Islam Pada Periode Orde Gres

www.idsejarah.net

Oleh : Ruhiyat Kawset

Racik-Meracik Ilmu,-Usaha untuk mengembangkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa terus dikerjakan, walaupun dalam perjalanannya banyak persoalan dan hambatan. Di antaranya muncul gerakan-gerakan yang tidak memiliki loyalitas terhadap pemerintah sehingga senantiasa berupaya menjegal usaha pemerintah mengembangkan mutu pendidikan nasional. Terdapat pula golongan yang membelokkan pandangan hidup bangsa Indonesia yang tertuang pada Pancasila dan Undang– Undang Dasar 1945 adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Walupun dalam laju geraknya terdapat pada politik akan tetapi dalam prakteknya menyusup pada bidang pendidikan. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia mengalami beberapa kebijakan yang dianggap memiliki beberapa kepentingan. 

Pada periode Orde Baru, pendidikan bukan menjadi tujuan utama. Orde Baru menentukan perbaikan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. Dalam pencapaian misi tersebut, disiplin ilmu ekonomi (tergolong alat analisis ekonomi makro dan mikro) menjadi ujung tombak, padahal di zaman Orde Lama ekonomi dianaktirikan. 
Setelah PKI sukses tidak boleh, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto eksklusif menyelenggarakan pembaharuan dan pembangunan di banyak sekali bidang tergolong pendidikan. Ketetapan MPRS XXVII/Tap/MPRS/1966 menyatakan tujuan pendidikan yaitu untuk membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan–ketentuan yang dikehendaki dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dipikirkan perjuangan-perjuangan pembaharuan pendidikan. Sejak tahun 1959, Indonesia berada di bawah gelora manipol (manifesto Politik)-USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Manipol–Usdek menjadi “yang kuasa” dalam kehidupan politik dan semua bidang kehidupan tergolong di dalam bidang pendidikan. Keputusan Presiden Nomor 145 tahun 1965, tujuan nasional pendidikan zaman Orde Lama sesuai dengan manipol-USDEK. Tujuan pendidikan yang dipraktekkan ialah Panca Wardana (lima pokok pertumbuhan). Tujuan pendidikan ini tidak berlangsung lama dan ditinggalkan sesudah meletusnya peristiwa G 30/S/PKI pada tahun 1965. Masyarakat mulai sadar bahwa ada maksud politik PKI yang tercantum dalam tujuan pendidikan tersebut dengan memakai Pancasila selaku tamengnya. Dikeluarkannya ketetapan MPRS Nomor XXVII tahun 1966 menghapus Keputusan Presiden Nomor 145 tahun 1965 dan Penetapan Presiden Nomor 19 tahun 1965 perihal pokok tata cara pendidikan nasional Pancasila dinyatakan tidak berlaku lagi. 
Pada final 1965 penumpasan PKI sukses dilakukan oleh ABRI dengan rakyat, akan namun politik PKI belum hilang dikarenakan tidak dibubarkan oleh pemerintah (Presiden). Rasa tidak puas dari masyarakat atas kurang tegasnya Presiden Sukarno maka terjadi demonstrasi berkepanjangan menuntut tritura yang isinya ialah pelarangan politik PKI di Indonesia yang berakibat pengeluaran Supersemar 11 Maret 1966.

Pada tahun 1966 terjadi dualisme kepemimpinan antara Suharto dan Sukarno. Keluarnya TAP MPR No XIII/MPRS/1966 pada 25 Juli 1966 yang mengangkat Suharto untuk membentuk cabinet gres, sedangkan presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara. Sukarno sebagai kepala negara dan Suharto sebagai kepala negara yang berlangsung rusuh, MPRS melakukan sidang istimewa tanggal 7-12 Maret 1967 yang mengeluarkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Negara dan pemerintahan Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai presiden.[1]
Orde Baru adalah abad pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 sampai terjadinya peralihan kepresidenan, dari Presiden Suharto ke Presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru menjinjing konsekuensi pergantian taktik politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru ialah sebuah hubungan total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap sudah menyelewengkan Pancasila. Orde Baru menawarkan corak gres bagi kebijakan pendidikan Agama Islam, alasannya beralihnya efek komunisme ke arah pemurnian Pancasila melalui rencana pembangunan nasional berkelanjutan. Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bermaksud membangun insan seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk merealisasikan kehidupan yang lebih baik.[2] Selain itu, dalam Pelita IV di bidang agama dan doktrin kepada Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan. 
