close

Islam, Kontrol Diri, dan Perbaikan Sosial

Oleh: Yeni Mulati
(Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Sejumlah santri bersamaan menutup indera pendengaran, saat terdengar bunyi musik mengalun di aula tempat mereka duduk dlm rangka mengantre vaksinasi. Mereka ialah santri-santri dr suatu pondok pesantren tahfidz Al-Qur’an. Peristiwa ini menjadi viral, dikala seorang tokoh nasional mengunggah video tersebut di Instagram, dan  dilengkapi dgn caption yg terkesan memojokkan acara tersebut. Tokoh tersebut menyayangkan, lantaran santri-santri tersebut telah diberikan pendidikan yg salah.

Posting tokoh tersebut memicu kontroversi. Ada yg pro, tetapi banyak pula yg kontra. Kalangan yg pro dgn tokoh tersebut, bahkan mengaitkan sikap menolak musik itu sebagai bibit radikalisme. Sementara, golongan yg kontra, membela para santri itu dgn mencoba mengajukan argumen, bahwa para penghafal Al-Qur’an memang mempunyai pola hidup yg sungguh berlainan dgn masyarakat kebanyakan. Menjaga hafalan Al-Qur’an adalah pekerjaan yg sungguh sulit. Karena itu, mereka berupaya keras untuk menyingkir dari berbagai hal yg diyakini mampu menetralisir hafalan tersebut, salah satunya musik.

Lepas dr kontroversi tersebut, penulis ini mengemukakan satu hal yg berdasarkan hemat penulis cukup menawan untuk didiskusikan. Yaitu bagaimana Islam menatap proses kendali diri (personal control). Tangney (2004), mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk mengesampingkan atau mengubah impian pada seseorang untuk tak melakukan sikap yg tak diharapkan, serta menahan diri dr perbuatan yg mampu memiliki efek negatif. Ada 3 faktor personal control berdasarkan Averill (1973), yakni kendali sikap (behavioral control), kontrol kognitif (cognitive control) & kendali keputusan (decision control).

Kontrol diri ialah salah satu soft skill yg sangat diperlukan seseorang, terutama dlm kehidupan bermasyarakat, yg tentunya akan berjumpa dgn bervariasi huruf serta kecenderungan. Orang yg sudah mempunyai kontrol diri bagus, atau sukses mengendalikan dirinya, baik dlm sikap, kognitif/pemikiran, maupun keputusan, bekerjsama merupakan orang-orang yg bisa menempatkan diri dengan-cara baik di ruang publik.

Pada perkara di atas, tampak bahwa santri-santri tersebut sesungguhnya sudah melakukan proses kontrol diri dgn baik. Mereka memiliki keyakinan (belief) bahwa musik merupakan salah satu alasannya adalah rusaknya kegiatan menghapal Al-Qur’an. Tentu ini suatu hal yg debatable. Penulis sendiri tergolong yg meyakini bahwa dlm batasan-batas-batas tertentu, contohnya syairnya edukatif, musik diperbolehkan untuk didengarkan. Banyak pula pertimbangan ulama yg menyatakan hal tersebut, salah satunya pendapat dr Dr. Yusuf Al-Qardhawi, yg banyak dianut oleh kaum muslimin di dunia.

  Hadits Arbain Nawawi ke-16: Jangan Marah

Akan tetapi, memang ada sebagian ulama yg menyatakan bahwa musik, dlm segala bentuknya, yaitu haram. Dan bagi penghafal Al-Qur’an, pasti lebih eksklusif lagi, karena mereka akan meminimalkan sedikit mungkin aneka macam hal yg bisa mendistraksi fokus mereka dlm memasukkan ayat-ayat Al-Qur’an dlm memori mereka.

Justru dr perbedaan pandangan inilah, penulis menilai bahwa santri-santri tersebut memiliki kontrol diri yg cukup berpengaruh. Saat itu, mereka berjumlah banyak. Bahkan, jikalau dilihat dr video yg viral di media sosial, sepertinya nyaris seluruh ruangan dipenuhi oleh mereka. Alih-alih melakukan proses unjuk kekuatan (show of force) contohnya dgn memaksa petugas mematikan musik, atau justru merusak sound system, mereka memilih menutup kuping mereka sendiri.

Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan sekelompok orang yg merasa berkuasa, memaksakan kehendak dgn cara paksa, apalagi jika merasa selaku dominan. Apakah santri-santri tersebut kurang beradab, karena tak menghormati tuan rumah & melecehkan “sajian” tuan rumah yg berupa musik? Penulis berpendapat, justru tuan rumahlah yg bahu-membahu harus mengerti siapa tamu yg akan berkunjung, & menawarkan suguhan yg hendak disuguhkan.

Konsep Kontrol Diri Dalam Islam

Cukup mempesona bila kita menelaah beberapa hadist Rasulullah yg memiliki kekerabatan dgn personal control. Salah satu hadist yg cukup relevan adalah perintah wacana menundukkan pandang (ghadul bashar). Dalam suatu hadist disebutkan, “Setiap Muslim yg menyaksikan keelokan seorang perempuan, kemudian dia menundukkan & memejamkan matanya, Allah mengganti selaku suatu ibadah” (Riwayat Ahmad dr Abu Umamah).

Ajaran Islam menekankan, bahwa tatkala kita memperoleh stimulus dr luar, yg dianggap bisa melunturkan keimanan, atau mendekatkan para sikap maksiat, ialah sebisa mungkin kita mengorganisir indera kita. Sebagaimana kita tahu, indera merupakan organ yg mendapatkan stimulus dr orang lain. Rasulullah SAW, pula pernah menutup indera pendengaran tatkala mendengar bunyi seruling yg ditiup seorang penggembala. Bukan kapasitas penulis untuk membahas insiden tersebut dlm tinjauan fiqih. Penulis cuma ingin memastikan, bahwa—lagi-lagi—dalam Islam, memutus stimulus dgn cara mengatur diri, ialah suatu fatwa yg sangat terperinci.

  Melalaikan Shalat Ashar, Ini yang Akan Terjadi

Rasulullah tak mencari si peniup seruling & memarahinya, atau merebut serulingnya, tetapi lebih memilih menutup indera pendengaran. Rasulullah pula tak menyuruh seorang lelaki menghardik wanita elok yg lewat untuk menjauh, tetapi meminta untuk menundukkan persepsi.

Belum lama ini, trend pula di media sosial, wacana curhat seorang perempuan bagus yg merasa dipersekusi oleh warga di kompleks rumahnya, hanya gara-gara ia bahagia berdandan & sering berlari pagi melintas di jalan. Para laki-laki yg berada di kompleks tersebut merasa terganggu dgn sosoknya yg dianggap “terlalu menggoda” & membuat para perempuan cemburu. Curhat tersebut viral sesudah diunggah di suatu akun Selebtwit (pesohor di Twitter).

Kembali ke kasus di atas. Jadi, layak dihargai, lantaran para santri tersebut lebih memilih menertibkan diri dgn menutup pendengaran, daripada melakukan kegiatan destruktif. Padahal, ketika itu mereka berjumlah dominan.

Perbaikan Sosial

Kecenderungan penulis untuk lebih menekankan proses kontrol diri dlm kehidupan sosial penduduk bukan bermakna penulis tak sepakat dgn upaya-upaya perbaikan sosial. Dalam konsep psikodinamika sendiri, kita mengenal adanya id, ego & superego. Menurut Purwanto (2007: 94)[1], instink atau gharaiz, merupakan potongan dr struktur id, di mana perwujudan psikologisnya disebut selaku keinginan (wish), & rangsang jasmaniahnya disebut sebagai kebutuhan (need). Freud sendiri, sebagai tokoh yg mempopulerkan rancangan tersebut, tak mengusulkan insan untuk berhenti di elemen id, tetapi harus ditarik ke dlm reality menjadi ego, & kemudian dimasukkan dlm faktor morality yg disebut superego.

Id sendiri, ialah elemen paling primitif. The id is the primitive and instinctive component of personality[2]. Manusia yaitu sosok pembelajar, yg harus diarahkan pada derajat keadaban yg lebih tinggi. Meski Freud tergolong tokoh yang  menganggap Tuhan selaku khayalan schizoprenik (Purwanto, 2017: 115), dgn adanya rancangan ego & superego, Freud pasti tak menghendaki insan terus menimbulkan the id sebagai  semata  pegangan dlm hidup.  Tak semua ilmuwan seperti Freud. Beberapa ilmuwan seperti Albert Einstein, Max Planck atau Karen Amstrong, merupakan tokoh-tokoh yg dengan-cara keras menyerang paham atheistik.

  Sirah Nabawiyah, Kondisi Arab Sebelum Islam

Perbaikan sosial merupakan suatu hal yg disepakati oleh siapapun. Personal control hanya salah satu fasilitas manusia saat berhadapan dgn sesuatu yg dianggap tak ideal atau tak sesuai dgn apa yg menjadi prinsip hidupnya. Namun, kalau seseorang mempunyai sebuah kepercayaan (belief), maka dengan-cara alamiah, ia akan berupaya menularkannya pada orang lain. Dalam Islam, ini disebut selaku dakwah, atau amar ma’ruf nahy munkar.

Namun, dakwah tentu ada aturan-aturannya, yg sering disebut selaku fiqih dakwah. Islam menekankan pada pendekatan persuasif, retorika yg baik, dgn berbasis keteladanan. Prinsip-prinsi dakwah sering disebutkan mencakup (1) al hikmah (nasihat); (2) al mau’izah al hasanah (pelajaran yg baik), & (3) al mujadalah billati hiya ahsan (mendebat dgn cara yg baik)[3].

Sebagian kalangan, sering berdalih, bahwa tatkala melakukan pemaksaan kehendak, adalah dlm rangka perbaikan sosial, atau nahy munkar. Misal, ada seorang perempuan tak berjilbab melintas di suatu kompleks yg dianggap religius, lalu perempuan tersebut dipakaikan jilbab dengan-cara paksa. Atau, pernah terjadi di suatu daerah, tatkala ada beberapa anak muda menyetel musik keras-keras, kemudian sejumlah kelompok yg religius mendatanginya & memaksa untuk mematikan musik dgn diikuti bahaya.

Kontrol diri atau personal control memang tak bisa bangun sendiri, mesti didukung dgn upaya-upaya lain seperti perbaikan sosial, & pula aturan hukum dr penguasa yg melindungi seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi, kendali diri merupakan salah satu aliran penting dr Islam, yg sebaiknya dipraktekkan oleh semua pemeluk agama ini. []


[1] Purwanto, Yadi, 2017, Psikologi Kepribadian, Bandung: Refika Aditama

[2] https://www.simplypsychology.org/psyche.html

[3] https://republika.com/informasi/pnozfj458/mengenal-metodemetode-dakwah-islam