The Mysticism of Hamzah Fansuri (The University of Malay Press, Singapore, 1970).[16]
Setelah final dari universitas London, beliau kembali ke almamaternya, University Malay. Di sini beliau bekerja sebagai dosen, dan tak lama kemudian diangkat selaku Ketua Jurusan Sastra Melayu. Karir akademiknya terus menanjak dan di lembaga ini beliau merancang dasar bahasa Malaysia, lalu tahun 1970, beliau tercatat sebagai salah satu pendiri University Kebangsaan Malaysia. Dan di universitas yang gres ini, dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai profesor untuk Studi Sastra dan Kebudayaan Melayu, dan kemudian pada 1975, ia diangkat selaku dekan fakultas sastra dan kebudayaan Melayu Universitas tersebut.[17]
b.     Latar belakang Gagasan Islamisasi
Gagasan al-Attas ihwal Islamisai ilmu wawasan muncul karena tidak adanya landasan wawasan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak mampu bangun bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai ( value-free) akan namun syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang tersebar hingga ke tengah masyarakat dunia, tergolong masyarakat islam, telah mewarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan ialah wawasan uanh dituangi dengan adab dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang dihidangkan dan dibawakan itu berupa wawasan yang semu dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seperti mendapatkan wawasan sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dimakan sebelum diseleksi terlebih dulu.[18]
Naquib al-Attas mengembangkan rancangan Islamisasi ilmu pengetahuan dari Syed Hossein Nasr, seorang pemikir muslim Amerika kelahiran Iran. Nasr meletakkan asas sains Islam dalam aspek teori dan prakteknya lewat karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Hal ini dia kerjakan alasannya menyadari adanya ancaman sekularisme dan modernisme yang mau mengancam dunia Islam[19]
Menurut al-Attas, penegetahuan Barat sudah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat suatu yang masih dalam keraguan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga menatap keragu-raguan selaku sebuah fasilitas epistomologi yang cukup baik istimewa untuk memburu kebenaran. Tidak hanya itu pengetahuan Barat juga telah menenteng kekacauan pada tiga kerajaan alam adalah binatang, nabati dan mineral.[20]
Sedangkan persepsi hidup dalam Islam, menurut al-Attas ialah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata anggapan wacana alam fisik dan keterlibatan insan dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya sebagaimana yang ada di dalam rancangan Barat sekuler tentang dunia, yang dibatasi kepada dunia yang mampu dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam bersumber terhadap wahyu yang disokong oleh nalar dan intuisi. Substansi agama mirip keimanan dan pengalamannya. Ibadahnya, doktrinnya serta tata cara teologinya telah ada dalam wahyu dan diterangkan oleh Nabi. [21]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang di bawa oleh Barat dan nilai-nilai keislaman. Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme, sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah rancangan islamisasi yang diharapakan rancangan ini akan mengcounter peradaban Barat yang sekuler.[22] 
Sedangkan argumentasi yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi yakni bahwa umat Islam dikala ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim sampaumur ini sudah menimbulkan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menjadikan meluasnya kebodohan dikalangan muslimin meningkat buta abjad, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari terhadap doktrin yang buta, bersandar terhadap literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang seharusnya dipertahankan.
c.      Mafhum Islamisasi
Epitomologi islam mengandung suatu desain yang holistic tentang wawasan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan antara wawasan dengan nilai-nilai. Pengetahuan dikaitkan dengan fungsi sosial dipandang sebuah ciri dari manusia.[23]  Islamisasi ilmu dibangun dari dasar-dasar fatwa Islam yakni al-Qur’an. Ilmu yang di dasari dari pemikiran tauhid yang menyaksikan bahwa ilmu wawasan modern dengan pedoman islam mesti bergandengan tangan.[24]
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahirdari idenya kepada Islamisasi secara lazim. Yaitu Islamisasi, menurut al-Atta secara lazim yakni pembebasan insan dari tradisi magis (magical), mitologis (mythologhy), animisme ( animism), nasional-kultural (national cultral tardition), an paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi selaku suatu proses. Meskipun manusia memiliki unsur jasmani dan rohani sekaligus, tetapi pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, alasannya adalah insan yang demikianlah insan sejati yang semua tindakanya deilakukan dengan sadar penuuh makna. Al-Attas mensifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, alasannya beliau melibatkan pembebasan roh manusia yang memiliki efek atas jasmaniayahnya dan proses ini menmbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).[25]
Dari urain di atas, maka Islamisasi ilme berari pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada idiologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dalam pandangan al-Attas, setidakya terdapat dua makna Islamisasi adalah Islamisasi anggapan dari imbas ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Pertama pembebasan fikiran dari efek magis, mitos, animisme dan paham sekuler. Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari perilaku tunduk terhadap kebutuhan jasmaninya, lebih cenderung menzalimi dirinya sendiri, karena sifat jasmaniahnya lebih condong kepada fitrahnya sehingga mengganggu keselarasan dan kedamaian dalam dirinya yang pada giliranya menjadi jahil tentanh tujuan aslinya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi tetapi satu proses pengembalian fitrah.   
Sedangkan berdasarkan Ismail Raj’i al-Faruqi, dalam mendefinisikan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan, ia menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah selaku perjuangan untuk memfokuskan kembali ilmu itu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menganggap kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kemabali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan usaha Islam.