Dengan makin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan dogma kepada Tuhan Yang Maha Esa harus makin diamalkan baik dalam kehidupan eksklusif maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Diusahakan supaya terus meningkat fasilitas -sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tergolong pendidikan Agama Islam yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan universitas negeri. 
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan terhadap Departemen Agama dan Departemen P & K (Dep Dik Bud). Oleh alasannya adalah itu, dikeluarkanlah peraturan-peraturan bareng antara kedua departemen tersebut untuk mengurus pendidikan agama di sekolah-sekolah lazim (negeri dan swasta). Adapun training pendidikan agama di sekolah dikerjakan oleh Departemen Agama sendiri. Pendidikan Agama Islam untuk sekolah biasa mulai dikontrol secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan agama selaku pengganti pendidikan kecerdikan pekerti yang telah ada sejak zaman Jepang, berlangsung sendiri- sendiri di masing-masing tempat. 
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bareng dua Menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Pendidikan & Pengajaran yang memutuskan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat=SD) sampai kelas VI. Pada abad itu kondisi keamanan di Indonesia belum mantap sehingga SKB Dua Menteri di atas belum mampu berjalan dengan sebaiknya. Daerah-tempat di luar Jawa masih banyak yang menawarkan pendidikan agama mulai kelas 1 SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P & K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ialah untuk mengatur pelaksanaan dan bahan pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum. 
Dalam ketatanegaraan kita dinyatakan bahwa negara menurut UUD 1945. Kedaulatan di tangan rakyat adalah di tangan MPR. Sebelum dibentuknya MPR berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, di Indonesia pernah dibentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada tahun 1959. Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 ditentukan selaku berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material setiap warga negara mampu membuatkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak efek-pengaruh buruk kebudayaan gila” (BAB II pasal II: I) dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah biasa , mulai sekolah rendah (dasar) hingga universitas”, dengan pemahaman bahwa murid berhak berpartisipasi dalam pendidikan agama bila wali murid/murid cukup umur menyatakan keberatannya.[3]
Kehidupan sosial, agama, dan politik di Indonesia semenjak tahun 1966 mengalami pergantian sungguh besar. Periode ini disebut Zaman Orde Baru dan munculnya angkatan baru yang disebut Angkatan 66. Pemerintahan Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan melaksanakannya secara murni. 

indocropcircles.wordpress.com
A. Islam Pada Masa Orde Baru dan Kebijakan Pendidikannya 
1. Islam Pada Masa Orde Baru 
Setelah presiden Sukarno turun, secara otomatis rezim Orde Lama juga terhenti. Bersamaan dengan itu, lahirlah orde lain selaku penerus usaha. Orde ini tidak lain yaitu Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto. Orde ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, yakni kurang lebih 32 tahun. 
Dilihat dari segi fisik, Indonesia sangat berkembang dan maju. Di berbagai kawasan (utamanya di kota-kota besar) bangunan-bangunan besar dan glamor didirikan. Tapi kalau ditinjau dari sisi politik, maka Indonesia semakin menurun. Karena ‘trias politika’ sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara, yang berfungsi hanya forum eksekutif saja, sementara dua forum lainnya, baik itu lembaga legistatif dan yudikatif kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Kedua forum ini tunduk di bawah lembaga administrator. Keduanya tidak lebih hanyalah sebagai ‘robot’ yang gerak-geriknya dikontrol oleh lembaga eksekutif. 
Kebijakan pemerintah wacana pendidikan agama juga sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan politik. Terjadi ketegangan antara PKI dan prajurit di era- kurun akhir kekuasaan Sukarno, golongan-kelompok agama (utamanya Islam dan Katolik) memutuskan untuk beraliansi dengan prajurit. Sejak tahun 1961 hingga simpulan kekuasaan Sukarno, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dipegang dua orang Menteri. Menteri Pendidikan Dasar dipegang oleh Prijono, seorang tokoh Murba yang erat dengan PKI, sedangkan Menteri Pendidikan Tinggi dipegang oleh Sjarief Tajeb, seorang tokoh militer. Dengan pemberian golongan agama, pada kesudahannya Sjarief Tajeb dapat mengharuskan pendidikan agama di banyak sekali Perguruan Tinggi di Indonesia, walaupun UU Pendidikan 1950 tidak mengharuskan pendidikan Agama. 
Kudeta berdarah 30 September 1965 yang gagal telah mengganti arah politik bangsa Indonesia. Dalam perlawanan terhadap PKI yang dijalankan sesudah perebutan kekuasaan, kaum Muslim dan Katolik bekerjasama pundak membahu dengan tentara. Pada sidang MPRS tahun 1966 ditentukan bahwa pendidikan agama wajib dilakukan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Tetapi konversi besar yang terjadi itu disamping mengasyikkan bagi sebagian tokoh agama, juga sudah menjadi pemicu bagi timbulnya ketegangan dan pertentangan antara tokoh-tokoh Islam dan Katolik. 
Banyaknya orang yang masuk Kristen (meski yang masuk Islam dan agama lain juga banyak) kemudian dibesar-besarkan oleh media Barat atau misionaris asing, membuat kalangan Muslim ketakutan dan merasa terancam. Inilah pangkal dari ihwal bahaya Kristenisasi di golongan Islam yang berujung pada permintaan untuk (1) membatasi penyiaran agama hanya kepada yang belum beragama, (2) agar pembangunan daerah ibadah menerima persetujuan penduduk sentra.[4]
Kegiatan misi Nasrani di Indonesia terlihat meningkat setelah meletusnya pemberontakan komunis G.30 S/PKI. Keluarga orang-orang komunis yang ditangkap dan umat Islam yang miskin yaitu target utama mereka. Berpuluh- puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat bujukan-bujukan dan dana-dana misi tersebut. Organisasi-organisasi misionaris itu bermacam-macam dan cara yang mereka laksanakan dalam kegiatannya berlawanan dengan Pancasila (kebebasan menganut agama). 
Pada tahun 1967, misi tersebut mulai memberikan cara-cara yang sungguh menyinggung perasaan umat Islam, yakni mendirikan gereja-gereja dan sekolah- sekolah Katolik di lingkungan kaum Muslim. Keadaan yang demikian itu telah menjadikan insiden-insiden yang tidak diharapkan, ialah perusakan gereja di Meulaboh, Aceh, pada bulan Juni 1967, perusakan gereja di Ujungpandang (Makassar) bulan Oktober 1967, dan perusakan sekolah Nasrani di Palmerah, Slipi, Jakarta.[5]
Agama Kristen Nasrani di Indonesia sepertinya benar-benar memanfaatkan potensi dengan melakukan upaya Kristenisasi secara terbuka pasca-G. 30 S/PKI. Peluang ini ternyata berhasil merayu sebagian umat Islam untuk berpindah ke agama mereka. Yang lebih demonstratif lagi adalah selaku minoritas, mereka tidak segan-segan mendirikan gereja dan sekolah-sekolah di tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas Muslim. Mereka tidak segan-segan melaksanakan usul Kristenisasi dari rumah ke rumah terhadap umat Islam dengan membagikan sejumlah materi yang menjadi kebutuhan masyarakat Islam. Alasannya sederhana, yakni pertolongan sosial dan kepedulian mereka terhadap nasib sebagian umat Islam yang memerlukan pinjaman. Jika diteliti, sesungguhnya aktivitas mirip ini tidak lebih dari peaceful aggressison ‘sebuah penyerangan yang bersemboyan perdamaian’. Dari segi ini, Nasrani/Kristen melalui misionarisnya terlihat telah melebihi batas, alasannya mereka telah tidak mengindahkan lagi budbahasa beragama, atau dengan pemahaman lain, para misionaris Kristen/Kristen terlihat demonstratif memasuki rumah-rumah orang Islam dengan banyak sekali dalih untuk menyampaikan pekabaran Alkitab.[6]
2. Kebijakan Pendidikan Islam Masa Orde Baru 
Zaman pemerintah Orde Baru, pendidikan diwarnai oleh politik yang bersifat sentralistik, dengan titik tekan pada pembangunan ekonomi yang ditopang oleh stabilitas politik dan keselamatan yang didukung oleh kekuatan birokrasi pemerintah, angkatan bersenjata, dan konglomerat. Dengan politik yang bersifat sentralistik ini, seluruh penduduk mesti menawarkan monoloyalitas yang tinggi, baik secara ideologis, politis, birokrasi, maupun hal-hal yang bersifat teknis. 
Dari sisi ideologi, pendidikan sudah cukup mendapat kawasan dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan selaku salah satu prioritas utama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang notabene tidak mampu diubah dan dianggap sebagai landasan usaha bangsa yang sakral. Sebelum pemerintahan Presiden Suharto, masalah pendidikan nasional sudah menemukan lumayan banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi pertumbuhan bangsa sejak zaman kolonialisme. Yang lebih menyedihkan dari kebijakan pemerintahan Orde Baru kepada pendidikan ialah sistem doktrinisasi. Yaitu sebuah tata cara yang memaksakan paham-paham pemerintahan Orde Baru agar mengakar pada benak anak-anak. Bahkan dari sejak SD sampai pada tingkat Perguruan Tinggi diwajibkan untuk mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang berisi wacana hapalan butir-butir Pancasila. Proses indoktrinisasi ini tidak hanya menanamkan paham-paham Orde Baru, tetapi juga metode pendidikan kurun Orde Baru yang menolak segala bentuk budaya asing, baik itu yang mempunyai nilai baik ataupun mempunyai nilai jelek. Dengan demikian, pendidikan pada abad Orde Baru bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, terlebih untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, namun malah memprioritaskan orientasi politik semoga semua rakyat itu senantiasa patuh pada setiap kebijakan pemerintah. Putusan pemerintah yaitu putusan yang adiluhung dan tidak boleh dilanggar. Itulah doktrin Orde Baru pada metode pendidikan kita. Indoktrinisasi pada periode kekuasan Suharto ditanamkan dari jenjang Sekolah Dasar sampai pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan yang semestinya mempunyai keleluasaan dalam fatwa. Pada kala itu, pendidikan diarahkan pada pengembangan militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan suasana perang dingin. Semua serba kaku dan berlangsung dalam metode yang diktatorial. 
Pendidikan yaitu pilar utama berdirinya sebuah bangsa. Pada dasarnya pendidikan merupakan perjuangan untuk merancang abad depan umat insan sebagai generasi yang meningkatkan suatu bangsa. Dalam konsep dan implentasi pendidikan mesti memperhitungkan aneka macam faktor. Demikian juga rancangan pendidikan yang diterapkan di Indonesia yang tidak pernah lepas dari komponen politik dan kebijakan pemerintah. Semangat zaman pada kurun Orde Baru adalah semangat melawan dan membebaskan. Semangat ini berkembang dengan besar lengan berkuasa, akan namun semangat ini diperlemah secara sistematis dan balasannya menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman yang ada selama Orde Baru adalah semangat “mengabdi penguasa”. Baru sehabis muncul sebuah “generasi gres” ialah kalangan mahasiswa yang tidak lagi mau menerima persepsi-persepsi rezim Orde Baru mulailah timbul sikap melawan. Para mahasiswa mendobrak rezim Orde Baru ini dengan memelopori sebuah perilaku politik yang ialah ulangan dari perilaku para perintis kemerdekaan, ialah menentang segenap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.[7]
Ahkirnya, kebijakan pendidikan pada periode Orde Baru mengarah pada penyeragaman, baik cara berpakaian maupun dalam sisi pedoman. Hal ini menjadikan generasi bangsa kita yakni generasi yang mandul. Maksudnya, miskin inspirasi dan takut terkena hukuman dari pemerintah alasannya semua tindakan mampu- bisa dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan pemerintah Orde Baru-lah yang paling benar. Semua wadah-wadah organisasi baik yang tunggal maupun yang beragam dibentuk pada budaya homogen bahkan partai politik pun dibatasi. Hanya tiga partai yang berhak mengikuti Pemilu. Namun, pada waktu itu tidak ada yang berani bicara. Masa itu tidak ada lagi perbedaan pertimbangan sehingga melahirkan disiplin ilmu yang semu dan melahirkan generasi yang latah dan penakut. Pada era pemerintahan Orde Baru perkembangan ekonomi tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada utang luar negeri sehingga menghasilakan metode pendidikan yang tidak peka kepada daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial alasannya masyarakat tidak diikutsertakan dalam merancang metode pendidikan karena semua serba terpusat. Dengan demikian, pendidikan pada era itu mengingkari pluralisme penduduk sehingga sikap teloransi semakin berkurang, yang ada ialah perilaku egoisme. 
Perkembangan pendidikan Islam kurun Orde Baru setahap demi setahap mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Di antaranya lembaga- forum pesantren mulai mendirikan madrasah dalam metode pendidikannya. Dalam metode ini jenjang-jenjang pendidikan terbagi menjadi Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Sistem madrasah ini mendorong kemajuan pesantren sehingga jumlahnya meningkat pesat. Pada tahun 1958/1959 lahir Madrasah Wajib Belajar yang memiliki hak dan keharusan mirip sekolah negeri. Selanjutnya, di tahun 1965, menurut rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta disepakati di pondok pesantren perlu dimasukkan pelajaran keterampilan seperti: pertanian dan pertukangan. 
Keadaan inilah yang mendorong tokoh-tokoh Islam menuntut semoga madrasah dan pendidikan keagamaan dimasukkan menjadi bab dari metode pendidikan nasional. Reaksi kepada perilaku pemerintah yang mendiskriminasikan menjadi lebih keras dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Intruksi Presiden No. 15 Tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu selaku manuver untuk mengabaikan peran dan faedah madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam. 
Pada kala Orde Baru, pemerintah melaksanakan pelatihan kepada pesantren lewat Proyek Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Dana pembinaan pesantren diperoleh dari pemerintahan terkait, dari pemerintahan pusat hingga daerah. Tahun 1975, muncul pemikiran untuk mengembangkan pondok pesantren dengan versi baru. Lahirlah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Modern, Islamic Centre, dan Pondok Pesantren Pembangunan. Kemudian banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah biasa yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 1975, menetapkan mata pelajaran lazim sekurang-kurangnya sebanyak 70 % dari seluruh kurikulum madrasah. Banyak juga madrasah yang mendirikan perguruan tinggi seperti Pesantren Al-Syafi’iyah dan Pesantren Al-Tahiriyah. 
berdikarionline.com
  Senandung Istri Serdadu Knil Belanda Ketika Perang Aceh

Perkembangan mempesona selanjutnya yakni dengan terakomodasinya kepentingan-kepentingan pendidikan Islam pada terutama dan pendidikan agama pada umumnya dalam UU Sisdiknas Tahun 1989. Posisi pendidikan agama dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional mampu dilihat pada pasal 39 ayat 2 yang menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat (1) Pendidikan Pancasila, (2) Pendidikan Agama, dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan agama ialah mata pelajaran wajib bagi setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan mulai prasekolah (TK/RA) sampai dengan pendidikan tinggi (PT). 
Kebijakan pemerintah Orde Baru tentang pendidikan Islam dalam konteks madrasah di indonesia bersifat nyata dan konstruktif, terutama dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Lembaga pendidikan dikembangkan dalam rangka pemerataan peluang pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan.[8] Pada permulaan-awal era pemerintahan Orde Baru, kebijakan perihal madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari metode pendidikan nasional, tetapi baru sebagai forum pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. 
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya. Namun, di permulaan-permulaan tahun 1970–an justru kebijakan pemerintah terkesan berusaha untuk mengisolasi madrasah dari bagian metode pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tanggal 18 April tahun 1972 ihwal tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal: 
  1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas training pendidikan biasa dan kebijakan.
  2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas training dan latihan kemampuan dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri. 
  3. Ketua lembaga administrasi negara bertugas dan bertanggung jawab atas training pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negri. 
  Lokomotif Uap Terakhir Di Indonesia
Perkembangan pendidikan agama di Indonesia pada kurun Orde Baru ditandai dengan selesainya bangsa Indonesia dalam menumpas G30 S/PKI (1965-1966). Sejak dikala itu pula pemerintah Indonesia makin menunjukkan perhatiannya kepada pendidikan agama, alasannya adalah disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunisme. Untuk merealisasikan impian tersebut, sidang lazim MPRS tahun 1966 sukses memutuskan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang membicarakan tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan pasal 1 menerangkan ”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar hingga dengan universitas-universitas negeri”. Dengan demikian, sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi materi pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia. TAP MPRS inilah yang menjadi landasan pertama kali bagi penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama di seluruh sekolah di Indonesia pada zaman Orde Baru. 
Setelah pemilu 1973, secara politik pemerintah Orde Baru mengonsolidasikan jadwal-jadwal pembangunan pendidikan lewat Tap MPR- RI No. IV/MPR 1973 yang berbunyi: 
  1. Pendidikan pada hakikatnya yaitu usaha sadar untuk berbagi kepribadian dan kesanggupan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berjalan seumur hidup. 
  2. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara, Pancasila dan diarahkan untuk membentuk insan-manusia pembangunan yang berpancasila dan untuk membentuk insan Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki wawasan dan kemampuan, dapat menyebarkan kreatifitas dan tanggung jawab, mampu menyuburkan perilaku demokrasi dan tenggang rasa, dapat menyebarkan kecerdasan yang tinggi dan dibarengi kebijaksanaan pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan menyayangi sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945. 
Salah satu saat-saat nasional yang memengaruhi iklim pendidikan nasional, selain ketetapan MPR 1978 dan 1983 ialah keluarnya kebijakan pendidikan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) serta hadirnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) semenjak Taman Kanak- kanak hingga Perguruan Tinggi. Kedua ketetapan MPR tersebut sungguh memengaruhi iklim politik nasional yang memengaruhi dunia pendidikan. Ketetapan MPR 1983 ini lalu menjadi landasan munculnya pelajaran gres, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sejak Sekolah Dasar. Jadi ada beberapa pelajaran gres, di antaranya masuknya pengajaran P4 dalam bentuk penataran di SMP, Sekolah Menengan Atas, dan Perguruan Tinggi, serta pelajaran PMP dan PSPB dari Sekolah Dasar-SMA dengan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Bahasa Daerah. 
Pada permulaan tahun 1980-an, pernah ada seruan semoga pemerintah memasukkan kurikulum perbandingan agama untuk di sekolah-sekolah lanjutan atas; SMU dan Madrasah Aliyah, atau yang setingkat. Namun, usul ini diprotes oleh beberapa kelompok Muslim alasannya dianggap mampu merusak dan melemahkan dogma para anak ajar. Pendidikan Agama dimasukkan ke dalam program pendidikan inti, sebagai mata pelajaran wajib bagi semua siswa SMA bareng – sama dengan 14 mata pelajaran lain: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa dan Sastra Indonesia, Geografi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keterampilan, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Sejarah, dan Bahasa Inggris. 
Menteri P dan K, Nugroho Notosusanto yang mengambil alih Daud Yusuf memberlakukan kebijakan gres berupa keharusan setiap murid baru untuk menandatangani surat pernyataan mengenai pendidikan agama yang akan dibarengi. Argumen yang dikemukakan dikala itu yaitu mengidentifikasi kebutuhan (need assesment) guru agama di masing-masing agama. Kebijakan lainnya ialah menyangkut busana jilbab bagi siswi yang beragama Islam. Banyak sekolah yang secara tegas melarang pengenaan pakaian tersebut bagi murid perempuan, seperti yang menimpa 19 siswi kelas I–III SMA I Jakarta pada tahun 1985. Pada awalnya sekolah menjatuhkan sanksi skors terhadap siswi yang mengenakan jilbab dengan argumentasi melanggar tata tertib sekolah yang sudah ditandatangani oleh orangtua murid di saat anaknya mau masuk ke sekolah tersebut yakni anaknya akan menaati semua peraturan sekolah tergolong pakaian seragam. Namun, sehabis tidak ada kata setuju dengan orangtua, para siswi itu kemudian dipindahkan ke sekolah lain dan duit seragam mereka pun dikembalikan, mereka harus beli busana seragam gres di tempat lain. Ketentuan pakaian seragam itu sendiri didasarkan pada SK Dirjen Dikdasmen No. 052/C/Kep./D.82 yang disusul dengan Peraturan Pelaksanaan No.18306/C/D.83 tentang Pedoman Pakaian Seragam Anak Sekolah (PSAS). Salah satu poin dalam SK tersebut yang kemudian menjadi dasar bagi para kepala sekolah (negeri) untuk mengambil kebijakan di tingkatan sekolah ialah poin yang menyatakan ”Pelaksanaan busana seragam di sekolah-sekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan agama (jika ada), diberlakukan secara persuasif, edukatif, dan manusiawi”.[9]
berdikarionline.com

B. Keberhasilan-keberhasilan Pendidikan Islam pada Masa Orde Baru 
Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan, di antaranya yaitu: 
  1. Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat Sekolah Dasar sampai universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966). 
  2. Madrasah menerima perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum. 
  3. Pesantren menerima perhatian lewat subsidi dan pembinaan. 
  4. Berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975. 
  5. Pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an. 
  6. Pemerintah memberi izin pada pelajar Muslimah untuk menggunakan rok panjang dan pakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri sebagai ganti seragam sekolah yang lazimnya rok pendek dan kepala terbuka. 
  7. Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 perihal Sistem Pendidikan Nasional. 
  8. Terbentuknya UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. 
  9. Adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI). 
  10. Dukungan pemerintah kepada pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam. 
  11. Pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh). 
  12. Pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi produk masakan dan minuman pada kemasannya, utamanya bagi jenis olahan. 
  13. Pemerintah memfasilitasi penyebaran da’i ke tempat terpencil dan lahan transmigrasi. 
  14. Mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an). 
  15. Mengadakan perayaan hari besar Islam di Masjid Istiqlal. 
  16. Mencetak dan mengedarkan mushaf Al-Quran dan buku-buku Agama Islam yang lalu diberikan ke mesjid atau perpustakaan Islam. 
  17. Terpusatnya jama’ah haji di asrama haji. 
  18. Penayangan pelajaran Bahasa Arab di TVRI. 
  19. Berdirinya MAN PK (Program Khusus). 
  20. Mengadakan pendidikan pascasarjana untuk Dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri. Khusus perihal kebijakan ini, Departemen Agama sudah membuka acara pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join cooperation dengan negara-negara Barat untuk studi lanjut jenjang Magister maupun Doktor. 
  Arti Semboyan Bhineka Tunggal Ika
Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru 
Upaya dalam pengaturan dan pembaruan kurikulum madrasah dikembangkan dengan menyusun kurikulum sesuai dengan konsensus yang ditetapkan. Khusus untuk MA, waktu untuk setiap mata pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai semester. Sementara itu, jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari acara inti dan program opsi. Pengembangan kedua acara kurikulum ini terbagi menjadi dua bab yaitu: pendidikan agama, terdiri atas: Al-Quran Hadits, Aqidah Akhlak, Fikih, SKI, dan Bahasa Arab, dan pendidikan umum antara lain: PMP, PSPB, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pengetahuan Sains, Olahraga dan Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, Bahasa Inggris (MTS dan MA), Geografi (MA), Biologi (MA), Fisika (MA) dan kimia (MA). 
Sebagai esensi dari pembakuan kurikulum di sekolah biasa dan madrasah ini memuat antara lain: 
  1. Kurikulum sekolah dan madrasah terdiri atas program inti dan program opsi.
  2. Program inti dalam rangka menyanggupi tujuan pendidikan sekolah biasa dan madrasah, dan acara inti sekolah lazim dan madrasah secara kualitatif sama.
  3. Proram khusus (opsi) diadakan untuk menunjukkan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi bagi Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah.
  4. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah biasa dan madrasah mengenai sistem kredit semester, panduan karir, ketuntasan mencar ilmu.
  5. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan fasilitas pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh kedua departemen yang bersangkutan.
Di antara rumusan kurikulum 1984 menampung hal strategis selaku berikut:
  1. Program kegiatan kurikulum madrasah ( MI, MTS dan MA) tahun 1984 dikerjakan melalui aktivitas interkurikuler, kokuler, dan ekstrakurikuler, baik dalam program inti maupun program pilihan.
  2. Proses mencar ilmu mengajar dijalankan dengan memerhatikan keselarasan antara cara seseorang mencar ilmu dengan apa yang dipelajarinya.
  3. Penilaian dikerjakan secara berkelanjutan dan menyeluruh untuk kenaikan proses dan hasil berguru, serta pengelolaan acara.
Secara formal, madrasah telah menjadi sekolah lazim yang mengakibatkan agama selaku ciri khas kelembagaannya. Di satu pihak bahan pengetahuan biasa bagi madrasah secara kuantitas dan mutu mengalami peningkatan, namun di pihak lain penguasaan murid kepada wawasan agama menjadi serba tanggung. Menyadari keadaan mirip itu timbul harapan pemerintah untuk mendirikan MA yang bersifat khusus yang lalu dikenal dengan Madrasah Aliah Program Khusus (MAPK).[10]
Awal dari Orde Baru pun bergulir di bawah kepemimpinan Jenderal Suharto, nama Orde Baru diciptakan demi membedakan dengan pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Sukarno. Perbedaan nama rezim itu bukan saja secara harfiah atau perbedaan sang pemimpin orde, namun juga berimplikasi terhadap perubahan secara mendasar misi dari pemerintah serta sistem yang tepat untuk mencapai misi tersebut. Diawali dari proses pemahaman sejumlah madarasah oleh pemerintah RI pada periode Orde Baru ialah pada tahun 1967, mulai dari Madarasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, selangkah sudah tampakkebijakan pemerintah yang berkontribusi aktual terhadap pendidikan Islam lalu disusul dengan munculnya SKB 3 menteri tahun 1975 tentang peningkatan kualitas madrasah dengan diakuinya ijazah madrasah yang mempunyai nilai yang sama dengan ijazah nilai sekolah biasa . Secara formal madrasah telah menjadi sekolah lazim yang mengakibatkan agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya kian memperoleh daerah yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 senantiasa ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (jenjang) pendidikan. Bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia bercita- cita menuju terhadap apa yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan insan Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini mempunyai arti adanya keserasian, keseimbangan, dan keharmonisan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin bekerjasama dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara sepadan. Pembangunan tersebut menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama. Adapun sasaran pembangunan di bidang jangka panjang ialah terbinanya iman bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, sepadan, dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, memiliki jiwa yang dinamis dan semangat bahu-membahu sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan usaha untuk mencapai impian dan tujuan nasional.[11]
Agama memiliki kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, akhlak, dan akhlak dalam pembangunan nasional. Agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat. Agama selaku sistem nilai seharusnya dimengerti dan diamalkan oleh setiap individu, warga, dan masyarakat hingga jadinya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara. Sejak tahun 1966 terjadi pergeseran besar pada bangsa Indonesia, baik itu menyangkut kehidupan sosial- agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang diemban, yakni kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekuen, sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan.
Perkembangan Islam pada kala Orde Baru meningkat dengan pesat, begitu juga dengan perkembangan agama lain. Saking bebasnya, muncullah kristenisasi dengan bentuk bakti sosial kepada umat muslim yang memerlukan derma. Dibalik itu, para msionaris mengajak umat Muslim untuk masuk agama mereka. Akibat dari perilaku tersebut, muncul beberapa pemberontakan dengan memusnahkan gereja-gereja yang dibangun di tengah pemukiman umat Islam. Pengajaran Islam berkembang dengan munculnya beberapa acara pendidikan Islam, antara lain adanya acara pelatihan bahasa Arab yang disiarkan di TVRI, didirikannya MUI, didirikannya MAN PK, program penyebaran da’i, dan lain-lain.
Beberapa kebijakan pendidikan Islam periode Orde Baru membawa perubahan terhadap pendidikan Islam. Lahirnya SKB Tiga Menteri yang menyatakan bahwa alumni madrasah mampu melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum. Sehingga kurikulum madrasah pun harus diseimbangkan dengan kurikulum sekolah umum. Pada periode Orde Baru inilah pendidikan agama menjadi pelajaran wajib mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai universitas.
Lembaga pendidikan Islam seperti: pesantren dan madrasah sudah sejajar dengan sekolah biasa . Dengan demikian, kurikulum yang dipakai baik di pesantren maupun madrasah harus sebanding dengan kurikulum sekolah umum. Sehingga lulusan pesantren atau madrasah bisa bersaing dengan lulusan sekolah biasa . Bahkan lulusan pesantren atau madrasah mesti memiliki kelebihan dalam pendidikan agama. Hendaknya dalam lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) tidak hanya belajar agama saja akan tetapi dimasukkan pengajaran kemampuan mirip: bertani, berternak, dan berkebun selaku bekal bagi kehidupan para santri
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. Peranan Pendidikan Dalam Pembentukan Budaya Politik Di Indonesia, dalam Quo Vadis Pendidikan Di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. T.th.
Luth, Thohir, M. Natsir; Dakwah Dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani. 1999.
Natsir. M. Mencari Modus Vivendi Antarumat Beragama Di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah, 1980.
Nursyirwan. Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia Setelah Kemerdekaan. Didaktika Jurnal Kependidikan Vol. 4 No. 2 November 2009.
Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Tersedia: . diakses 19 Desember 2015.
Rosi. Pendidikan Islam Masa Orde Baru. Tersedia: . diakses 19 Desember 2015.
Syaodih Nana, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Baru 1966-1998. diakses 19 Desember 2015.
Tersedia: . diakses 19 Desember 2015.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
[1]Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Baru 1966-1998, , diakses 19 Desember 2015. 
[3]Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 65 
[4]Nursyirwan, Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia Setelah Kemerdekaan, (Didaktika Jurnal Kependidikan Vol. 4 No. 2 November 2009), h. 217. 
[5]M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Antarumat Beragama Di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1980), h. 7. 
[6]Thohir Luth, M. Natsir; Dakwah Dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 120. 
[7]Mochtar Buchori, Peranan Pendidikan Dalam Pembentukan Budaya Politik Di Indonesia, dalam Quo Vadis Pendidikan Di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, t.t), h. 29. 
[8]Rossi, Pendidikan Islam Masa Orde Baru, http://coretan-rossi.blogspot.com/ 2011/ 06/pendidikan-islam-kala-orde-gres.html, diakses 19 Desember 2015 
[9]Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional, http://istanailmu.com/2011/ 04/08/pendidikan-islam-dalam-metode-pendidikan-nasional/html, diakses 19 Desember 2015 
[10]10 Rossi, Pendidikan Islam Masa Orde Baru,
[11]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 156-157.