Dari mafhum Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jikalau al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah sebjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri, ialah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitos, animisme dan nasional kultural serta paham sekuler. Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang bekerjasama dengan data itu, menganggap kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditunjukan dalam rangka memperkaya visi dan usaha Islam.
d.     Langkah-langkah dalam Islamisasi
Menurut al-Attas upaya dalam Islamisasi harus memasukan komponen-bagian Islam berserta desain-rancangan kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan ketika ini yang berhubungan . Al-Attas menyarankan supaya komponen dan desain uttama Islam mengambil alih unsur-komponen dan rancangan-desain abnormal tersebut. Konsep utama Islam yakni:
1)    Konsep Agama (ad-din)
2)    Konsep Manusia (al-manusia)
3)    Konsep Pengetahuan (al-ilm dan al-ma’rifah)
4)    Konsep Kearifan (al-pesan yang tersirat)
5)    Konsep Keadilan (al-adl)
6)    Konsep Perbuatan yang Benar (al-amal)
7)    Konsep Universitas ( kulliyatul jami’ah)[26]
e.      Tujuan Islamisasi  
Tujuan Islamisasi yaitu untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah terkotori yang menyesatkan dan mengakibatkan kekeliruan. Islamisasi ilmu juga bermaksud untuk mengembangkan Ilmu yang hakiki yang boleh mebangunkan fatwa dan eksklusif muslim yang mau menambahkan lagi keimanan kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan dogma.
Makara menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan. Pertama, proses mengeluarkan unsur-bagian dan rancangan penting Barat dari sebuah ilmu. Kedua, memasukan bagian-komponen dan konsep-konsep utama Islam kedalamnya. Dan untuk memulai kedua prosese diatas, al-Attas memastikan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an.
Sedangkan dalam pandanga al-Faruqi berkenaan dengan tindakan dalam Islamisasi ilmu wawasan, beliau mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu wawasan mesti mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam persepsi-persepsi Islam sebagi kerangka pedoman metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1)          Keesaan Allah
2)          Kesatuan Alam Semesta
3)          Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu da kebenaran logika itu tidak bertentangan namun saling berafiliasi dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, iman terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga ialah tunjangan dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.[27]
Demikianlah langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit perbedaan di dalamnya, tetapi pada intinya keduanya memiliki visi yang sama.
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan pada urain yang telah di hidangkan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raj’i al-Faruqi dalam kaitan dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu pertama, kalau al-Attas lebih mendahulukan subyek islmisasi ilmu maka al-Faruqi lebih memprioritaskan objeknya. Kedua bila al-Attas jikalau al-Attas hanya menghalangi pada ilmu kekinian untuk acara islamisasi ilmunya maka, al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu mesti di Islamisasikan. Ketiga, jikalau al-Attas memulai dengan melihat dan mengevaluasi permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini ialah dampak ekternal (luar islam) yang tiba dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari dilema internal (badan umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, setidaknya ada beberapa persamaan antara pemiran al-Attas dan al-Faruqi tentang inspirasi islamisasi ilmu ini. Di antara persamaan pemkiran kedua tokoh tersebut yakni: Pertama, kesamaan aliran perihal ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Kedua meyakini bahwa peradaban yang di bawa oleh Barat yaitu perdaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Nilai ini pastinya bertentagan dengan nilai yang ada dalam pedoman Islam adalah Tauhid. Konsep ilmu menurut mereka mesti berlandasakna pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an.
Latar belakang hadirnya Islamisasi ilmu pengetahuan alasannya adalah kegagalan paradigma tunggal yang digunakan oleh sain Barat dan berujung pada kesemrawutan dunia. Kekacauan ini membahayakan kehidupan insan, sehingga dibutuhkan paradigma utuh, ialah Islam yang menjadi paradigma islamisasi ilmu pengetahuan.
Islamisasi ilmu wawasan yaitu internalisasi nilai-nilai Islam kedalam ilmu wawasan, sehingga semua ilmu mesti mengandung nilai-nilai Islam. Internalisasi ini pastinya bersifat ideologis sebab “memaksakan” islam menjadi nilai tunggal dari semua jenis ilmu pengetahuan.
Karakterisitik islamisasi ilmu pengetahuan yaitu adanya nilai tauhid yang terkandung dalam setiap ilmu pengetahuan. Nilai tauhid ini membedakan ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu pengetahuan non islam.
Islamisasi ilmu wawasan ditujukan untuk melindungi umat islam dari paradigma ilmu yang menyesatkan dan mendorong mereka mengunakan paradigma Islam untuk meningkatkan keimanan terhadap Allah S.W.T.
Rencana kerja islamisasi ilmu wawasan mengikuti rumusan dari Islamil Raji al-Faruqi. Rumusan ini bukan satu-satunya rumusan yang dianggap paling benar, tetapi salah satu proposal dari al-Faruqi bagi yang belum memiliki rumusan yang lebih baik.
B.    SARAN
Apabila makalah ini terdapat kekurangan baik dari segi rujukan maupun alasan penulis, untuk itu  penulis mengharapakan kritakan dan nasehat dari sahabat-sobat mahasiswa utamanya bapak Dosen selaku pembimbing mata kuliah sejarah pendidikan Islam untuk kesempurnaan isi makalah ini.

  Teladan Pendidikan Islam Pada Kala Rasulullah

[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu